Amerika sangat paham bahwa agama dan nasionalisme di Indonesia akan dibela mati-matian. Jika agama di Indonesia sedikit saja dihina, maka orang yang menghina akan langsung dikeroyok, dibakar hidup-hidup dan abunya dicampur dengan debu jalanan. Jika si penghina berada di luar negeri, maka yang bersangkutan akan dihujat habis-habisan, didemo jarak-jauh dan didoakan supaya mati seketika plus mayatnya diharapkan langsung disantap habis ulat-ulat ajaib.
Demikian juga soal rasa nasionalisme. Nasionalisme rakyat Indonesia jangan diganggu. Sedikit saja disinggung rasa nasionalismenya, maka darah rakyat Indonesia langsung berdesir, mengalir kencang, membara dan berkobar. Rakyat Indonesia akan selalu siap berperang demi tanah airnya. Walaupun hanya bambu runcing di tangan dan bahkan tangan kosong plus perut kosong sekalipun, rakyat Indonesia siap mati konyol. Dan Amerika sangat paham itu.
Ketika Jokowi mengobarkan nasionalisme terkait perpanjangan kontrak karya Freeport 2015 lalu, segenap rakyat Indonesia bersuara lantang mendukung Jokowi. Amerika pun mati kutu. Ketua DPR kala itu Setya Novanto, terpaksa terjungkal dari jabatannya. Orang sekaliber Sjarif Syamsuddin yang dipercaya Amerika bernegosiasi dengan Presiden Jokowi, gagal dan stress yang akhirnya membuatnya mundur dari kursi direktur Freeport Indonesia.
Jika reshuffle kabinet jilid 2 tertunda-tunda dari awal Januari 2016 dan baru terealisasi Juli 2016, itu karena memang ada satu kursi yang sulit ditemukan sosok menteri hebat yang diinginkan Jokowi. Kursi itu adalah Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral. Jokowi paham bahwa sejak dulu kursi basah kementerian ESDM, menjadi lahan penuh kepentingan tingkat tinggi. Jadi tidak gampang mencari sosok menteri di Kementerian ini. Sementara kursi menteri lain, sangat gampang mencarinya segampang membalikkan telapak tangan.
Sejarah membuktikan, bahwa siapapun menteri yang pernah menduduki pos kementerian ESDM, jika masuk dengan kepala tegak maka saat akan lengser besar kemungkinan dengan kepala tunduk alias meninggalkan jejak-jejak hitam. Kita masih ingat jejak Jero Wacik dan terakhir Sudirman Said yang pernah duduk manis di kursi empuk ini. Mereka tak ubahnya hanya perpanjangan tangan para mafia, makelar, broker, pejabat, yang memang berebut sengit di pos energri bangsa ini.
Paham dengan hal ini, maka Jokowi selama berbulan-bulan terus mencari sosok bersih, nekat, sosok pekerja keras, punya visi dan ide brilian yang pas menduduki pos orang nomor satu di kementerian ESDM. Lewat mantan Deputi di Kantor Staf Kepresidenan, Darmawan Prasodjo, yang selama ini berperan sebagai pemberi second opinion di kementerian ESDM, Archandra Tahar diperkenalkan kepada Jokowi.
Melihat track record Archandra Tahar yang kinclong di negeri Paman Sam, maka Jokowi pun tertarik menariknya untuk mengelola kementerian ESDM khususnya memulai terobosan terkait proyek blok Masela. Sejak perkenalan itu, maka jejak rekam Archandra Tahar mulai ditelusuri oleh Badan Intelijen Negara (BIN) dan Kementerian Hukum dan HAM. Tak ketinggalan juga institusi KPK dan PPATK ikut menelusuri jejak Archandra, yang diplot sebagai calon menteri. Hasilnya?
Dari penelusuran BIN, Kemenkumham dan lembaga institusi lain, sosok Archanda Tahar, sama sekali bersih dan tidak ada masalah termasuk kewarganegaraannya. Track recordnya bersih dengan segudang prestasi. Dengan jejak rekam itu maka tanpa keraguan Presiden Jokowi membuka jalan bagi Archanda Tahar menjadi menteri.
Hal yang patut dicatat di sini adalah bahwa BIN dan lembaga lain sama sekali tidak teledor soal kasus kewarganegaraan Archandara. Demikian juga Preden Jokowi. Semua lembaga terkait di lingkar istana termasuk BIN, sudah dilibatkan untuk menelusuri jejak Archandra. Sebagai contoh, bisa dilihat pada kinerja BIN yang berhasil memonitor fakta bahwa salah seorang anggota Paskibraka tahun ini memiliki paspor Perancis. Lalu mengapa akhirnya yang terjadi justru sebaliknya?
Apakah benar Archandra memiliki dwi kewarganegaraan? Itu benar. Namun ketika ditelusuri kewaganegaraan Amerika Archandra Tahar sebelumnya, BIN dan Kemenkumham tidak bisa melacak dan menemukan paspor Amerika yang dipegang oleh Archandra Tahar. Arcandra sendiri mengakui bahwa paspor Amerika yang dipegangnya tidak pernah dipublikasi dan digunakan. Paspor Amerika Archandra hanya menyimpannya di lemari besi selama puluhan tahun. Arcanda selalu berbergian dengan menggunakan paspor Indonesia. Dengan fakta ini, amat sulit bagi BIN dan lingkar istana untuk menelusuri paspor Amerika Archanda.
Selain itu, Archandra Tahar juga tidak jujur atas status kewarganegaraan gandanya. Bahkan Archandra sendiri sama sekali tidak mengerti bahwa status dwi kewarganegaraan dirinya bisa bermasalah. Ini pun tidak disampaikan kepada Presiden saat dia diminta untuk menjadi menteri. Archandra hanya menyodorkan paspor Indonesia yang masih dipegangnya. Dengan paspor Indonesia yang masih dipegangnya, maka bagi BIN, Kemenkumham dan lingkar istana yakin bahwa Archandra masih warga negara Indonesia kendatipun dia sudah tinggal di Amerika selama 20 tahun.