Publik ‘berhasil’ ditipu oleh para hakim MKD yang mayoritas dari fraksi KMP. Para hakim itu tertawa sendiri memuji kehebatannya. Saat pemeriksaan Sudirman Said dan Maroef Sjamsuddin, sidang-sidang di MKD dilakukan terbuka. Mengapa? Pertama, agar kehebatan pertanyaan yang dilontarkan para hakim MKD dilihat publik. Kedua, agar publik dapat menyaksikan langsung jika Sudirman dan Maroef yang diperlakukan sebagai terdakwa, keseleo lidah atau salah menjawab.
Di sidang itu, para hakim MKD berlomba menunjukkan kharisma mereka. Setiap kali saksi menyebut mereka sebagai ‘yang mulia’, alis mata mereka ikut naik, bibir tertutup rapat, dahi sedikit berkerut, muka serius, tatapan mata miring di teks transkrip, suara dipoles setengah bas dan bariton, pertanda sangat berwibawa. Itulah sebabnya saat tampil di depan kamera, para hakim MKD itu bersolek habis-habisan dan mengatur gaya sedemikian rupa untuk menarik perhatian rakyat. Mereka berlagak bak professor kenamaan, ahli hukum terkemuka, ahli interogasi dan bermuka suci tak berdosa di balik jubah motif merah yang mereka pakai.
Saat sidang ketiga, sidang Setya Novanto, para hakim MKD mempertontonkan kepintarannya. Mereka kompak melindungi Setya Novanto. Publik pun tahu bahwa Novanto bukanlah pribadi yang lihai berbicara. Karena itu, para Hakim MKD melindunginya. Sidang tertutup, takut Novanto menangis, tak bisa menjawab atau gugup. Hasilnya, sidang Novanto selesai dalam waktu tiga jam, karena hanya membacakan ketikan pembelaan dirinya. Sidang selesai dan ‘sukses’ menurut para hakim MKD. Mereka kembali ketawa memuji kehebatannya, ‘mengibuli publik’.
Para hakim MKD itu pun semakin senang ketika diwawancarai media. Mereka dengan bangga mengatakan bahwa Setya Novanto ‘berhasil’ membantah semua keterangan Sudirman Said dan Maroef Sjamsuddin, lalu menyimpulkannya sebagai keterangan palsu. Para hakim MKD pun setuju dengan Novanto, bahwa perekaman Maroef itu illegal, melawan hukum dan merupakan fitnah keji. Para hakim MKD terus-menerus memuji kelihaian Novanto yang bisa menjawab pertanyaan para hakim dengan cara berputar-putar pada kata ‘tidak ingat dan lupa’.
Kepintaran para hakim MKD menjadi semakin bertambah ketika mereka manggut-manggut saat Setya Novanto melaporkan Sudirman Said kepada Bareskrim Polri. Logika mereka, jelas Sudirman Said yang salah, yang benar Novanto. Bagi mereka, Novanto adalah korban atau tumbal. Namun ketika ditanya apakah Maroef juga ikut dilaporkan? Mereka amat pintar menghindar menjawabnya karena Maroef bekas tentara, bekas BIN. Jadi mereka takut jika menjadi korban spionase, korban intelijen hahaha.
Bertambahnya kepintaran para hakim MKD terlihat saat mereka mendatangi Kejagung, meminta Handphone Samsung milik Maroef yang digunakan untuk merekam. Jika mereka berhasil memperoleh bukti asli rekaman itu, maka skenario mereka untuk ‘menghilangkannya’ telah disusun dengan rapi. Dengan hilangnya bukti, atau dicecerkan, maka upaya pengusutan kasus catut itu semakin bertele-tele. Wah, para hakim MKD jelas amat pintar.
Para hakim MKD itu lagi-lagi semakin pintar ketika membiarkan Muhammad Reza Chalid kabur ke luar negeri. Mereka hanya memanggilnya satu kali dan sengaja tidak ada upaya pemanggilan kedua apalagi paksaan karena memang mereka tidak bernafsu memanggil Reza. Mereka juga amat malas memanggil Luhut Pandjaitan, karena mereka sudah paham jawaban Luhut yang pasti hanya berupa bantahan dan tidak tahu soal catut-mencatut itu. Tetapi untuk mengibuli publik, para hakim MKD itu tetap memberi sinyal akan memanggil Luhut, Reza dan bahkan Darmo, sebagai taktik mengulur-ngulur waktu.
Melihat kepintaran para hakim MKD, maka arah keputusan mereka terkait kasus Setya Novanto itu semakin jelas. Hal itu tercium dari pernyataan-pernyataan para hakim MKD. Beberapa orang mengatakan bahwa laporan Sudirman Said itu tidak cukup bukti malah cenderung memfitnah Setya Novanto karena itu dilaporkan kepada Polisi. Hakim yang lain ikut menyerang Kejagung dan mencapnya ikut juga bermain politik karena mulai mengusut kasus itu. Sementara itu Fahri Hamzah dan Fadli Zon berusaha keras menggolkan upaya pansus Freeport untuk memperlebar masalah. Pun berbaliknya PDIP yang terkesan mendukung Novanto dengan iming-iming barter revisi UU KPK, menambah daya tahan Setya Novanto.
Usaha-usaha keras yang didramatisir dengan amat pintar oleh para hakim MKD itu, akhirnya membuahkan hasil. Menurut mereka, sekarang Setya Novanto telah berbalik di atas angin. Novanto hampir dipastikan, menang di MKD. Alasannya, tidak cukup bukti untuk menjatuhkan sanski kepada Setya Novanto karena tidak adanya bukti rekaman asli dan tidak cukup saksi setelah Reza disuruh kabur ke luar negeri. Luar biasa, para hakim MKD melihat diri mereka hebat, pintar dan bisa memutarbalikan fakta. Sekarang tinggal menunggu publik lelah, capek dan tidak lagi memperhatikan kasus itu. Pada saat itulah MKD secara tiba-tiba mengumumkan bahwa Setya Novanto tidak bersalah.
Publik Mati Ketawa
Keputusan Jokowi yang mendorong bola panas ke MKD dan tidak mengadukannya ke kepolisian langsung adalah langkah cerdas. Jokowi paham, jika hanya di kepolisian, mereka bisa sembunyi karena jaringan mereka begitu kuat di dalamnya. Sekarang masyarakat bisa melihat semua menjadi terbuka terang- benderang siapa tikus-tikus, siapa singa berbulu domba, yang selama ini mengeruk kekayaan negara. Dalam waktu bersamaan juga publik akan melihat bagaimana tikus-tikus pengeruk kekayaan negara itu membela diri dengan berbagai argumentasinya.