“eh anakku sudah bisa baca dong”
“anakku juga, lho! Bacanya pintar banget“
“untung deh ya anak kita sudah bisa baca, tulis, dan berhitung jadi kita tenang mau masukin SD nanti.”
“ah kalau si Gatot masih belum bisa baca. Diajarin ogah-ogahan anaknya. Tau deh ntar SD-nya gimana? Takut ketinggalan aku, ntar teman-temannya sudah bisa baca, dia belum lagi.”
Sepotong obrolan para ibu disaat sore hari, yang memiliki anak rentan usia 4-5 tahun. Buah hati mereka sejak kecil sudah dimasukkan ke lembaga pendidikan yang berfokus pada calistung.
“Mbak, aku mau curhat deh, itu si Rini (5th) sudah bosan sekolah, harusnya dia SD tapi sekolah nggak mau terima dia, karena umur. Dan kalau masih harus tinggal kelas di TK B dia sudah bosan.“ keluh seorang ibu muda yang memiliki putri sangat pintar, bisa membaca, menulis, berhitung, dan hafalan lancar sejak usia 4 tahun.
“Memang Rini masuk sekolah waktu PAUD usia berapa, Mbak ?” tanyaku.
“Sebelum 3 tahun sih, maksudnya biar dia mau sosialisasi aja gitu. Tapi ternyata diajarin calistung juga” jawab ibu muda tersebut.
Sontak aku terkejut, “belum usia 3 tahun sudah disekolahkan dan diajarkan calistung?????????” gumamku dalam hati.
Rasanya sedih sekali! Jika, kita sebagai orangtua melek akan ilmu pengasuhan, kita akan tahu, belajar bersosialisasi tidak harus menyekolahkan anak. Belajar sosialisasi bisa dari saudara-saudara atau orangtua, misalnya belajar berbagi dan mempertahankan haknya.
Jikalau anak tersebut masih takut bertemu dengan orang asing saat usia belum 3 tahun, itu adalah hal wajar. Karena, anak yang masih berusia 1 sampai 2 tahun masih mencari tempat berlindung, yaitu orangtuanya.