Lihat ke Halaman Asli

Tidak Ada yang Percuma

Diperbarui: 6 Februari 2021   23:11

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Diary. Sumber ilustrasi: PEXELS/Markus Winkler

Sesekali manusia terlibat dalam perjalanan sepi yang panjang. Menempuh ramai sendirian pun menggelepar bersama sepi yang riuh berbunyi. Apakah manusia juga mengilhami setiap harapan supaya bisa menemukan sebuah sandaran yang tidak istimewa tapi selalu ada? Tidak selalu sempurna tapi hal-hal baik disimpan rapi atas dirinya.

" kayaknya kalau semua udah baik-baik aja, engga perlu ada yang dibilang percuma ya "

Tidak ada hakim yang bijak selain waktu kan? Sudah repot-repot membasuh kesalahan masa lalu supaya hari ini berdiri tegap dengan semua pelajaran baik. Kenapa tidak ada yang percuma? Ya karena semua sudah ada porsinya. Jatah untuk jatuh, gagal, patah, kecewa, sampai senang sudah diatur. Untuk tetap ada di masa sekarang, kembali ke masa lalu, atau ber angan untuk lari ke masa depan cuma perkara menolak atau menerima. Tidak ada yang sia-sia. Dulu pernah bahagia sama-sama, jadi mungkin ini sisanya. Dulu pernah merasa kehilangan, sekarang ada gantinya. Dulu pernah merasa patah, sekarang punya alasan untuk tidak gampang menyerah. Dulu ada banyak cerita, sekarang waktunya ambil semua pelajaran baiknya. Jadi tidak ada yang percuma kan?

Kalau mau menyalahkan diri sendiri, mau pulang ke mana supaya rumah tetap mau menerima ia yang bersalah? Kalau mau selalu sejalan tidak ada beda, mau menuntun kepala kemana supaya selalu sama isinya?

Kalau semua sudah baik, boleh tidak merayakan ini dengan menerima semua isi di dalamnya? Yang baik itu baik, yang engga baik pun menyimpan hal baik. Kepala melihat ke arah mana kita memandang, lalu hati menuntun kita kesana. Sedang berjalan atau hampir sampai, tidak perlu ada yang diperdebatkan. Kalau ternyata dunia cuma soal baik dan tidak. Siap dan tidak siap. Menolak dan menerima. Jalan dan berhenti. Datang dan kembali.

Hilang juga sedang cari tujuan kaki untuk bisa kembali pulang. Tidak ada yang percuma, coba tanya apakah perasaan kita memandang sesuatu cuma karena ia berwarna? Bagaimana kalau isinya abu-abu? Bagaimana kalau jauh dari mau kamu?

Kalau semua sudah baik, dijaga ya. Nanti kalau sudah hilang, jarak antara kata percuma dan sia-sia jadi tidak kelihatan sisi baiknya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline