Kalijodo adalah surga dunia yang kelam. Di sana kenikmatan bercampur dengan kepedihan, kemunafikan bercampur dengan kealiman, dosa dan tidak merasa berdosa dan kekayaan bertemu dengan kemiskinan. Semuanya bercampur dalam balutan hingar-bingar musik café, aroma minuman keras, kesenangan judi, godaan parfum para PSK, dan erangan kenikmatan di kamar-kamar sempit lantai tiga café.
Bagi para pecandu seks, Kalijodo adalah tempat paling dipuja. Ia adalah tempat paling menggairahkan, paling dirindukan dan diimpikan. Di sana ratusan juta dan bahkan miliaran Rupiah berputar setiap hari. Mereka-mereka yang sudah lama berlangganan di sana, bayangan Kalijodo akan terus-menerus membayangi nafsu dan gairah memuncak kelelakian setiap saat. Di sanalah tempat yang tepat untuk menyalurkan naluri kebinatangan, gejolak ngamuk biologis, dan kenikmatan sesaat.
Kalijodo memang tenar dan telah menggoreskan sejarah. Keberadaannya yang tergolong kelas teri (Rp. 150 ribu Rp.200. ribu/short time) namun pelayanannya premium, membuat masyarakat bawah, menengah dan bahkan atas berbodong-bondong ke sana. Bila tarif sekali kencan di Mangga Dua, Jalan Gajah Mada mulai dari Rp 500 ribu hingga jutaan, maka Kalijodo jelas jauh lebih terjangkau.
Sejarah Kalijodo sebagai area porsitusi sudah ada sejak tahun 1970. Ia pun menjadi saksi bisu kemajuan peradaban Jakarta. Keberadaan Kalijodo sebetulnya tidak dikehendaki. Ia tidak diciptakan oleh penguasa, tetapi secara alami menciptakan dirinya sendiri. Kalijodo bukanlah tempat lokalisasi resmi, tetapi lokalisasi alami. Ia membentuk dirinya, mempromosikan dirinya dan menggoreskan sejarahnya sendiri.
Hampir semua gubernur yang pernah memerintah Jakarta, nyaris tidak pernah mempersoalkan keberadaan Kalijodo. Mengapa? Karena merelokasi prostitusi sangat sulit. Ada keinginan para gubernur yang memerintah Jakarta untuk membuat lokalisasi. Jika ada lokalisasi, maka prostitusi dapat dipantau, diberi penyuluhan dan dikenakan pajak. Namun nyali mereka ciut berhadapan dengan kaum agamis, ormas radikal dan citra mereka sendiri. Jadi ketika ada lokalisasi alami bagi prostitusi, maka para gubernur itu pun seolah menutup mata dan telinga. Kalijodo pun terus hidup, eksis dan membentuk dirinya secara alami sebagai tempat prostitusi terkenal.
Kalijodo memang dibutuhkan. Sebagai kota Metropolitan, Jakarta dihuni oleh orang-orang yang butuh hiburan. Ketika ada banyak orang yang memburu kenikmatan, butuh ekstra hiburan, maka serta merta juga ada pihak yang berusaha memenuhinya. Maka terbentuklah Kalijodo. Karena dia terbentuk secara alami, maka di sana hukum rimba pun berlaku.
Siapa yang kuat dialah yang menguasai. Maka di Kalijodo bermunculan para preman yang berlatar belakang pengangguran. Preman itu kemudian bermetafora menjadi bos preman dan berlagak seperti mafia. Selanjutnya Bos preman bisa bermetafora menjadi pengusaha, lalu pejabat dan bahkan senator. Jadilah Kalijodo semakin kuat dan tak mudah diusik. Bos-bos preman Kalijodo pun kemudian bersatu dan merekrut para penjaga keamanan mereka yang berani mati.
Para preman yang telah direkrut, memenuhi kriteria, kemudian dipekerjakan dengan gaji cukup plus bonus-bonus yang besar. Imbalannya mereka harus mempertaruhkan nyawanya untuk menjaga keamanan Kalijodo. Di antara mereka ada yang kemudian dilatih sebagai agen intelijen, agen mata-mata, penggertak PSK, perekrut, petarung, pemberani mati untuk membela kepentingan para bosnya di Kalijodo.
Kesangaran para preman di Kalijodo, sudah dirasakan benar aparat kepolisian dan FPI. FPI yang terkenal garang di Jakarta seolah dibuat tidak berkutik berhadapan dengan para preman pelindung Kalijodo. Tiap kali FPI datang mengganggu, maka para preman dengan tombak, parang, siap memerangi FPI. Para preman Kalijodo tampil lebih berani, lebih sangar, lebih brutal, lebih ngotot daripada para pengikut FPI. Jadilah nyali para pengikut FPI ciut, kocar-kacir dan lari tunggang langgang
Bos-bos preman Kalijodo dengan inteligensi tinggi dan dana melimpah juga, berhasil menyusupkan para agen intelijennya ke dalam tubuh FPI. Setiap kali FPI merencanakan aksi penutupan Kalijodo, maka para bos preman Kalijodo sudah mengantisipasinya lewat informan agen-agen inteligennya. Hebatnya lewat agen-agen inteligennya, para bos preman Kalijodo itu dapat mengetahui kekuatan FPI, kelemahannya dan ketakutan FPI itu sendiri. Lalu mengapa selama ini aparat keamanan tidak sepenuh hati menertibkan Kalijodo?
Mungkin sudah menjadi rahasia umum bahwa di belakang preman Kalijodo juga ada back-up dari oknum-oknum aparat, pejabat dan bahkan mungkin dari anggota DPRD DKI Jakarta. Ditambah lagi keengganan para Gubernur sebelumnya untuk melakukan penertiban, membuat Kalijodo tetap eksis dari era ke era. Bukan tidak mungkin, berkat dana besar yang diperoleh, para preman Kalijodo bisa menyusup ke tubuh aparat dan Parlemen DKI. Maka tak heran setiap kali ada razia, informan mata-mata preman Kalijodo telah memberi tahu sebelumnya.