[caption caption="Presiden Jokowi (Foto: Tempo.co)"][/caption]
Memasuki bulan April 2016, Jokowi semakin sengit bertarung. Pertarungan itu terjadi diam-diam bagai bara api. Media hanya samar-samar meliputnya. Publikpun tak sadar dan masih larut dalam euforia kehebatan proyek infrastruktur Jokowi. Padahal jauh di balik euforia itu sedang terjadi alarm bahaya. Sebuah pertarungan beresiko tinggi Jokowi sedang berlangsung. Kepada siapa Jokowi sedang bertarung sengit?
Kali ini musuh hebat Jokowi bukan KMP, bukan DPR, bukan partai, bukan Mega, Kalla, Surya Paloh, Setya Novanto. Juga bukan teroris dan bukan pula para jenderal yang sedang menyusun kudeta. Musuh hebat Jokowi adalah dirinya sendiri. Jokowi telah bernazar pada dirinya bahwa paling lambat 2019, Indonesia sudah harus selesai membangun infrastrukturnya. Jadi sekarang, Jokowi sedang menggenjot luar biasa pembangunan infrastruktur. Nah disinilah pertarungan sengit itu sedang terjadi karena apa yang diskenariokan Jokowi tidak berjalan mulus. Jokowi bertarung dengan taruhan dirinya sendiri.
Pembangunan infrastruktur masif Jokowi yang dia rancang akhir tahun 2014, ternyata meleset pelaksanaannya di tahun 2015. Melemahnya perekonomian global, penurunan daya beli masyarakat dan jatuhnya harga komoditas, membuat perekonomian Indonesia terpuruk. Dari target penerimaan pajak sebesar Rp. 1.489,3 yang tercantum dalam APBN perubahan (APBN-P) 2015, ternyata realisasinya hanya Rp. 1.235,8 triliun atau meleset Rp. 253,5 triliun. Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) pun jatuh dari Rp. 390, 7 triliun pada tahun 2014, menjadi tinggal Rp. 252,4 triliun pada tahun 2015.
Pemerintahan Jokowi harus menelan pil pahit. Jokowi hampir tidak mendapatkan manfaat dari uang pencabutan subsidi BBM dan listrik. Sebab, sumber dana yang dulu dipakai untuk subsidi dan sekarang dialihkan ke infrastruktur, yakni pajak dan PBNP anjilok dan tidak bisa diharapkan. Jadi jelas tahun 2015 adalah sebuah kegagalan Jokowi merealisasikan pembangunan infrastrukturnya sesuai dengan target.
Kenyataan pahit itu tidak membuat Jokowi menyerah. Jokowi malah berambisi meneruskan pembangunan proyek infrastrukturnya. Justru dalam APBN 2016, anggaran infrastruktur dialokasikan Rp. 313, 5 triliun. Lalu dari mana dana diperoleh dari anggaran yang meleset atau kurang sekitar Rp. 300 triliun untuk tahun 2015 dan potensi kekurangan dana Rp. 300 tiliun untuk tahun 2016? Ada tiga cara, yakni: program pengampunan pajak, pemotongan anggaran dan penambahan utang.
Publik akhirnya paham bahwa pelaksanaan program pengampunan pajak itu erat kaitannya dengan menambal kekurangan anggaran. Jika UU Tax Amnesty dapat disahkan DPR bersama pemerintah tahun ini, maka diharapkan akan menambah potensi penerimaan pajak sebesar Rp.70-100 triliun. Selain dana yang diharapkan dari Tax Amnesty, Jokowi juga berusaha melakukan pemotongan anggaran. Jokowi terlihat sangat teliti memotong semua anggaran yang tidak penting di setiap kementerian. Sebagai contoh, anggaran rapat SBY 18 triliun, dipotong menjadi hanya sekian milliar di era Jokowi.
Langkah terakhir untuk menutup kekurangan anggaran itu tentu saja dengan utang. Total utang pemerintah hingga akhir tahun 2015 mencapai Rp. 3.089 tiliun. Jika defisit lagi pada tahun 2016, maka ada potensi penambahan utang Rp. 273,2 triliun. Dari mana diperoleh utang itu? Ya, sebagian dipinjam dari rakyat berupa Obligasi Ritel Indonesia (ORI), Sukuk Ritel dan surat berharga lainnya.
Selain itu, Jokowi mau tidak mau harus menambah utang dari negara lain, terutama dari China. Lewat pemberian utang, China terus membantu merealisasikan proyek infrastruktur Jokowi. Nah, di sinilah Jokowi bertarung. Jika ia gagal membangun dan menyelesaikan seluruh proyek infrastrukturnya, maka resiko utang tetap di depan mata. Jika infrastruktur itu tidak memperbaiki dan meningkatkan pertumbuhan ekonomi, maka resiko pembayaran utang semakin sulit. BUMN pun menjadi taruhannya. Jadi jelas, Jokowi sedang bertarung dengan taruhan beresiko tinggi.
Nah di sini sebenarnya kritik SBY bisa dipahami. SBY memberikan alarm kepada Jokowi agar tidak menghamburkan uang negara yang diperoleh dari utang untuk proyek infrastrukturnya. SBY ingin agar jangan memaksakan diri membangun infrastruktur dengan dana yang terbatas. Karena salah-salah, negara bisa ambruk. Namun Jokowi terlalu sensitif, ia membalas sindirian SBY itu dengan blusukan di Hambalang.
Jelas dan amat jelas, jika proyek insfrastruktur Jokowi gagal atau mangkrak, sementara utang semakin menggunung, maka resiko kegagalan pemerintahannya sudah di depan mata. Jokowi bisa gagal membangun infrastruktur. Lawan politiknya pun siap mencela, mencibir dan bahkan menjatuhkannya. Nah untuk mengantisipasi hal itu, Jokowi mengeluarkan seluruh tenaganya untuk memastikan pembangunan infrastruktur itu terlaksana sesuai dengan target, anggarannya tak dikorupsi dan tepat sasaran. Jokowi pun terus bolak-balik memantau berbagai proyek insfrastrukturnya.