Seandainya Ahok pemain bola, maka harganya sekarang selangit. Ia melebihi harga Paul Pogba, pemain termahal dunia saat ini. Berdasarkan kelangkaan dan kontroversialnya (estimasi penulis), harga Ahok saat ini berada pada kisaran 500 juta US dollar atau setara dengan 6,5 Triliun Rupiah. Sebuah harga fantastis bagi seorang pejabat selangka Ahok. Harga itu bisa semakin mahal jika ia bebas dari kasus tuduhan penistaan agama.
Bagi rakyat yang anti korupsi, Ahok jelas sosok langka di zamannya. Ia adalah sosok yang dinantikan setelah Indonesia 70 tahun merdeka. Keberanian luar biasa Ahok menghabisi para koruptor di birokrasi Pemprov DKI adalah bukti nyata kehebatannya. Jelas, sangat sulit menemukan sosok berani mati seperti Ahok dalam membela uang rakyat. Itulah sebabnya harga seorang Ahok sangat mahal di mata rakyat yang hancur lebur di kubangan korupsi. Ia adalah mutiara melebihi emas di eranya.
Bagi musuhnya, Ahok jelas sangat mahal sekali. Demo 4 November 2016 lalu menelan biaya lebih Rp. 100 miliar. Duit sebanyak itu, jelas tidak sedikit. Sekarang ini saja, para musuh Ahok telah menempatkan 15 orang per kecamatan di seluruh DKI untuk menolak setiap kampanye Ahok. Berapa biaya seluruh personil yang ditempatkan oleh musuh Ahok demi menjegalnya sampai Pilkada 2017 mendatang?
Jika dihitung biaya-biaya yang telah dikeluarkan oleh musuh Ahok sebelumnya demi menjegalnya, maka total biaya penjegalannya Ahok luar biasa besar. Itu bisa dilihat secara gambalang pada institusi BPK dan DPRD DKI.
Pada kasus Sumber Waras misalnya, BPK terpaksa kehilangan nama ‘baik’ atau nama munafiknya. BPK pun terpaksa menerima nasib dicap ‘ngaco’ oleh Ahok. Gara-gara Ahok, BPK berpotensi kehilangan pendapatan dari kong kali kong dengan seluruh pejabat di Indonesia ratusan miliar Rupiah dalam bisnis penilaian WTP. Padahal Hadi Purnomo, mantan ketua BPK, berhasil menjadi kaya raya lewat penjualan nama BPK.
Gara-gara Ahok, DPRD DKI terpaksa kehilangan anggaran siluman dengan nilai Rp. 12 Triliun per tahun akibat adanya perlawanan Ahok. Jika selama lima tahun Ahok memimpin, maka dengan gampang bisa dihitung kerugian anggota DPRD DKI itu. Mereka berpotensi menelan kerugian 60 triliun Rupiah yakni 5 kali Rp. 12 triliun. Fantastis bukan?
Hal yang paling mencengangkan adalah potensi kehilangan pendapatan dari para pejabat, preman, mafia berdasi dan para pengusaha akibat keberadaan Ahok. Berapa kerugian preman Tanah Abang, parkir liar, pemukiman liar, perusahaan bodong yang bekerja sama dengan pejabat Pemrov DKI akibat adanya seorang Ahok? Berapa kerugian para PSK, germo dan pengusaha di Kalijodo gara-gara seorang Ahok? Puluhan miliar, ratusan miliar?
Bagi Jokowi, harga seorang Ahok juga sangat mahal sekali. Jika Jokowi bermimpi menjadikan Jakarta menyaingi Singapura, maka hanya Ahoklah yang mampu mewujudkannya. Siapapun, tak bisa membantah prestasi Ahok dalam membangun Jakarta selama dua tahun kepemimpinannya. Lalu jika Ahok gagal menjadi Gubernur periode kedua, mimpi Jokowi itu akan dikandaskan oleh gubernur penggantinya.
Tentu saja bukan hanya itu yang menjadikan Ahok sangat mahal di mata Jokowi. Ahok adalah representasi WNI keturunan yang berhasil menjadi gubernur di ibu kota republik ini. Benar bahwa WNI ketururunan adalah minoritas di negeri ini. Akan tetapi merekalah yang menguasai perekonomian negeri ini. Sekarang ini lebih 80 persen ekonomi Indonesia dikuasai oleh WNI keturunan Tionghoa.
Ketika rakyat banyak dan kaum beragama sibuk berkelahi memperebutkan dan membela nama Tuhan, kaum minoritas Tionghoa sibuk dengan sangat tekun, sabar dan ulet membangun ribuan perusahaan. Hasilnya kini, tak ada bidang yang ekonomi di negeri ini yang tidak dikuasai oleh kaum WNI keturunan. Nyaris setiap kota mereka kuasai 100%. Lalu siapa yang salah? Tentu saja rakyat banyak yang menyebut dirinya kaum mayoritas. Mereka sibuk berdebat siapa yang berhak memiliki Tuhan, dan siapa yang kuat membelanya.
Ketika ada kesenjangan ekonomi antara orang kaya dan miskin, maka sasaran kebencian lagi-lagi kaum WNI keturunan. Peristiwa 1998 adalah tragedi tak terlupakan bagi WNI keturunan. Paham atas negeri ini yang tidak ramah bagi kaum WNI keturunan, maka tak heran jika duit-duit yang diperoleh berkat keuletannya dan tentu saja juga tak luput dari kong kali kong dengan pejabat yang rakus disogok, disimpan di luar negeri.