Tiga bulan belakangan, Jerman mengalami tantangan baru sebagai negara multikultural. Gerakan Pegida, sebuah gerakan Anti-Islamisasi Eropa mulai gencar melakukan aksi demonstrasi menolak keberadaan Islamisasi di beberapa wilayah Jerman.
Beberapa media ternama mengabarkan bahwa Pegida memulai aksinya pertama kali dengan mengangkat isu anti imigran (asylum seekers) dari negara-negara berbasis muslim. Kemudian entah mengapa, target protes pun merambat lebih luas lagi dan ditujukan kepada imigran dengan semua latar belakang hingga merebak ke isu Anti-Islamisasi.
Dresden, atau yang dikenal sebagai “Florence of the Elbe” merupakan tempat dimana gerakan ini mulai mengakar. Keindahan, kecantikan dan kekayaan sejarah kota Dresden dinodai oleh aksi-aksi gerakan Pegida. Meskipun lokasinya terletak di ujung Timur Jerman, gerakan Pegida nyatanya juga mulai menular hingga bagian barat Jerman. Tepatnya di kota Köln, dan beberapa daerah lainnya.
Lutz Bachmann, disebut-sebut sebagai orang yang paling bertanggung jawab atas lahirnya gerakan ini. Ia merupakan seorang perancang grafis, dan memiliki catatan kriminal hingga harus mendekam tiga tahun di penjara atas kasus pencurian.
Bulan Oktober 2014, gerakan Pegida pertama kalinya muncul di publik dengan membawa ratusan protestan. Tak sampai tiga bulan, tepatnya di bulan Desember, pengikutnya membengkak hingga 17,500. Kecaman demi kecaman mulai hadir di dunia maya, khususnya media sosial. Tidak hanya aksi-aksi Pegida yang dinilai rasis, namun juga kedekatan gerakan ini dengan aksi kekerasan dan simbol-simbol Neo-Nazi. Tentu, karena simbol atau apapun yang mengarah kepada Neo-Nazi dilarang keras di Jerman.
“Colorful Germany” menjadi slogan balasan bagi beberapa masyarakat yang turun ke jalan menyuarakan gerakan Anti-Pegida. Jumlahnya tak kalah jauh. Ribuan, dan bergerak seirama di berbagai daerah. Gerakan ini hendak memberikan fakta lain bahwa negara Jerman adalah negara multiethnic. Selain slogan itu, tentu kalimat populer seperti “Wir sind das Volk” (we are the people) muncul di beberapa spanduk para demonstran Anti-Pegida. Slogan tersebut berarti, kami adalah rakyat. Terlepas dari warna kulit, ras dan agama.
Tercatat, Jerman merupakan negara imigran terbesar kedua setelah US. Kebutuhan Jerman atas imigran masih tinggi guna menopang ekonomi mereka. Bahkan beberapa waktu lalu saya sempat baca di sebuah media, beberapa kota di Jerman masih membutuhkan orang. Karena jumlah penduduknya yang sudah memasuki usia tidak produktif, dan membuat ekonomi kota timpang.
Culture of Fear
Lalu apa yang yang membuat beberapa bagian dari masyarakat Jerman, khususnya pengikut gerakan Pegida begitu takut terhadap minoritas? Dari segi ekonomi, tentu saja pekerja pendatang bisa menjadi keuntungan sekaligus ancaman bagi negara Jerman. Apakah encaman ekonomi, atau perbedaan kultur yang seringkali didengungkan benar adanya? Ataukah, hanya slogan-slogan semata yang sengaja dihembuskan untuk kepentingan politik?
Ketakutan tanpa alasan hanyalah sebuah fantasi. Ancaman yang nyatanya tidak pernah ada, dibuat semacam image yang seakan-akan tak bisa lepas dari seorang muslim. Dari jumlah penduduk saja misalnya, hanya 5% yang beragama muslim di seluruh pelosok Jerman. Jumlah yang sangat sedikit. Seperempatnya saja tidak ada, apalagi setengah jumlah penduduk.
Jika yang didengung-dengungkan adalah perbedaan kultur, lalu apakah benar Islam tidak bisa berintegrasi baik di negara sekuler seperti Jerman? Buktinya, dari sekian persoalan, hanya sedikit sekali masalah perbedaan kultur yang dinilai masih pelik. Entah benar-benar perbedaan kultur atau hanya perbedaan lifestyle. Misalnya saja, isu mengenai siswi muslim yang diwajibkan untuk mengikuti ekskul renang. Atau, permasalahan sunat dan pelarangan jilbab bagi guru. Kasus-kasus diatas pun tidak marak. Artinya, tidak terjadi di setiap kota yang mempunyai penduduk muslim.
Bagi negara multikultural seperti Jerman, atau negara manapun yang mempunyai masyarakat heterogen, mau tidak mau harus berlaku toleran. Tentunya ditunjang dengan hukum yang sesuai. Ada payung hukum yang melindungi semua warga dari segala latar belakang. Pluralitas masyarakat hanya bisa dihadapi dengan sikap yang menjunjung pluralisme, baik dalam hal agama maupun kultur.
Jika di beberapa negara Asia pluralisme muncul atas respon terhadap isu-isu kolonial, maka di Barat, khususnya Eropa Barat dan Amerika, pluralisme berawal dari fenomena pendatang atau imigran. Bagaimana sebuah masyarakat mampu bersinggungan secara damai dengan pendatang baru yang secara kultur dan agama berbeda. Bagaimana setiap individu maupun kelompok dapat bersosialisasi dengan semestinya tanpa gesekan-gesekan yang menimbulkan konflik dan perpecahan.
Isu agama, dimanapun, paling sering dipakai untuk kepentingan lain yang sesungguhnya tidak ada hubungannya dengan sebuah kepercayaan. Isu agama, bisa menjadi semakin marak jika ditopang dengan kepentingan ekonomi, sosial maupun politik. Dan, sayang sekali hal ini pun juga marak terjadi di Jerman meski skala-nya tidak se-massif di Indonesia.
Jadi, kenapa harus takut dengan minoritas jika faktanya semua baik-baik saja?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H