Lihat ke Halaman Asli

lailia nur hamidah

Penyuluh Agama Islam pada Kementerian Agama Kabupaten Banyuwangi

Bimbingan Pranikah dari Rumah Tingkatkan Nilai Keluarga Sakinah

Diperbarui: 4 Agustus 2022   15:09

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Parenting. Sumber ilustrasi: Freepik

Ungkapan kasus perceraian di Indonesia bukanlah merupakan hal yang baru lagi. Kasus ini seolah terus meningkat setiap tahunnya. Dilansir dari databoks kasus perceraian di Indonesia meningkat dari tahun 2020 sejumlah 291.677 kasus menjadi 447.743 kasus pada tahun 2021. Bilangan tersebut bukanlah tergolong angka yang kecil. Dunia psikologi mengungkapkan adanya dampak yang besar yang ditimbulkan dari perceraian, termasuk munculnya bibit-bibit kenakalan remaja yang penyebab terbesarnya adalah konflik keluarga. Selain disebabkan karena timbulnya stress pada anak karena adanya konflik dan perselisihan pada orangtuanya, perceraian tentu juga menimbulkan stress dalam diri pasangan suami istri, dan hal ini memberikan pengaruh negatif pada pola asuh mereka. Akibatnya anak yang menjadi korbannya.

Banyak hal yang menjadi penyebab tingginya kasus perceraian. Selain karena pengaruh digitalisasi yang disalahgunakan, perceraian juga disebabkan oleh kurangnya pengetahuan dan keterampilan dari masing-masing pasangan ketika memasuki  jenjang pernikahan. Banyak pasangan yang tidak mengetahui hak dan kewajiban masing-masing. Hal ini menyebabkan fungsi keluarga tidak berjalan dengan baik. Suami menuntut istri untuk menyelesaikan banyak hal tanpa memperhatikan apa saja yang seharusnya menjadi kewajibannya. Sebaliknya istri merasakan tidak adanya keadilan atas hak dan kewajibannya. Akibatnya pertengkaran sering terjadi. Apabila hal ini berkelanjutan, ditambah adanya dukungan dari pihak-pihak tertentu, terjadilah perceraian.

Penyebab lain tingginya angka perceraian adalah ketidakpuasan oleh masing-masing pasangan. Hal ini mencakup faktor ekonomi, perselingkuhan, poligami, serta kurangnya kesehatan mental pada pasangan. Seorang istri yang tidak pandai bersyukur akan mengeluh dengan keadaan ekonominya serta selalu merasa kurang. Suami yang tidak pandai bersyukur dan menjaga pandangannya akan mudah melirik lawan jenis di luaran sana. Apalagi jika keberadaan suami istri berjauhan (LDR), tentu kebutuhan psikologis akan sulit terpenuhi. Hal ini semakin mendukung terjadinya perselingkuhan.

Hal lain yang tak kalah penting adalah kepandaian suami istri dalam memanfaatkan pengaruh digitalisasi dan modernisasi yang semakin marak. Seiring berkembangnya zaman pengaruh modernisasi semakin kental dirasakan hingga berbagai penjuru daerah, bahkan pelosok-pelosok desa. Dalam hal ini setiap penggunanya tentu harus bijak mengambil yang bermanfaat dan meninggalkan yang kurang bermanfaat. Keberadaan arus digital ini tidak hanya memunculkan dampak positif berupa kemudahan-kemudahan saja, tetapi jika penggunanya tidak pandai menyaring yang terjadi justru hal yang tidak diinginkan. Salah satu bentuknya ialah perselingkuhan.

Zaman sekarang ini perselingkuhan tidak hanya terjadi di dunia nyata saja. Bibit-bibit perselingkuhan bisa saja terjadi lewat dunia maya, sosial media, serta sejenisnya. Yang apabila berlanjut dapat menyebabkan terjadinya perceraian. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Cooper McLoughlin dan Campbell dalam Iqbal (2018) ditemukan bahwa sekitar 42% pengguna internet menyatakan bahwa mereka terlibat perselingkuhan online. Kemudian ditambahkan pula oleh Cooper bahwa hubungan yang berkembang di media online juga dapat berdampak pada hubungan pasangan, diantaranya resolusi konflik, dukungan emosional, dan keintiman.  Hal ini dikuatkan oleh penelitian Schneider  dalam Iqbal (2018) yang menyatakan bahwa 22% responden mengalami perceraian sebagai dampak dari perselingkuhan online, dan dua dari tiga pasangan menyatakan kehilangan ketertarikan seksual dengan pasangan resminya akibat adanya perselingkuhan online tersebut.

Beberapa faktor penyebab terjadinya perceraian selain perselingkuhan diantaranya persoalan ekonomi, persoalan kesehatan mental dan gangguan psikologis, serta persoalan konflik keluarga (Iqbal: 2018). Hal ini tentunya dapat diminimalisir dengan adanya bekal pengetahuan yang cukup mengenai dinamika pernikahan. Yang di dalamnya tidak hanya mencakup hak suami istri saja, melainkan juga praktik keterampilan yang memadai saat individu memasuki jenjang pernikahan. Bekal ini harusnya diberikan sebelum individu memasuki jenjang pernikahan.

Sejauh ini pemerintah telah melakukan upaya dalam meminimalisir meningkatnya angka perceraian di Indonesia, salah satunya dengan memberikan pendidikan pranikah yang dilakukan beberapa hari sebelum pernikahan. Hal ini dilakukan oleh kementerian agama melalui Kantor Urusan Agama di masing-masing kecamatan dalam bentuk bimbingan perkawinan baik dilakukan secara mandiri maupun secara masal. Tak hanya itu pendidikan pranikah juga dikuatkan oleh BKKBN melalui kegiatan penyuluhan secara langsung kepada masyarakat tentang pentingnya pendewasaan usia perkawinan, serta pentingnya perencanaan dalam keluarga. Namun demikian, pendidikan yang demikian saja tentunya tidak cukup dikarenakan waktu yang terbatas dan kurikulum yang belum komprehensif.

Pendidikan pranikah juga dapat diberikan oleh pihak keluarga. Yang tidak hanya mencakup soal pengetahuan dasar kehidupan rumah tangga dan ilmu keagamaan saja, tetapi juga praktik kemampuan soft skill, serta kebiasaan-kebiasaan baik yang mulai dibentuk sejak individu memasuki usia remaja.

Diantara hal yang dapat diterapkan dalam keluarga sebagai upaya pemberian pendidian pranikah, pertama penerapan ilmu agama dalam kehidupan sehari-hari. Kepentingan ibadah, akhlak, serta ilmu fiqh yang diberikan pada individu tidak hanya untuk dimengerti saja, tetapi baiknya juga dijalankan sedikit demi sedikit dalam kehidupan sehari-harinya. Hal ini juga menentukan peran suami dan peran istri saat mengarungi bahtera rumah tangga nantinya. Suami sebagai imam yang baik yang nantinya akan bertanggungjawab terhadap kehidupan istri dan anak-anaknya. Istri tentunya juga harus berbekal ilmu agama yang cukup karena nantinya ia yang kelak akan mengajarkan banyak hal kepada anaknya.

Kedua, pemahaman ilmu psikologi dan sosial budaya. Perihal kemampuan menyesuaikan diri, kontrol diri, manajemen konflik, perbedaan adat istiadat, serta  bab pengambilan keputusan agaknya tidak dapat terbentuk secara instan. Lagi-lagi perlu proses pelatihan dan pembiasaan yang cukup panjang sebelum benar-benar matang. Disinilah pentingnya pendidikan pranikah dari keluarga. Karena jika hanya mengandalkan bimbingan perkawinan saja tentunya tak cukup.

Ketiga, ilmu kesehatan dan manajemen keuangan. Wanita dan pria yang hendak melangsungkan pernikahan tentu diharapkan nantinya dapat hidup mandiri. Hal ini menuntut keduanya untuk pandai-pandai menjaga diri termasuk ketika salah satunya sakit. Sehingga tidak menyusahkan banyak orang. Pentingnya ilmu kesehatan secara dasar bukan hanya sampai disini saja. Kelak keduanya juga akan mengasuh anak yang tentunya memerlukan kemampuan dalam bidang kesehatan atau paling tidak mengetahui pertolongan pertamanya. Sedangkan manajemen keuangan merupakan hal yang sangat penting dalam rumah tangga. Jika tidak pandai-pandai mengatur keuangan, sebanyak apapun penghasilannya tidak akan mencukupi kebutuhan, akibatnya timbullah permasalahan perekonomian.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline