Lihat ke Halaman Asli

Semangat Muda

Diperbarui: 26 Juni 2015   07:09

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pernah ingin kembali ke masa lalu? Atau berharap bisa menemukan mesin waktu dan berkunjung ke masa tertentu dalam kehidupan mu? Kalau iya, jangan malu. Itu bukan suatu hal yang buruk, bukan pula suatu wujud ketidakmampuan menerima kenyataan. Asalkan ada yang bisa kita petik dari secuplik peristiwa itu, maka tidak mustahil itu bisa memperindah lakon dalam drama hidup kita saat ini.

Dari sekian banyak episode dalam drama kehidupanku, ada satu yang sangat ingin kualami lagi. Itu terjadi ketika aku kelas 4, tepatnya beberapa bulan sebelum perayaan hari kemerdekaan. Namaku termasuk dalam daftar peserta lomba Gerak Jalan Putri tingkat SD. Bukan main bangganya aku saat itu, dengan semangat 45 aku mengikuti latihan pertama bersama 21 anak lainnya. Akan tetapi semangatku lenyap perlahan seperti kehangatan kopi yang dicuri angin sejak Sang Pelatih (Guruku) mengeluarkan perintah pertamanya,

"Ya anak-anak, sekarang semua berbaris sesuai ketinggian!" begitu perintahnya. Tak perlu terlibat dalam hiruk pikuk teman-teman yang berebut posisi, lunglai kutunggu barisan terakhir. Yah, di sanalah pastinya aku berdiri, pada baris ke tujuh, nomor urut 21. Pasti. Menurutku posisi itu sangat buruk; pertama, aku tidak akan tampak jika difoto; kedua, aku tidak akan dikenali oleh orangtuaku; dan ketiga, selama pertandingan aku hanya akan menatap punggung teman di depanku. Tidaak... aku mau di depan.

"Bu, kenapa yang kecil harus di belakang?" teriakku kala itu

" Itu aturannya dalam baris-berbaris" jawab Bu guru.

" Tidak adil, bagaimana kalau kami tercecer atau tidak bisa menyesuaikan dengan langkah mereka yang di depan?" teriakku lagi menahan tangis. Guruku tertawa, teman-temanku tertawa. Aku menunduk memainkan ujung sepatuku yang tiba-tiba buram karena sesuatu menggenangi mataku.

"Kalau mau di depan, jadilah pemimpin regu. Siapa pun bisa jadi pemimpin regu, tidak perlu tinggi, yang penting suaranya nyaring dan bisa memimpin barisan" Guruku berbicara lantang menghentikan tawa teman-temanku,juga tangisku.

"Saya mau, Bu" jawabku tanpa pikir panjang, seketika 22 pasang mata mengepungku.

"Bagus.." ucap Bu guru, "siapa lagi yang sanggup?" hening. Aku pun jadi pemimpin regu.

***

"Pritt..prit.. prit.. Variasi U, jalan!"

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline