The mediocre teacher tells. The good teacher explains. The superior teacher demonstrates. The great teacher inspires. -- William Arthur Ward
Apa yang membahagiakan dari menulis? Suara saya bisa terdengar sampai jauh. Jika saya berbicara di suatu forum, hanya orang di forum itu saja yang mendengarkannya. Namun, jika saya menulis, suara saya akan terdengar hingga Singapura, Prancis, Australia, Taiwan, dan belahan negara mana pun.
Di Perpustakaan Nasional Singapura, buku traveling saya masuk katalog mereka. Begitu pula di Perpustakaan Nasional Australia. Teman saya WNI asal Surabaya yang domisili di Prancis dengan keluarganya, membawa buku saya ke sana. Dosen saya di Hubungan Internasional Universitas Airlangga membawa buku saya menemani perjalanannya menempuh beasiswa di Taiwan.
Bahagia. Tidak ada yang lebih membahagiakan dari menulis selain karya yang bermanfaat. Royalti bisa jadi tak seberapa. Popularitas anggap saja bonus belaka. Lebih dari itu, ketika karya saya dibaca orang lain dan mereka mendapat manfaat, itu rasanya luar biasa. Itu pula yang kemudian jadi pemantik untuk terus berkarya. Tidak lewat buku, ya lewat blog. Tidak lewat jurnalisme warga ala Kompasiana, ya lewat media sosial macam Twitter dan Facebook.
Dengan menulis, tidak hanya kata-kata saya saja yang melanglangbuana menempuh belantara dunia nyata dan maya. Namun, saya sebagai penulis pun ikut melanglangbuana. Meski masih kisaran Indonesia, namun tulisan saya membawa saya keliling Lampung, Bengkulu, Sumatera Selatan, Karimunjawa, Lombok, serta daerah-daerah lainnya di Pulau Jawa. Entah karena menang kompetisi menulis yang hadiahnya jalan-jalan atau karena diundang sebagai pembicara terkait kepenulisan.
Saya menikmati semua proses itu. Saya sekaligus merasakan manfaat dari kegiatan menulis yang saya tekuni. Lebih-lebih, kala jumpa dan bertukar pikiran dengan para penulis senior macam Iwan Setyawan, Ahmad Fuadi, Agustinus Wibowo, Trinity, Gol A Gong, dan lain-lain. Dari mereka, saya merasakan sengatan energi yang besar untuk terus menulis dan membesarkan visi menjadi penulis yang karya-karyanya lebih bermutu lagi.
[caption id="attachment_337024" align="aligncenter" width="300" caption="Saya dan anak-anak IWEC belajar menulis di Taman Bungkul, Surabaya"][/caption]
Maka, ketika ada kesempatan untuk menjadi pengajar di Indonesia Writing Edu Center (IWEC), sebuah lembaga kepenulisan bagi anak-anak dan remaja di Surabaya, saya tak perlu berpikir panjang untuk menerimanya. Pertimbangan saya, ini wadah untuk mengembangkan diri. Ini juga wahana untuk menulari anak-anak agar gemar menulis dan menjadikannya sebagai kebutuhan mereka. Sebab, bangsa yang hebat, salah satu tolok ukurnya adalah tingkat literasi yang tinggi. Kemampuan baca, tulis, dan mengaplikasikannya dalam kehidupan nyata, itu tinggi.
Kita perlu meniru Jepang. Kata Junanto Herdiawan, seorang ekonom juga penulis prolifik genre perjalanan yang perna lama tinggal di Jepang, "Jepang maju bukan karena teknologinya, tapi karena tingkat literasi masyarakatnya tinggi." Gol A Gong, Ketua Forum Taman Bacaan Masyarakat se-Indonesia, pun berbagi informasi bahwa anak-anak di Jepang sudah lihai menulis sejak kecil. Mereka menulis hal-hal 'sepele', seperti cara merawat kucing, cara merapikan kamar tidur, dan tip praktis lainnya. Mereka percaya diri bahwa tulisan mereka pasti ada yang membacanya. Sebab, mereka telah menyadari kalau minat baca orang-orang di sekitar mereka tinggi. Gampangnya, mau menulis apa pun, pasti ada yang mau baca.
Lima bulan berkutat membimbing anak-anak dan para remaja menulis di IWEC, plus tiga bulan membina ekstrakurikuler jurnalistik di SD Al-Falah Surabaya, serta sebulan menempa kelas menulis untuk para santri di Asrama Al-Furqon Ponpes Darul Ulum Jombang, saya menyadari potensi hebat anak-anak Indonesia. Di luar dugaan saya, mereka mampu menulis dengan menarik. Ide-ide yang liar, cara ungkap yang segar, serta pegambilan sudut pandang yang tak basi, membuat saya optimis tentang masa depan literasi bangsa ini.
[caption id="attachment_337025" align="aligncenter" width="300" caption="Belajar menulis dengan siswa-siswi peserta ekstrakurikuler jurnalistik SD Al-Falah Surabaya"]
[/caption]
"Anak-anak ini sering nggak pede," Gus Azmy, pengasuh Asrama Al-Furqon mengatakan itu pada saya. Saya memang membuktikannya. Saat diminta untuk membacakan tulisan mereka di depan teman-teman lainnya, mereka masih enggan buka suara. Padahal ketika saya simak dengan harus mendekatkan diri di depan mereka, saya takjub sendiri dengan imajinasi mereka.
"Bagus! Well done! Menarik!" Kata-kata itu kerap saya lontarkan sebagai apresiasi pada mereka. Bagaimanapun, saya harus belajar menakar kemampuan menulis mereka.
[caption id="attachment_337026" align="aligncenter" width="300" caption="Membimbing kelas menulis di Asrama Al-Furqon Ponpes Darul Ulum Jombang"]
[/caption]
Sebab, saya pernah berada di posisi mereka, para remaja itu. Kala guru saya memberi apresiasi positif di depan para siswa lainnya, saya kian terpacu untuk berkarya. Misalnya, guru saya bercerita di depan kelas tentang cerpen saya yang dimuat di majalah, saya bangga bukan main. Lalu, guru yang lain pernah sengaja memberikan honor menulis untuk saya di depan siswa lainnya, saya benar-benar merasa dihargai. Saya merasa bahwa kegiatan menulis saya ini bisa jadi sesuatu yang dilirik.
Itulah yang coba saya terapkan ke para murid saya. Kami makan donat bersama usai kelas menulis. Kami main petak umpet seusai belajar. Saya stimulus mereka dengan janji memberi hadiah buku untuk tiga tulisan terbaik. Tak lupa, tantangan demi tantangan saya suguhkan pada mereka biar lebih berani lagi untuk mengeksplorasi kreativitas.
Ya, saya adalah tempaan para guru saya. Mereka menjelma sebagai guru bahasa, para wartawan di media massa, para penulis yang buku-bukunya saya baca, teman-teman di blog, pun teman-teman di komunitas literasi yang saya ikuti. Maka, tempaan mereka yang amat berharga itu saya coba alihkan pada anak-anak muda, adik-adik saya di kelas menulis.
Pada mereka, saya sematkan harapan besar dan nyalakan api semangat agar kelak saat menjalani profesi apa pun, mereka tetap menulis, mengikat ilmu yang jadi kepakaran mereka. Bangsa Indonesia butuh anak-anak muda dengan tingkat literasi yang terus ditinggikan. Sebab, mereka yang berliterasi akan punya gagasan yang melimpah. Masalah-masalah yang muncul tidak sekadar dirutuk dan dikeluhkan, tapi dicarikan juga solusinya. Mereka juga akan lebih peka dengan sekitar dan terlatih untuk melihat satu hal dari berbagai sudut pandang. Keberagaman pun menjadi hal yang akan mereka rayakan dengan sukacita.
Jika para guru di Indonesia menyadari kedahsyatan menulis dan berpacu untuk menginspirasi siswanya agar membaca dan menulis, saya kira menjadi negara maju macam Jepang bukanlah impian yang muluk.
Tulisan ini diikutsertakan pada lomba menulis yang diadakan Kompasiana dengan Tanoto Foundation bertema "Pentingnya Guru Menulis". Tanoto Foundation didirikan oleh Sukanto Tanoto bersama istrinya untuk memberantas kemiskinan melalui pendidikan, pemberdayaan, dan peningkatan kualitas hidup.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H