Impian Jokowi untuk membentuk kekuatan inti yang solid akhirnya terwujud. Pasca kemenangan Setya Novanto dalam merebut ketua umum Golkar, duet maut Jokowi-Luhut, kini menjadi trio maut dengan masuknya Setya Novanto. Tiga kekuatan maut ini ke depan, akan semakin percaya diri dalam memainkan catur kebijakan baik di pemerintahan maupun di DPR.
Kemenangan Novanto dalam merebut posisi puncak di Golkar, tidak lepas dari siasat politik sang Jenderal Luhut. Kerja keras Luhut melakukan lobi kesana-kemari, menunjukkan bahwa dia adalah seorang jendral yang ahli berpolitik. Dengan strategi yang diterapkannya, Luhut sukses melobi para elite Golkar dan para pemilik suara Golkar agar tak memilih Ade Komarudin sebagai ketua.
Sebelumnya, Ade Komaruddin berpeluang besar memenangkan pertarungan karena didukung oleh Jusuf Kalla dengan kucuran dana besar. Publik pun paham bahwa Jusuf Kalla amat berkepentingan mengendalikan Golkar lewat Ade Komaruddin. Dengan mengendalikan Golkar, maka Kalla amat mudah mendikte Jokowi. Namun pada akhirnya, Kalla harus mengakui keunggulan strategi Luhut, yang di belakangnya ada Jokowi. Novanto pun berhasil terpilih menjadi ketua umum Golkar yang baru.
Publik tak habis pikir, mengapa Jokowi mendorong Luhut habis-habisan bermanufer mendukung Novanto di Munaslub Golkar. Bukankah Novanto pernah mencatut nama Jokowi dalam kasus Papa Minta Saham? Jika Novanto menjadi ketua umum Golkar dan masuk dalam lingkar kekuasaan Jokowi, bukankah Novanto akan membalas dendam kepada Jokowi karena dia pernah terdepak dari posisinya sebagai ketua DPR?
Jawabannya terletak pada kenyataan bahwa hubungan antara Luhut dan Jokowi di satu pihak dengan Megawati di pihak lain, sangat buruk. Hal ini karena nafsu besar Megawati yang ingin terus mendikte segala kebijakan Jokowi. Ini bisa dilihat dari isu reshuffle kabinet, pembubaran KPK dan pemilihan Kapolri. Hal terakhir misalnya, PDIP menjadi partai terdepan yang tidak mendukung disahkannya undang-undang Tax Amnesty. Nah jelas hal ini menjadi batu sandungan bagi Jokowi.
Tarik ulur dukungan yang kerap dimainkan PDIP terhadap Jokowi, membuat Jokowi terbelenggu. Jokowi di satu sisi ingin lepas dari cengkraman Megawati. Pun Jokowi ingin agar hak prerogatifnya sebagai Presiden tidak diganggu apalagi kalau diatur-atur oleh PDIP. Namun kekuatan yang dimiliki Jokowi terutama di Parlemen, masih sangat minim. Istilahnya Jokowi ingin cepat berlari, namun justru PDIP sebagai partai pendukungnya, selalu menariknya ke belakang. Itulah sebabnya Jokowi sangat menginginkan Golkar menjadi pendukung setianya.
Sampai sekarang pun hubungan antara Jokowi dengan Megawati dipenuhi dengan riak-riak kecil dan bahkan kadang muncul di permukaan. Komunikasi Jokowi-Luhut dengan Ketum PDIP tersebut sebetulnya sangat minim. Para pendukung Megawati bahkan tak segan menyebut Luhut sebagai penumpang gelap. Sementara Megawati sendiri menyebut Jokowi hanya sebagai petugas partai.
Sikap cengeng yang kerap diperlihatkan PDIP itu, tentu amat berbahaya pagi posisi Jokowi ke depan. Jika sikap PDIP terus-terusan seperti itu, maka tak dapat dipungkiri jika PDIP sendiri akan menolak untuk mencalonkan Jokowi dalam Pilpres 2019. Nah inilah yang dibaca oleh dua sahabat, dua sejoli dan dua rekan bisnis sebelumnya, Jokowi-Luhut. Karena itu maka tak heran jika Jokowi amat membutuhkan kekuatan Golkar untuk mengimbangi PDIP. Dan itu bisa menjadi kenyataan lewat peran strategis Luhut.
Selama masih jayanya KMP di awal-awal pemerintahan Jokowi, peran Luhut yang juga pentolan Golkar untuk membantu pemerintahan Jokowi, terbukti ampuh. Semasa Kepala Staf Kepresidenan, Luhut mampu melobi Golkar yang dikuasai oleh Aburizal Bakri untuk mendukung segala kebijakan Jokowi. Inilah alasan Jokowi kemudian, memberi Luhut kekuasaan lebih besar menjadi Menteri Koordinator bidang Politik, Hukum dan Keamanan ketimbang memilih Muldoko.
Dengan bergabungnya Novanto di poros Jokowi, maka Jokowi akan memetik tiga keuntungan. Pertama, Jokowi akan mudah mempengaruhi parlemen untuk mendukung segala kebijakannya tanpa mengharapkan PDIP. Secara hitung-hitungan matematis, jika Golkar mendukung Jokowi, maka PAN, PPP, yang sudah ditangan, akan serta merta diikuti oleh PKB, Nasdem dan Hanura. Jika demikian, maka segala kebijakan Jokowi akan mudah dieksekusi tanpa bergantung pada rongrongan PDIP. Jelas Golkarnya Novanto lebih mudah dijinakkan ketimbang PDIP-nya Mega.
Kedua, jika Golkar telah dikendalikan oleh Novanto, maka bisa dipastikan Kalla yang selama ini juga ingin mendikte Jokowi lewat Golkar Agung Laksono atau Ade Komaruddin, dipastikan kandas di tengah jalan. Bagi Jokowi, jika Golkar sampai dikuasai oleh kubu Kalla, maka jika Golkar plus PDIP bersekutu untuk mendiktenya, maka Jokowi-Luhut mati kutu. Ketiga, dengan adanya dukungan Golkar, maka peluang untuk kembali mencalonkan diri menjadi capres pada tahun 2019 mendatang semakin terbuka lebar, apalagi Novanto sudah jauh-jauh hari menyatakan bahwa akan mendukung Jokowi sebagai Capres pada tahun 2019 mendatang.