Lihat ke Halaman Asli

Catatan di Hari Minggu: Semangkuk Bakso Untuk Ale (1)

Diperbarui: 24 Juni 2015   06:10

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

1382430866767425628

Catatan di Hari Minggu:

Semangkuk Bakso Untuk Ale (1)

Karena pekerjaan, mulai Maret 2013 yang lalu untuk sementara waktu aku harus lebih sering pergi ke suatu daerah di Kalimantan Selatan. Yang sebelumnya sebulan sekali, sekarang setiap minggu aku harus ke sana. Berangkat dari Jakarta hari Minggu siang dan kembali Selasa malam menggunakan penerbangan terakhir. Meskipun cukup melelahkan tetapi aku sangat menikmati pekerjaanku.

***

Minggu pagi, pertengahan September 2013. Seperti hari Minggu sebelumnya, sambil menunggu waktu boarding aku makan bakso di salah satu restoran di Terminal 2. Menunggu seseorang yang sudah beberapa kali hari Minggu aku harapkan kedatangannya di restoran ini. Dia bukan pejabat, pengusaha, atau pun teman minum kopi sepulang kantor. Orang itu atau lebih tepatnya anak itu adalah Ale, penyemir sepatu yang biasa menawarkan jasanya secara sembunyi-sembunyi di Bandara Soekarno Hatta ini.

Ale, anak laki-laki gempal berusia sekitar 11 tahun, bagi orang lain mungkin bukan sosok yang istimewa. Terlebih bagi petugas keamanan bandara, Ale dan kawan-kawannya malah tak pernah diharapkan kedatangannya dan bahkan dengan berbagai alasan perlu disingkirkan jauh-jauh.

Namun bagiku, Ale adalah anak yang sangat istimewa. Terbayang wajah polosnya yang selalu tersenyum ceria kala menawarkan jasanya. Penampilan yang mengisyaratkan kejujuran dan keiklasannya dalam menjalani hidup. Walaupun baru dua kali bertemu tapi aku sudah terkesan sekali dengan anak itu. Terlebih dengan adanya kejadian saat aku bertemu dia untuk yang kedua kalinya.

Kejadian itu lah yang menjadi alasanku berlama-lama menunggunya di sini...

*****

Sepatu Kulit Kecoa

Saat itu hari Minggu 25 Agustus 2013. Bandara Soekarno Hatta terlihat lebih ramai dibandingkan hari Minggu sebelumnya. Entah karena apa. Jarum jam masih menunjukkan pukul 09.30 saat aku tiba. Terlalu awal karena jadual penerbanganku jam 12.10. Aku ke bandara numpang kendaraan istri yang kebetulan sedang ada keperluan di rumah sahabatnya di daerah Cengkareng. Bisa sedikit menghemat BBM walau dengan konsekuensi menunggu cukup lama di bandara.

Setelah selesai check in aku keluar lagi menuju salah satu restoran yang terletak di bagian luar Terminal 2. Lumayan, masih ada waktu dua jam untuk santai menikmati bakso dan es campur kegemaranku.

Saat baru duduk, aku melihat seorang anak laki-laki berselempang tas kain kumal yang sudah tidak jelas warnanya, berjalan perlahan masuk restoran. Dengan senyum mengembang anak itu menghampiri pengunjung dari meja ke meja, menawarkan jasanya menyemir sepatu. Semuanya menolak, tanpa senyum dan tanpa kata. Ada yang menggelengkan kepala, ada yang diam tak acuh seolah di dekatnya tidak ada yang mengajak bicara. Di meja lainnya, ada pula seorang pemuda yang sedang tersenyum lebar membaca sesuatu di layar gadget-nya. Namun senyumnya seketika lenyap saat ditawari semir oleh anak itu.

Penyemir kecil itu tetap tersenyum tidak peduli dengan pengabaian yang baru saja diterima. Mungkin dia sudah biasa dengan situasi itu, atau dia sedang menertawakan kelakuan pemuda di depannya yang lebih memilih tersenyum kepada gadget dari pada tersenyum dengannya. Mungkin pula penyemir kecil itu sedang menertawakan diri sendiri karena menawarkan jasanya pada orang yang mengenakan sepatu sport putih.

Aku pun hanya bisa diam tanpa reaksi melihat adegan di depan mata. Tak heran lagi dengan sikap sebagian masyarakat sekarang ini yang pelit memberikan senyum dan kata-katanya, terlebih kepada orang seperti penyemir itu. Entah karena enggan atau pun karena merasa terganggu. Padahal senyuman dan ucapan tidak perlu dibeli dan sangat mudah dilakukan!

"Mmm.. Betapa tidak mudah hidup penyemir kecil itu. Sekedar mendapatkan senyum atau sapa balasan saja susah sekali, apalagi mendapatkan uang!", batinku.

Ketika tengah memikirkan apa yang baru saja aku lihat, tiba-tiba ada suara anak kecil mengagetkan.

"Semir Om?", tanya penyemir kecil itu sambil nyengir. Rupanya dia sudah ada di sampingku.

Aku melirik sekilas sambil menggelengkan kepala pertanda menolak. Mata aku arahkan kembali melihat deretan menu bakso yang akan kupesan. Aku sengaja bersikap seperti itu hanya untuk menggoda saja. Entahlah, melihat wajah riangnya jadi timbul keinginan menggoda.

Melihat aku bergeming, anak itu pun menawarkan jasanya untuk yang ke dua kali.

"Sepatunya sudah perlu disemir tuh Om, banyak debunya!", katanya sambil jongkok.

Reflek aku melihat sepatuku mengikuti gerakan anak itu. Sedetik kemudian dia berdiri sambil memperlihatkan debu yang menempel di jari telunjuknya yang gempal.

"Lihat, sepatu Om berdebu sekali bukan?", dia mencoba meyakinkanku.

"Ah pandai sekali kau merayu!", kataku sambil mengacak rambutnya mencairkan suasana.

"Boleh juga kamu semir sepatu Om, tapi kau harus menyikatnya sampai mengkilap seperti kulit kecoro!"

"Kecoro itu apaan Om?"

"Kecoro itu ya saudara kandungnya kecoa! Kamu pernah lihat kecoa belum? Nanti kalau ketemu kecoa kamu perhatikan kulit dan sayapnya! Pasti mengkilap sekali. Nah, tugas kamu sekarang adalahmenyemir dan menyikat sepatu Om sampai mengkilap seperti itu !"

"Hi hi hi hi.. Kulit kecoa? Om senang bercanda ya..." Dia meringis, mungkin geli membayangkan bentuk sepatu yang mengkilapnya seperti kecoa.

"Eh siapa namamu?", tanyaku sambil melepas sepatu yang baru dibeli minggu lalu.

"Ale Om", dia berjongkok mengambil sepatu.

"Kaus kaki Om bolong ya! Jempolnya kelihatan tuh Om!", ucapnya setengah teriak.

"Husssss.. Jangan keras-keras kau ngomongnya!"

Cepat-cepat aku tumpangkan telapak kaki kiri menutupi kaus kaki yang berlubang. "Sialan banget anak ini, bikin malu saja !", gumamku dalam hati.

"Tunggu sebentar ya Om!"

"Oke.. Jangan lama-lama ya Le!"

Sepertinya Ale tak mendengar omonganku, dia bergegas keluar restoran. Menghirap dalam lalu-lalang pengunjung bandara. Mungkin dia buru-buru hendak mencari tempat menyemir yang aman, bebas dari gangguan petugas keamanan.

Sambil menunggu, aku memesan tambahan bakso dan es campur untuk Ale. Aku ingin mengajaknya makan, sekalian menanyakan buku apa yang dia bawa. Sekilas tadi aku lihat ada buku yang ujungnya nongol dari tas kumalnya. Rasanya aku sering melihat buku itu, seperti buku pelajaran anak bungsuku yang masih kelas 6 SD. Masih sekolah kah anak itu?

***

Sudah hampir satu jam aku menunggu, Ale belum juga kembali. Bakso yang aku pesan untuknya sudah lama dingin, pasti tak enak lagi. Es campurnya pun sudah menjadi bening bercampur es batu yang mencair.

Waktu boarding tinggal 25 menit, sudah tak ada waktu lagi untuk berharap Ale datang dengan menenteng sepatu yang sudah mengkilap. Satu-satunya harapanku, semoga dia tak berniat membawa kabur sepatu itu. Bukan karena harga sepatu yang lumayan mahal tetapi aku prihatin sekali dengan masa depannya bila seusia dia sudah menjadi bandit. Apa pula jadinya bila dia harus membiayai sekolahnya dengan uang hasil kejahatan?

Marah? Aku pasti marah! Karena ulah Ale aku jadi kelabakan mencari sepatu atau setidaknya sandal yang bisa aku pakai. Bagaimana mungkin aku naik pesawat tanpa alas kaki sama sekali? Ratusan kali naik pesawat tapi belum pernah sekali pun aku melihat penumpang tanpa alas kaki seperti ini! Benar-benar konyol, mau melapor ke petugas keamanan juga tidak mungkin. Bukannya dibantu malah akan dapat omelan petugas. Jasa semir sepatu seperti yang dilakukan Ale termasuk kegiatan yang dilarang di sini.

"Hari minggu yang menyebalkan!", gumamku. Lebih menyebalkan lagi saat aku lihat pemuda itu, yang tadi sibuk dengan gadget-nya, tersenyum melihat aku tidak bersepatu.

Alhamdulillah… Rupanya keberuntungan masih ada sedikit berpihak padaku. Dengan tawaran yang menggiurkan, tidak terlalu lama aku bisa mendapatkan sepatu seadanya dari seorang porter yang ada di depan restoran. Sepatu usang yang agak kekecilan. "Tak apa lah, toh aku bisa injak bagian belakangnya supaya tidak sakit di kaki", kataku dalam hati menghibur diri.

Dengan berlari kecil aku tinggalkan Pak portir tua menuju ke Gate F4, tempat pesawat dan cabin crew-nya yang ramah-ramah telah menanti. Melupakan sepatu kulit kecoaku yang dibawa kabur Ale, si bandit kecil itu.

*****

« bersambung »

Sumber gambar: peperonity.com

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline