Lihat ke Halaman Asli

Apakah Sabar Ada Batasnya, Bu?

Diperbarui: 22 Februari 2021   16:29

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Diary. Sumber ilustrasi: PEXELS/Markus Winkler

Sebagaimana manusia yang senang untuk sambat. Kala itu aku mengungkapkan sambat ku pada Ibu. 

Kataku:

" Bu, manusia punya batas sabar nggak ya?Kita boleh marah nggak Bu? Kita boleh nggak, tidak jadi orang sabar? Karena seringkali manusia sabar disepelekan oleh yang lain karena dianggap terlalu sabar. Boleh nggak si Bu kita melawan? "

"Di dunia ini terlalu keras Bu. Aku seringkali ingin menangis. Kita yang harus memahami orang lain. Kita yang harus selalu memahami jalan hidup yang keras, kasar, juga jahat. Rasanya capek sekali Bu. Apakah orang sabar akan bisa terus menerus sabar Bu?

" Jadi manusia adalah pekerjaan yang paling melelahkan. Kalau bisa milih, sepertinya enak sekali kalau jadi buah-bahan. Tidak perlu merasa marah, sedih, nggak perlu menangis, tinggal menunggu waktunya saja untuk matang tanpa harus bersusah payah berjuang seperti manusia. "

Kata Ibu:

" Nak, Tuhan pernah nggak capek sama hambaNya? Tuhan pernah nggak berhenti menyayangi kita kalau kita sedang jauh dari-Nya? Tuhan pernah nggak berhenti peduli dengan kita kalau kita sedang nggak jadi manusia yang baik?

"Sabar itu nggak ada batasnya nak, karena Tuhan selalu menyediakan rasa sabar yang melimpah bagi manusia yang bersedia. Batas itu ada ketika manusia itu sendiri berhenti untuk menjadi sabar,membatasi dirinya untuk bersabar, dan menyerah dengan rasa sabar itu."

" Tuhan menciptakan hidup dengan penuh perjuangan, air mata, lika-liku, pengorbanan supaya manusia mengupayakan hidupnya, mengenali dirinya sendiri dan menemukan makna sejati kenapa ia diutus ke bumi sebagai manusia. Jatah jadi manusia kan ya memang cuma bisa dipakai sama manusia kan? Tuhan akan merawat segalanya nak. Percayalah! Sebuah sabar akan menuntun yang punya kepada kebaikan besar. "

" Manusia tinggal memilih jalannya. Untuk berhenti atau menghadapi. Untuk menyerah atau berserah. Untuk sabar atau ingkar. Untuk jadi manusia seluruhnya atau ia yang dimakan egonya. Hidup sudah diatur sesuai porsinya. Manusia jadi lakon di dalamnya."

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline