Urbanisasi Pendorong Slums Area di Kota Surabaya?
Surabaya adalah ibukota Provinsi Jawa Timur di Indonesia. Kota ini sekaligus menjadi sebuah kota metropolitan terbesar di provinsi tersebut. Surabaya merupakan kota terbesar kedua di Indonesia setelah Jakarta. Kota Surabaya juga merupakanpusat dari berbagai sektor kehidupan seperti pusatbisnis, perdagangan dan jasa, industri, pendidikan, dan kesehatan di kawasan Indonesia bagian timur. Surabaya terletak di tepi pantai utara Pulau Jawa dan berhadapan dengan Selat Madura serta Laut Jawa. Kota ini memiliki luas sekitar 333,063 km2 dengan kepadatan penduduk berjumlah 2.813.847 jiwa pada tahun 2014. Daerah metropolitan Surabaya yaitu Gerbangkertosusila yang berpenduduk sekitar 10 juta jiwa, merupakan terbesar kedua di Indonesia setelah Jabodetabek. Surabaya terkenal dengan sebutan Kota Pahlawan karena sejarahnya yang sangat diperhitungkan dalam perjuangan merebut kemerdekaan bangsa Indonesia dari tangan penjajah.
Kota Surabaya tumbuh sangat pesat dibanding kota kota lain di provinsi Jawa Timur . Sebagian wilayah di kawasan kota Surabaya telahmemiliki kondisi yang baik dari segi lingkungan, ekonomi dan sosial. Dari ketiga aspek kehidupan ini , telah digunakan oleh pemerintah Surabaya sebagai pilar dalam melaksakan pembangunan berkelanjutan (sustanaible divelopment). Namun bagaimana dari sebagian kecilnya lagi?Apakah masih ada daerah yang tertinggal dengan kemajuan kota Surabaya? Jawabannya adalah masih ada . Karena sebagian masyarakat ada yang belum merasakan kemajuan tersebut. Adanya permukiman yang tidak layak untuk dihuni merupakan salah satu contoh dari masyarakat yang belum merasakan adanya kemajuan. Hal ini yang menjadi masalah . Permukiman kumuh ini lebih dikenal dengan sebuatan slums area.
Orang yang berada di bawah garis kemiskinan yang selalu berusaha untuk memperbaiki hidupnya, yaitu dengan jalan mengadakan urbanisasi ke kota. Di kota mereka mencari orang orang yang memiliki nasib yang sama, dan kemudian mengisolir diri dalam perkampungan miskin yang bergaya pedesaan. Di tempat yang secara sosial terisolir ini mereka hidup dalam keadaanmelarat dan kondisi yang sengsara, karena tidak memiliki pekerjaanyang tetap dan layak. Di dalam pemukiman miskin ini terdapat suasana kehidupan yang pengap, karena adanya transisi. Lingkungan menjadi kumuh karena mereka tidak mempunyai biaya untuk menjaganya. Sehingga mereka membentuk lingkungannya sendiri yang menjadi kumuh. Demikian proses terbentuknya slumsarea di kota-kota besar yang terlihat begitu kumuh di beberapa bagian tertentu, di mana pemukiman-pemukiman kumuh tersebut berkumpul.
Umumnya slums area menempati area-area kosong milik swasta ataupun milik pemerintah secara illegal. Pembiaran terhadap munculnya permukiman secara illegal ini pada akhirnya akan menimbulkan masalah baru ketika penduduk mulai merasa memiliki terhadap tanah tersebut yang mereka tempati, apalagi bertahun-tahun atau bahkan secara turun-temurun. Permasalahan mulai muncul khususnya pada saat tanah area dimana mereka tinggal suatu waktu akan dimanfaatkan oleh pemilik sah (swasta atau pemerintah ), maka tentu saja berujung pada konflik yang terjadi diantara kedua belah pihak, apalagi ketika terjadi pergusuran secara paksa. Kebanyakan pemukiman kumuh ini berada di stren kali, atau bantaran sungai kota. Sebagai contoh kasus penggusuran yang terjadi di stren kali Jagir, Surabaya pada tahun 2009 silam. Pada saat penggusuran masih banyak diantara mereka yang masih bertahan di bekas bongkahan bangunan-bangunan yang sebagian besar sudah bersifat semi permanen.
Slums area di daerah bantaran kali Jagir ini umumnya dihuni oleh penduduk dari daerah Madura, Probolinggo dan Surabaya. Daerah slums area di bantaran kali Jagir Wonokromo ini sering disebut sebagai kampung pemulung karena mayoritas penduduk di daerah tersebut bekerja sebagai pemulung. Hingga saat ini, jumlah masyarakat yang tinggal di sana adalah 116 kepala keluarga. Dengan hitungan 106 jumlah penduduk yang menetap atau domisili dan sisanya hanya penduduk pindahan atau sementara.
Salah satu faktornya ialah tidak lain adanya Urbanisasi yang tidak merata dan ledakan populasi Urbanisasi merupakan fenomena yang biasa terjadi di sebuah Negara, khususnya negara-negara berkembang seperti Indonesia. Urbanisasi terjadi karena ada faktor-faktor pendorong dan penarik yang menyebabkan masyarakat melakukan perpindahan ke daerah lain. Faktor dominan adalah ekonomi. Dengan alasan untuk meningkatkan perekonomian masyarakat berpindah dari suatu daerah ke daerah lain yang dianggap mampu menyediakan sumber-sumber perekonomian yang baik. Hal ini biasanya terjadi pada masyarakat desa yang melakukan migrasi ke kota atau perkotaan, khususnya kota-kota besar seperti Jakarta dan Surabaya yang dalam bayangan mereka mampu menyediakan lapangan pekerjaan yang luas dan beragam dan tentunya dengan harapan untuk penghasilan yanglebih baik secara ekonomi. Anggapan mereka tidak keliru, karena kenyataannya kota-kota besar memang menyediakan lapangan pekerjaan yang banyak dan beragam. Namun demikian menjadi keliru jika mereka masih menganggap mudah untuk mengakses ragam pekerjaan yang disediaakan oleh kota-kota besar tersebut, terlebih lagi pekerjaan yang membutuhkan keahlian khusus. Tentu saja mereka tidak akan mempertimbangkan hal ini , dan pada akhirnyamerekapun melakukan migrasi besar-besaran denganhanya bermodalkan nekat.Tidak ada modal keahlian maupun modal financial yang mereka miliki sebagai langkah untuk bertahan di perkotaan dengan kehidupan yang serba modern, heterogen dan individualistis.
Di Indonesia, gejala urbanisasi mulai tampak menonjol sejak tahun 1970-an disaat pembangunan sedang digalakkan terutama di kota-kota besar. Beberapa faktor disinyalir menjadi pendorong meningkatnya arus urbanisasi, di antaranya : perbedaan pertumbuhan dan ketidakmerataan fasilitas antara desa dengan kota dalam berbagai aspek kehidupan, semakin meluas dan membaiknya sarana dan prasarana transportasi, pertumbuhan industry di kota-kota besar yang banyak membuka peluang kerja, pembangunan pertanian khususnya melalui paket program revolusi hijau. Tetapi pada umumnya faktor ekonomi dianggap sebagai faktor utama menjadi pendorong arus urbanisasi.
Urbanisasi memang bukanlah termasuk tindakan yang melanggar aturan. Merujuk bahwa Indonesia adalah Negara kesatuan yang membebaskan persebaran warganya, karena itu adalah hak setiap warga untuk untuk mencari penghidupan yang layak dimanapun tempatnya (pasal 27 ayat 2). Hal ini tentunya menjadi permasalahan besar bagi kota-kota besa, dan sekaligus sebagai pekerjaan rumah (PR) yang belum tertuntaskan hingga kini. Oleh karena itu harapan kepada pemerintahan yang baru dibawah kepemimpinan Presiden Joko Widodo (Jokowi) inisegera memberikan solusi terhadap permasalahan mengenai slums area sehingga tidak ada lagi istilah slums area menjamur di tengah majunya berbagai aspek pembangunan kota.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H