[caption caption="Basuki Tjahja Purnama (Foto: Kompas.com/Alif)"][/caption]Di tangan Ahok semua tradisi dirobek-robek. Jika selama ini seorang gubernur menyembah para DPRD, gubernur Ahok membanting DPRD ke dasar jurang. DPRD yang memang sudah menjadi sarang maling, berteriak lantang menyemprit Ahok. Tetapi Ahok lebih galak, ia meneriaki mereka lebih lantang, hingga semuanya menekuk ekor tak berkutik, bagai kucing ketakutan di pojok ruangan. Di era Ahok, DPRD bak barang pajangan, sibuk mengkritik dan hanya makan gaji buta, sementara hasil kerja mereka nol besar.
Jika seorang pejabat selama ini harus menjadi contoh bagi publik bagaimana berperilaku santun, berkata lembut, sopan, bertutur kata ajaib, bermanis-manis dengan para koruptor dan penjarah tanah negara, uang negara dan hak orang lain, Ahok malah sebaliknya. Ia berkata kasar, menghantam, memaki para koruptor dan menghina mereka bagai manusia tak beradab. Seolah Ahok tidak peduli dijuluki manusia kasar, sombong dan pongah. Ia tetap menunjukkan karakternya sebagai seorang perobek tradisi.
Ketika gubernur sebelumnya berdamai dengan preman, mafia, ormas sangar dan para pejabat rakus terkait dengan lahan negara, Ahok sebaliknya. Ia merobek tradisi itu. Ia melawan para para ‘tikus-tikus’ itu dengan semangat heroik luar biasa. Jika para preman ingin membunuhnya dengan anak panah di Kalijodo, Ahok malah lebih galak mengancam. Ia menyerang preman dengan tank berteknologi laser. Hasilnya, para preman itu lari tunggang langgang sambil terkencing-kencing ketakutan.
Menjelang Pilkada, biasanya seorang incumbent bermanis-manis kepada rakyat dan kepada para bawahannya, tetapi Ahok malah sebaliknya. Ia semakin galak memaki, menggusur, mengomel dan memecat bawahannya. Ahok tetap seperti aslinya, original dan apa adanya. Ia tidak meniru para calon gubernur lainnya yang tiba-tiba pergi ke pasar pakai baju micky mouse, hadir di tengah kampung pelacuran, makan nasi akik dan makan di warteg.
Jika selama ini partai sok berkuasa, sombong, minta ini-itu dari calon kepala daerah, Ahok malah membuang mereka bagai sampah. Partai tak berguna, menjadi beban negara, terlalu lamban bergerak, berlindung di balik jargon demokrasi. Jika partai mencoba mencekram Ahok, sebaliknya Ahok mencekik leher mereka tanpa ampun hingga berteriak histeris mengumbar deparpolisasi, delegitimasi partai. Ahok dengan gagah berani maju sendirian lewat jalur maut penuh resiko tinggi, jalur independen.
Berhadapan dengan ketua partai sekelas Megawati, para calon kepala daerah mengumbar rayuan maut, datang menyembah dan bersujud kepada si Mbok yang sudah bergerak lamban dan terlihat bosan merengkuh kekuasaan. Tetapi Ahok lain. Ia datang dengan kepala tegak, ia menatap dengan tajam mata Megawati lalu memberinya ancaman: Restui Djarot atau kita pisah dan saya berjuang sendiri. Anda punya waktu satu minggu. Lalu ia pergi diiringi lototan keraguan Megawati yang terbentur dengan mekanisme dan tata krama partainya.
Ketika datang di hadapan Mega, Ahok terlihat merobek tradisi: “jangan pernah manyakiti Mega, ia tidak pernah memaafkan anda”. Tetapi Ahok tidak peduli kepada Megawati dengan dendam kesumatnya. Ahok tidak belajar kepada mantan Presiden SBY yang menjadi korban dendam Megawati. Sejak 2004 lalu saat keduanya berseteru, Megawati tidak pernah mau bicara langsung kepada SBY. Ia masih dendam karena SBY melengserkan dirinya sebagai presiden. Padahal SBY adalah hanya menteri yang diangkatnya. Sakitnya tuh di sini.
Ahok juga tidak belajar ketika Jokowi yang sudah menjadi Presiden sekalipun, Mega harus tetap disembah. Ketika Jokowi tidak melakukannya, Mega membanting Jokowi dengan menyebutnya hanya petugas partai. Ia lalu menjegal Jokowi untuk tidak mengucapkan sebuah pidato di kongres PDIP beberapa waktu lalu. Belakangan diketahui, itulah konsep sebuah pidato seorang Presiden RI yang tidak pernah diucapkan. Sadisnya. Tetapi Ahok tidak takut, ia menantang Megawati. Gue adalah seorang pejuang, bukan seorang penjilat.
Jika para kepala daerah selama ini takut dipanggil oleh komisi III DPR Senayan dan tidak berani beragumentasi melawan mereka di depan publik, Ahok sebaliknya. Ketika Ahok tahu bahwa para anggota DPR Senayan mulai bermain politik dan mencari-cari alasan untuk memanggilnya terkait Kalijodo, prostitusi di Hotel Alexis dan seterusnya, Ahok malah lebih galak dari mereka. Jika mereka bagai ‘anjing yang menggonggong’ Ahok bertindak bagai ‘singa yang mengaum’. Ahok skak dan memanggil mereka sebagai anggota DPR baru yang ‘belagu’ tak tahu prosedur dan mekanisme kerja mereka. Jadilah anggota DPR Senayan ribut luar biasa karena tersinggung. Lalu merekapun tidak fokus bekerja dan tidak menghasilkan apapun di DPR sana.
Jika seorang politisi datang menyembah Karni Ilyas di ILC TV One agar tidak menyudutkannya, malah Ahok sebaliknya, ia tidak menghadirinya. Ahok seolah membiarkan Karny Ilyas berimprovisasi dengan bebas mengundang nara sumber yang itu-itu saja seperti Ratna Sarumpaet, dan seterus ngomong bebas tanpa ada yang membantah. Ahok seolah mengajari publik silahkan tonton lelucon di TV One sebebasnya sambil menyaksikan kemenangan semu mereka . Ahok seolah membiarkan orang-orang di sana memaki dirinya dan temannya agar semua terbuka kepada publik siapa orang-orang pengecut yang hanya ngomong doang dan pintar mengkritik tanpa kerja sama sekali. Biarkan mereka puas menghadirkan pengadilan TV One yang memang beda, punya cirri khas kedunguannya sendiri.
Ketika Ahok merobek-robek semua tradisi yang sudah ada, semua menjadi ribut, semua kebakaran jenggot. Benar, robekan tradisi yang dilakukan Ahok, tiba-tiba menimbulkan efek dahsyat luar biasa. Para politisi ribut tersinggung, para pemilik partai merasa dicampakkan, para pejabat seolah-olah disemprot dengan air panas, para pengamat merasa disepelekan. Lalu mereka satu suara, bagaikan koor bersuara bass, tenor, alto, baritone, sopran, lengserkan Ahok, lawan Ahok dengan cara apapun.