Lihat ke Halaman Asli

Laila Nursalsabila

Mahasiswa di Universitas Pendidikan Indonesia

Self Harm: Dampak Isu FoMO Pada Gen Z

Diperbarui: 31 Oktober 2023   08:48

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Penulis: Laila Nursalsabila

Dosen Pembimbing: Nadia Aulia Nadhirah, M.Pd., & Tiara Iskandar Pratiwi, S.Pd.

Kata up to date mungkin sudah tidak asing lagi di telinga. Melihat perkembangan zaman yang terus terjadi menyebabkan banyaknya perubahan dalam ranah kehidupan, satu di antaranya adalah ranah komunikasi. Perkembangan pada ranah komunikasi didorong oleh perubahan dalam dunia digital yang semakin dinamis sehingga saat ini seseorang dapat mengetahui kabar terbaru mengenai peristiwa yang terjadi di sekitarnya melalui media sosial. Kini media sosial sudah menjadi bagian dari kehidupan dan gaya hidup bagi banyak orang, bahkan media sosial merupakan jenis layanan internet yang paling banyak digunakan saat ini karena tidak hanya berperan sebagai sumber informasi, tetapi juga menjadi media hiburan.

Di balik kegunaannya, ternyata media sosial dapat menimbulkan dampak buruk bagi para penggunanya. Munculnya fenomena yang disebut FoMO merupakan satu diantaranya. FoMO atau Fear of Missing Out adalah fenomena yang terjadi pada seseorang ketika ia merasa takut dan cemas akan tertinggal suatu aktivitas tertentu. Menurut teori yang dikemukakan Przybylski, dkk., FoMO adalah perasaan yang dialami oleh individu karena takut dan khawatir akan terlewatnya suatu peristiwa penting tanpa melibatkan dirinya sehingga mendorongnya memiliki kecenderungan untuk terus terhubung dan mengetahui apa saja yang orang lain lakukan melalui media sosial.

Fenomena FoMO mendorong seseorang untuk terus fokus pada peristiwa yang terjadi, mengakibatkan tumbuhnya adiksi terhadap media sosial. Tidak hanya itu, FoMO juga dapat mendorong seorang individu untuk terus membandingkan hidupnya dengan orang lain, seolah-olah kabar mengenai apa yang dilakukan oleh orang lain tidak boleh dia tinggalkan. Keberadaan pengguna media sosial yang membagikan ceritanya mengenai kejadian self harm cenderung mendorong orang lain untuk mengikuti langkahnya, bahkan berisiko kehilangan nyawa. Peristiwa ini terus terjadi dan kian menyebar sehingga self harm sudah bukan menjadi peristiwa yang aneh untuk dijumpai bagi sebagian orang, satu di antaranya adalah Gen Z atau anak-anak yang dilahirkan pada rentang waktu 1997-2012.

Menurut survei yang telah dilakukan oleh situs MyLife.com, 56% orang di Indonesia mengalami FoMO, di mana mereka takut kehilangan informasi, berita, dan update status penting jika mereka berada jauh dari media sosial. Gen Z menjadi generasi pengidap FoMO terbanyak dibandingkan dengan generasi lainnya, hal ini terjadi karena Gen Z saat ini sedang dalam perkembangan intimacy vs isolation, dalam hal ini intimacy pada Gen Z memerlukan kegiatan sosialisasi dan komunikasi dengan baik, salah satu caranya melalui media sosial. Menurut hasil penelitian yang dilakukan oleh J. Walter Thompson Intellegence (JWT) ia menjumpai bahwa pada usia 18-25 tahun atau pada masa perkembangan remaja akhir memiliki tingkat tinggi mengalami FoMO. Gezgin, dkk., (2017) juga menyatakan pada usia 21 tahun memiliki kemungkinan mengalami FoMO lebih tinggi dibandingkan pada usia 24 tahun ke atas.

Hal ini tidak menutup kemungkinan bahwa FoMO juga akan dialami oleh remaja pada tingkat awal dan pertengahan. Terhitung hingga Januari 2022, jumlah pengguna salah satu media sosial bernama TikTok di Indonesia mencapai 92,07 juta orang, dengan 13% di antaranya merupakan remaja dengan rentang usia 13-17 tahun. Melalui media sosial ini remaja mampu mengikuti segala tren yang sedang terjadi sehingga mayoritas dari remaja saat ini menganggap semakin aktif mereka di media sosial maka semakin keren mereka di hadapan orang-orang.

Raian Ali menyatakan bahwa FoMO tidak hanya berupa ketakutan pada individu untuk kehilangan kesempatan dalam mengetahui kabar terbaru mengenai orang lain, tetapi juga ketakutan individu ketika ia kehilangan kesempatannya dalam berperan aktif didalamnya dan meningkatkan popularitas dirinya.

Penderita FoMO akan mengalami gangguan kecemasan ketika ia jauh dari media sosial. Semakin merasa tertinggal ia akan semakin cemas dan mendorongnya untuk menghabiskan banyak waktu di media sosial. Semakin banyak hal yang ia lihat dan dapat tiru di media sosial, maka semakin banyak hal yang ia cemaskan karena merasa tertinggal dan tidak bisa mengikutinya. Ia akan terus berada pada lingkaran negatif untuk bersaing mendapatkan tempat yang ia inginkan dan memprioritaskan inferioritas tanpa berfokus pada dirinya sendiri sehingga menyebabkan depresi dan tidak dapat berfikir dengan rasional karena perhatiannya sudah teralihkan dengan hal-hal yang berkaitan dengan rasa FoMO.

Oleh karena itu, ketika maraknya self harm bermunculan di media sosial banyak Gen Z yang sudah mengalami FoMO akan dengan mudah menirukannya, dari satu menjadi dua dan terus bertambah dan menyebar. Sehingga semakin banyak tayangan mengenai self harm di media sosial maka semakin signifikan tingkat kemungkinan Gen Z dalam menirukannya sehingga ketika menghadapi suatu masalah bukannya mencari cara untuk menyelesaikannya, mereka akan cenderung merasa putus asa dan memilih melakukan self harm untuk melampiaskan emosi yang mereka miliki. Hal ini terjadi karena rendahnya self regulation atau kemampuan mengendalikan diri untuk mencapai tujuan tertentu pada Gen Z rendah yang karena diakibatkan oleh FoMO.

Ketika muncul paparan mengenai self harm atau bunuh diri di media sosial mereka tidak mengomentari ataupun merasakan simpati tetapi semakin membuat mereka ingin mengikuti hal tersebut sehingga apa yang seharusnya tidak boleh dilakukan menjadi sesuatu yang wajar dan keren untuk dilakukan.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline