Lihat ke Halaman Asli

Cerita tentang Sendal, Media dan Membaca

Diperbarui: 25 Juni 2015   21:14

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Berikut salah satu pandangan yang saya sampaikan di salah satu mailing list yang saya ikut, yang kebetulan topik diskusinya sedang membahas mengenai kasus sendal yang juga sedang hangat diberitakan di Indonesia, dan juga masuk headline beberapa media internasional. Diskusi lalu berkembang menjadi analisa mengenai bagaimana kekuatan media dapat mem-blow-up sebuah isu, dan selektifitas dalam membaca.

Dari tepian laut baltik, salam Indonesia!

Adek Aidi

---

Terimakasih rekan - rekan, diskusi yang sangat membangun

Secara umum, saya sangat sepakat dengan poin yang telah disampaikan rekan-rekan.

Pertama, mengenai kasus sandal itu sendiri. Memang betul, bahwa hal ini adalah domain hukum. Perkara apakah keputusan Hakim adil atau tidak, tidak dalam kapabilitas kita untuk menilai, karena ada ilmu yang mendasari pengambillan keputusan seperti itu. Terlepas apakah sang hakim benar-benar menggunakan ilmu tersebut, hanya beliau dan Tuhan yang benar-benar tau, begitu juga pertanggung jawabannya kelak.

Namun satu yang dapat disoroti adalah, ketika kasus - kasus seperti ini terus bermuculan, hal ini patut menjadi pemikiran bagi kita, apa yang sedang terjadi dalam masyarakat ini? Saya setuju dengan Andik bahwa kita harus berfokus mengerjakan apa yang menjadi prioritas (tanggung jawab) kita sebaik-baiknya. Namun ini bukan berarti kita tidak aware dengan apa yang terjadi di sekeliling kita. Bertukar informasi dan berdiskusi (bukan berdebat) adalah salah satu hal yang dapat kita lakukan, kalaupun tidak ada kemampuan untuk merubah itu semua. Bukankah Tan Malaka pun tetap aktiv menulis dan bergerak sekalipun beliau sibuk mengajar di pelosok sumatra sana?

..

Kedua, bahwa kita tidak selayaknya terprofokasi dengna apa yang disampaikan media. Sudah mahfum dan banyak penelitian dilakukan yang membuktikan bagaimana kekuatan media dapat membentuk persepsi dan level prioritas interest masyarakat.

Mengenai bahan bacaan ini, saya teringat ucapan salah satu mentor: "Kualitas seseorang adalah sebanyak bahan bacaannya". Adalah benar apa yang kita baca, lihat, dengar dan rasakan sedikit banyaknya membentuk pola pikir seseorang. Namun, bagi saya 'membentuk' ini tidak selamanya berarti melandasi. Dalam arti kata, tidak berarti apa yang dibaca seseorang adalah perlambang pola pikir, apalagi pendapatnya.

..

Kebetulan beberapa saat lalu saya berkenalan dengan seorang rekan dari salah satu negara di belahan dunia sana. Saya mengatakan, saya seorang Indonesia. Ia yang dari raut wajahnya, dan pembicaraan kami setelahnya, saya yakin tidak familiar apalagi berkunjung (dan mengenal masyarakat serta budaya) Indonesia tiba - tiba berkata, "Ah, I read about your country, that's about the punk case, right?" Saya waktu itu tidak begitu paham apa yang ia sampaikan, ternyata ia baru saja membaca berita di koran metro lokal (koran gratisan yang dibagikan cuma-cuma untuk penumpang transportasi dalam kota Stockholm), tentang anak-anak punk di Aceh beberapa waktu lalu.

Malang, saat itu saya belum mengetahui tentang berita tersebut, dan juga saya belum bisa membaca koran yang tertulis dalam bahasa lokal, sehingga sulit bagi saya untuk meng-counter balance informasi yang ia dapat. Hal ini sedikit banyak menjadi pemikiran bagi saya, teringat ucapan student counselorsaat awal datang ke negara ini, "From now, you are ambassador of your country, what you say, what you do, your opinion, how you react, will represent you country and it's people, even you dont mean or want it."

Pun, jadi terngiang apa yang disampaikan Bapak Habibie sewaktu berdialog dengan beliau di Aachen beberapa bulan lalu. Beliau bercerita saat ia meminta ijin pada Ayahnya untuk mengikuti kelas pelajaran agama Kristen, dimana salah satu kegiatannya adalah membaca injil. Ayah beliau berkata, "Oh silahkan ikuti saja, kenapa tidak?", begitu kira-kira cuplikan cerita pak Habibie dengan gayanya yang khas.  Begitu juga cerita Almarhum Bapak Des Alwi, dalam tulisan beliau di salah satu memoar tentang Almarhum Angku Hatta. Salah satu hal yang beliau perhatikan tentang keunikan seorang Hatta adalah fakta bahwa beliau menghabiskan waktu sehari-harinya di tanah merah (Boven Digoel) dengan membaca (selain menulis dan mengajar).

Apa saja yang dibaca Hatta, selain berkopor-kopor buku yang beliau bawa dari tanah jawa? (Almarhum Des Alwi ingat betul bagaimana banyaknya koper berisi buku yang diturunkan Hatta dari atas kapal).Almarhum Des Alwi mengatakan, Hatta juga menghabiskan waktu membaca koran-koran yang beliau berlangganan setiap sebulan sekali, khusus dipesan Hatta untuk dikirim dari tanah jawa ke Boven Digoel. Koran-koran itu sebagaian adalah koran-koran terbitan media Belanda, penjajah yang mengirim Hatta ke pengasingan. Ini tentu bukan karena faktor media lokal tidak ada, karena pada waktu itupun sudah mulai bermunculan koran-koran cetakan orang-orang indonesia.

..

Rekan-rekan, dari cerita diatas bisa kita tarik kesimpulan, bahwa apa yang dibaca seseorang tidak berarti melambangkan pemikiran dan juga tidak selalu berarti melambang persetujuan dengan apa yang tertulis dalam bacaannya. Untuk mengetahui kebenaran, kita perlu tau apa yang salah. Untuk melawan sesuatu, kita perlu tau apa yang kita lawan. Untuk mengetahui ada yang berbeda, kita perlu tau apa yang membuat perbedaan itu.

Apakah Hatta dan Habibie adalah seorang yang latah dan terprofokasi dengan membaca bacaan - bacaan mereka itu? Walahualam. Namun saya berpendapat, dalam membaca, perlu kearifan dan kestabilan cara berpikir, sehingga kita mengetahui apa yang salah, apa yang kita tidak sependapat atasnya, dan apa yang kurang. Membaca itu ibarat mengamati bidak catur disisi lawan, mengamati dan menganalisa kemana gerangan gerakan selanjutkan akan diarahkan. Membaca, karena dari sana kita tau apa yang sedang terjadi, yang diketahui dan menjadi persepsi diluar sana, karena kita hidup dalam masyarakat global. Periksa, analisa, dan tidak terprovokasi, tapi jangan berhenti membaca. Baca, apa saja, karena itu jendela dunia!  Iqra, iqra, iqra. Tiga kali hal itu diulangi dalam Quran.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline