Lihat ke Halaman Asli

[Untukmu Ibu] Sepucuk Surat Desember

Diperbarui: 24 Juni 2015   03:37

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

13876960591501266989

[sumber gambar; mutiaraazizah.blogspot.com]

Peserta Nomor: 139

Salam Ibu,

Ketika menulis surat ini, adalah malam setelah dua minggu lebih dua hari dari hari terakhir aku meninggalkan rumah kemarin. Masih kusimpan tiket kereta yang kunaiki, berangkat dan kembali. Masih sangat kuingat raut wajah ibu yang penuh haru bersaput seri ketika aku benar-benar pulang. Pulang dengan tidak sendirian, seperti yang kujanjikan.

“Jadi benar, kamu akan pulang dengan ia menyertaimu ke rumah?” ketika aku mengabarkan kepastianku pulang beberapa hari sebelumnya.

“Insya Allah Bu.. sesampainya nanti aku di stasiun, aku terus menuju terminal menanti kedatangannya. Karena ia naik bis dari kota tempat ibunya berada. Setelah itu kami akan bersama ke rumah.”

“Ya sudah, hati-hati dalam perjalananmu nanti. Jangan lupa mengucap bismillah begitu keluar dari pintu kamar kosmu.”

“Iya Bu. Insya Allah. Nanti ibu masak yang enak, ya…”

Kataku mencandai ibu. Ibu mengiyakan dan aku yakin pasti raut wajahnya tersenyum mendengar permintaanku sebelum teleponnya ditutup setelah mengucap salam terlebih dahulu.

***

Ibu,

tiba-tiba saja aku kembali dirambati kenangan. Ingat kah ibu ketika itu bulan Ramadhan tahun lalu. Ibu menelpon menanyakan apakah aku akan pulang lebaran nanti. Kujawab iya, bahwa aku pasti pulang seperti tahun-tahun sebelumnya. Lalu kudengar dengan lebih seksama, ibu menghela nafas lalu terdiam sesaat sebelum kembali bicara.

“Apakah, kamu sudah mempunyai seseorang?”

Maksud ibu, seorang laki-laki yang saat ini dekat denganmu…?”

Saat itu juga, aku langsung memejamkan mata. Sesuatu hal yang nyaris selalu ibu tanyakan setiap menjelang lebaran. Dan setiap kali ibu melontarkan pertanyaan ini, aku meneteskan air mata Bu meski tanpa suara. Bukan karena aku tidak suka atas pertanyaan ibu. Tapi karena aku selalu bingung bagaimana harus menjawabnya. Selain itu dalam diriku selalu timbul perasaan sedih. Sedih dan bersalah karena masih saja terus-terusan aku menyakiti hati ibu.

“Tadi pagi budemu datang ke rumah.” Suara ibu lirih dan pelan.

Ini dia. Ya Tuhan, tenangkan diriku. Jangan buat kata-kataku yang nantinya keluar mengecewakan hati ibu.

“Oh, iya Bu. Apa kabarnya bude, dan semua keluarga?

Sehat-sehat saja kan?” tanyaku dengan perasaan yang kutenang-tenangkan.

“Alhamdulilllah sehat. Sehat semuanya.

Hanya… budemu memarahi ibu tadi.” Suara ibu nyaris seperti hendak menangis.

Kupejamkan mataku semakin rapat. Kusebut nama tuhan tanpa suara. Rasanya apa yang kutakutkan akan segera terjadi. Akhirnya terjadi kembali hal ini, batinku. Hal yang selalu membuat ibu sedih. Sedih karena diriku.

“Memarahi bagaimana Bu?

Hal apa yang membuat bude marah kepada ibu?”

“Budemu bilang, kok ibu ini bisa tenang-tenang saja melihat anak perempuannya yang sudah perawan tua belum ada tanda-tanda kapan menikah.

Dan lain-lainnya…”

Air mataku menetes. Kugigit bibirku sekuatnya agar jangan sampai suara isakku keluar.

“Ibu yang sabar ya. Aku mohon Ibu jangan berhenti mendoakan aku.” Kataku dengan nada yang sangat bersalah.

“Ibu tak pernah berhenti mendoakanmu.

Memintakan segala yang terbaik untukmu. Agar kamu selalu dijaga di tempatmu bekerja, ditempatmu berada.”

“Tapi aku selalu menyakiti hati ibu. Membuat ibu sedih. Mohon maafkan aku, ya Bu.”

“Makanya, ibu menelpon ini sekalian mau bilang sama kamu. Jika kamu memang belum ada calon, ada tetangga kita…

“Kamu ingat pak Ahmad yang beberapa tahun lalu itu pindah ke desa kita?”

“Iya Bu, aku ingat. Terus?”

“Ia bilang ke ibu katanya mempunyai keponakan laki-laki yang tinggal di perbatasan kota. Dan keponakannya itu sedang mencari seorang istri. Nah, pak Ahmad hendak memperkenalkannya sama kamu.”

Tiba-tiba dadaku rasanya sesak sekali.

Ibu meneruskan bahwa menurut cerita dari pak Ahmad, keponakannya itu benar-benar serius mencari seorang istri. Setelah menamatkan sekolah STM, ia nyantri di pondok pesantren selama lima tahun. Sepulang dari pesantren ia membuka usaha sendiri toko dan bengkel hingga sekarang. Ia berharap perempuan yang nanti menjadi istrinya akan bersedia untuk mengelola toko. Sementara ia fokus mengurus bengkelnya.

“Begitulah sedikit gambaran mengenai keponakan pak Ahmad. Bagaimana? Apa kamu bersedia nanti menemuinya?”

Sambil masih kupejamkan mata, kujawab pertanyaan ibu.

“Iya, Bu. Tidak apa-apa. Insya Allah, aku akan menemuinya ketika nanti ia jadi datang ke rumah kita.”

Setelah telepon ibu di tutup, aku benar-benar menangis. Air mataku menderas dan hatiku menjadi begitu sedih.

***

Ibu,

engkau tahu, sekarang pun, malam ini kembali aku menitikkan air mata. Ingatanku jatuh kembali pada raut wajah ibu di hari itu.

Lebaran tiga hari kira-kira jam setengah sembilan pagi pak Ahmad datang bersama keponakannya. Aku sedang sibuk di dapur bersama kedua adiku Isma dan Risa. Ibu dan ayah yang pertama menemui mereka. Kemudian ayah ke dapur dan memintaku turut menemui mereka. Aku ingat, di hari yang sama aku harusnya datang memenuhi undangan reuni dengan teman-teman SMP di sekolah SMP-ku dulu.

Namun aku sudah pasti tidak akan bisa datang. Aku sudah berjanji kepada ibu ketika di telpon waktu bulan puasa itu bahwa aku akan menemui pak Ahmad dan keponakannya jika benar datang ke rumah.

Ibu,

Aku sangat ingat betapa wajah ibu dan ayah dipenuhi senyum dan dan harapan. Ya, senyum dan harapan. Mengiringi perbincangan dengan dua tamu itu. Suasananya begitu akrab. Apalagi memang ayah adalah orang yang penuh humor. Ibu dan ayah lalu memperkenalkanku dengan dua orang tamu itu.

Kuamati laki-laki keponakan pak Ahmad itu. wajahnya bersih dan memang tampan. Ia memakai peci ala anak muda. Oh, iya serupa peci yang kerap digunakan oleh ustad Arifin Ilham. Bedanya yang dipakai keponakan pak Ahmad warnanya hitam. Ia memakai atasan batik dengan warna dasar biru gelap lengan panjang dilipat hingga di bawah siku. Lalu bawahannya celana panjang jins biru tua.

Secara keseluruhannya, penampilannya sopan dan enak dipandang. Tapi jujur, tidak ada getaran di hatiku. Meski kecil atau samar.

Lalu ibu dan aku ke dapur menyiapkan masakan yang sudah matang di meja makan. Ibu meminta pak Ahmad dan keponakannya untuk sarapan. Sudah menjadi seperti tradisi di rumah orang tuaku, jika ada yang datang di hari lebaran baik itu saudara maupun kerabat, dipersilakan untuk makan.

Namun pak Ahmad dan keponakannya menolak dengan halus. Katanya mereka sudah sarapan sebelum berangkat tadi. Pak Ahmad menemui ibu dan aku lalu kepadaku ia mengatakan bahwa keponakannya ingin meminangku. Aku kaget. Secepat itu?

“Oh, tapi boleh saya meminta waktu untuk berfikir dulu, sebelum memberikan jawaban?”

Pak Ahmad mengiyakan, dan akan menunggu jawabanku.

“Mohon maafkan saya sebelumnya. Jika nanti ternyata kami tidak berjodoh, apakah bapak dan keluarga bapak tidak apa-apa?

Saya berharap apapun nanti jawaban saya, akan tetap terjalin silaraturahim antara keluarga saya dan keluarga bapak.”

Pak Ahmad kembali mengiyakan.

***

Duhai Ibu,

aku sangat ingat, masih sangat ingat bagaimana jawabanku sehari setelahnya.

“Mohon maafkan aku Bu, aku tidak bisa menerimanya. Mohon ibu sampaikan kepada ayah, dan juga keluarga pak Ahmad ya Bu. Aku mohon ibu ikhlas menerima keputusanku ini.”

“Oh, menngapa kamu tidak bisa menerimanya?

Ibu sudah melihatnya. Ia laki-laki yang baik, sopan dan ramah. Juga mengerti tentang agama.”

“ Oh, ampuni aku Ibu. Aku tidak bisa menerimanya, karena aku telah mempunyai seorang laki-laki pilihanku.” Air mataku berderai. Sambil aku telungkupkan kepalaku di pangkuan ibu.

Tangan ibu terkulai di atas kepalaku.

“Mengapa tak kamu bilang, sewaktu ibu menelpon pada waktu puasa yang lalu”

“Maafkan aku Bu, aku menerima kabar darinya setelah ibu menelpon. Aku tidak mau membuatnya menjadi rumit. Makanya aku mendiamkannya dan akan memberitahu ibu ketika aku sudah ada di rumah.”

“Tapi kamu tidak langsung cerita kepada ibu, begitu kamu sampai di rumah sehari sebelum lebaran…”

“Iya, Bu. Aku sengaja menunggu pak Ahmad dan keponakannya datang. Aku sudan berjanji untuk bersedia menemui mereka kan Bu?”

”Iya, ibu mengerti alasanmu. Tapi tidak enak dengan keluarga pak Ahmad. Takutnya mereka punya fikiran kenapa kok tidak bilang dari awal kalau kamu sudah memiliki pilihan.”

“Maakan aku ya Bu.” Kuangkat kepalaku. Kupandangi wajah Ibu. lalu kurengkuh ibu erat kedalam pelukanku.

“Siapa dia?” Bisik ibu sambil mengelus kepalaku.

“Sahabatku Bu. Kami bertemu di tempat kami sama-sama menulis. Di sebuah komunitas menulis.” Ibu menghela nafas lalu melanjutkan pertanyaannya.

“Tapi kenapa dia tidak datang ke sini?”

“Saat ini dia sedang dalam pengobatan untuk kesembuhan sakitnya Bu. Setelah sembuh nanti, ia akan menemuiku juga ibu dan ayah. Mohon ibu doakan ya.”

“Sakit apa dia? Dan di mana dia tinggal?”

“Sakit di bagian kepala. Sudah berobat ke dokter spesialis. Dan sekarang sedang menjalani ke pengobatan alternatif Bu.

Sejak lulus SMA dia pergi merantau ke sebrang pulau. Kuliah lalu bekerja di sana hingga sekarang. Tapi ibu dan adiknya yang sudah berkeluarga tinggal di kota, yang kira-kira bisa ditempuh dengan kendaraan kurang lebih enam jam dari rumah kita ini Bu.”

“Ibu dan adiknya? Ayahnya… ?

“Dia sudah tidak memiliki ayah sejak usianya lima tahun Bu. Meninggal karena sakit.”

“Ibunya tidak menikah lagi?”

“Tidak.”

“Oh...”

“Apa kamu sudah merasa yakin dengannya?”

“Insya Allah Bu. Aku mencintainya.

Dan ia juga mencintaiku.” Jawabku dengan sepenuh hatiku.

***

Duhai yang tercinta, Ibu…

Betapa lapangnya kasihmu. Betapa sabar dan ikhlas hatimu untuk selalu menerima permohonan maafku, keputusan-keputusanku.

Dan hingga awal bulan lalu, ketika aku benar-benar pulang membawa apa yang kujanjikan. Betapa rona syukur dan seri yang memancar pada raut wajahmu. Ketika jemarimu menyambut uluran salam dan tangan dari laki-laki yang aku cintai.

Memberikan kepada kami segenap restumu. Sudahkah aku mengucapkan terima kasih padamu Ibu. Terima kasih.

Terima kasih ya Tuhan, telah Engkau anugerahkan kepadaku seorang ibu yang terbaik. Terima kasih Tuhan. Terima kasih.

Terima kasihku Ibu, semoga Allah senantiasa meridhoi dan memberkahi usiamu, hidupmu. Barrakallah. Aamiin ya Robbana ya Kariim.

Jakarta, 20 Desember 2013 (2.02)




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline