Blunder besar yang dilakukan oleh Setya Novanto dalam mencatut nama Presiden Jokowi dan Wakil Presiden Jusuf Kalla akan semakin memanas. Prediksi publik bahwa kasus pencatutan nama itu akan diselesaikan secara adat istiadat dengan musyawarah mufakat, kali ini meleset. Jokowi dan Jusuf Kalla tidak akan tinggal diam dan manggut-manggut melihat drama penuh retorika di Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) di DPR dalam menanggapi laporan pelanggaran yang dilakukan oleh Setya Novanto.
Bagi Presiden Jokowi, tingkah laku Setya Novanto itu sudah amat keterlaluan. Seorang ketua DPR yang diangkat secara licik oleh KMP, telah berlaku licik juga kepadanya. Perilaku Setya Novanto yang mencatut namanya dengan meminta 11% saham Freeport itu, adalah perbuatan amat tercela. Perbuatan itu telah mengiris-iris sanubari 250 juta rakyat Indonesia dan mengubur hidup-hidup rakyat Papua yang berjuang dari lingkaran setan kemiskinan.
Perbuatan amat memalukan Setya Novanto itu jelas telah merendahkan martabat Presiden Republik Indonesia. Presiden adalah simbol pemerintahan sebuah bangsa yang merdeka dan berdaulat. Karena jabatan Presiden melekat pada diri Jokowi sekarang ini, karena mendapat mandat dari rakyat untuk memimpin Indonesia hingga 2019, maka pencatutan nama Jokowi merupakan pelecehan kepada bangsa Indonesia. Dengan kata lain Setya Novanto telah melecehkan martabat bangsa, menjual bangsanya dan berpesta-pora di atas kemelaratan bangsanya sendiri.
Tingkah laku memuakkan Novanto itu bertolak belakang dengan revolusi mental Jokowi yang mati-matian memberantas korupsi, kolusi dan nepotisme. Korupsi yang telah merasuki sendi-sendi kehidupan bangsa Indonesia semakin terluka oleh perilaku rakys ketua DPR Setya Novanto.
Di mata dunia, perlikau Novanto itu semakin menegaskan bahwa Indonesia sampai sekarang masih menjadi salah satu negara terkorup di dunia. Maka sangat tepat jika tindakan memalukan Setya Novanto itu dimaknai sebagai sebuah pengkhianatan bangsa. Sebuah pengkhianatan yang lebih kejam dari pembunuhan. Tidaklah berlebihan jika Setya Novanto dicap sebagai pengkhianat bangsa yang tidak dapat dimaafkan.
Bagi Wapres Jusuf Kalla tindakan pencatutan namanya oleh Setya Novanto, telah melukai harga dirinya sebagai Wapres. Setya Novanto sekarang bukanlah kawan, sahabat atau rekan kerja tetapi telah berubah menjadi singa berbulu domba. Di balik wajahnya yang sayu, santun, berkata pelan, tersimpan kebusukan, kelicikan dan pengkhianatan. Terbongkarnya perilaku Setya Novanto yang meminta saham sebesar 9% dari Freeport untuk Jusuf Kalla merupakan tindakan keji nan memuakkan.
Jusuf Kalla yang sudah dua kali menjadi wakil Presiden ini dan mempunyai harta kekayaan berlimpah, tentu tidak lagi berpikir untuk meraup kekayaan duniawi karena semuanya telah ia miliki. Maka tak heran jika Kalla sangat tersinggung dan begitu marah mendengar Novanto telah mencatut namanya.
Jusuf Kalla tak habis pikir, bagaimana mungkin Setya Novanto mencatut namanya yang sama-sama dari Golkar dan tega-teganya berbuat sehina itu. Kalla tak habis pikir bagaimana mungkin Novanto yang sudah mempunyai harta kekayaan lebih 60 miliar itu, bermobil Jaguar mewah, berjam tangan mewah masih rakus menginginkan kekayaan yang lebih besar?
Tindakan Setya Novanto jelas telah mencoreng wibawa Presiden dan Wakil Presiden di mata rakyat Indonesia dan dunia. Karena itu perbuatan Setya Novanto itu harus mendapat tindakan tegas. Novanto harus mempertanggungjawabkan perbuatannya itu.
Jokowi dan Jusuf Kalla sendiri marah besar ketika mendengar nama merka telah dicatut. Kemarahan Jokowi terlihat luar biasa saat mendengar pencatutan namanya. Seandainya Jokowi bukan Presiden, mungkin Jokowi sudah mengamuk dan langsung mencaci maki Setya Novanto di hadapan publik. Demikian juga Jusuf Kalla yang juga marah luar biasa atas tindakan Setya Novanto itu.
Respons pertama Jokowi dan Jusuf Kalla atas perbuatan sangat tercela Setya Novanto itu adalah memerintahkan Menteri ESDM Sudirman Said untuk melaporkan Setya Novanto ke Mahkamah Dewan (MKD) DPR dan membuka di hadapan publik namanya sebagai pencatut nama Jokowi dan Jusuf Kalla.