Lihat ke Halaman Asli

Laeli Nuraj

Basic Education Research Team

(Review Buku) Mata dan Nyala Api Purba, Menjelajah Kemungkinan Tanpa Batas

Diperbarui: 10 September 2024   14:00

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Mata dan Nyala Api Purba | Dok. pribadi

Mata dan Nyala Api Purba merupakan buku keempat karya Okki Madasari yang saya baca. Novel sastra anak ini menjadi serial terakhir dari tetralogi Mata: Mata di Tanah Melus, Mata dan Rahasia Pulau Gapi, Mata dan Manusia Laut, serta Mata dan Nyala Api Purba.

Matara tumbuh dewasa dan menjadi seorang guru Biologi di Sekolah Semesta, sebuah sekolah masa depan di ibukota negara yang baru. Serba serbi teknologi digital dan inovasi rekayasa genetika sangat kental mewarnai kehidupan sehari-hari. Cerita petualangan Matara bertemu dengan binatang-binatang yang dapat bicara seperti Dewa Buaya, Moli si kucing ajaib, dan manusia ikan di Wakatobi menginspirasi Binar dalam menggarap tugas proyeknya. Binar, salah satu muridnya menciptakan bibikus, binatang hasil dari telur seekor tikus yang telah disuntikan bermacam ramuan atau cairan kimia. Siapa sangka kawanan bibikus itu membawa Matara, Binar, dan para ilmuwan terjerumus ke lorong waktu jutaan tahun yang lalu, ke zaman purbakala.

Penulis: Okky Madasari
Ilustrator: Restu Ratnaningtyas
Tahun terbit: 2021
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama
Ukuran: 20 cm
Tebal: 236 halaman
Harga buku: Rp 57.600
Nomor ISBN: 978-602-06-847-7

Sinopsis

Matara kecil telah berenjak dewasa. Ia kini menjadi seorang guru Biologi di Sekolah Semesta, sebuah sekolah masa depan yang terletak di ibukota Nusantara baru. Sekolah unik yang memanfaatkan kecanggihan teknologi dan menciptakan beragam inovasi rekayasa genetika. Bangunan sekolah tidak serupa dengan gedung-gedung sekolah saat ini yang memanjang terdiri beberapa ruang kelas, namun Sekolah Semesta berbentuk bulatan menyerupai bola dengan dinding kaca transparan. 

Hanya anak-anak terpilih yang telah mengikuti seleksi ketat yang bisa masuk ke sekolah tersebut. Murid-murid tidak lagi menggunakan kertas, papan tulis, spidol, melainkan menggunakan layar di hadapannya. Mereka pun tidak perlu menggerakkan jari-jarinya untuk mengetik, cukup dengan mengucapkan kalimat yang akan ditulisnya.

Canggihnya teknologi tidak hanya digunakan di sekolah masa depan, di kota-kota besar kamera pengawas atau CCTV terpasang di setiap sudut jalan. Dengan begitu, tidak ada lagi pelanggaran aturan lalu lintas maupun kejahatan yang terjadi karena dengan mudahnya segala peristiwa terekam melalui kamera pengintai tersebut. 

Di Sekolah Semesta, proses pembelajaran tidak selalu dilakukan di ruang kelas. Guru cukup menyediakan materi yang akan dipelajari secara mandiri oleh murid-muridnya. Tidak ada penugasan berupa tes tertulis pilihan ganda maupun esai, murid-murid dituntut untuk menjadi peneliti dan penemu yang akan memberikan kontribusi kepada kemajuan zaman. 

Binar, salah satu murid Sekolah Semesta terinspirasi oleh cerita pengalaman Matara yang bertemu dengan Dewa Buaya di Tanah Melus, Moli si kucing ajaib, dan Manusia ikan Suku Bajo. Binar meramu berbagai cairan kimia yang kemudian disuntikan ke seekor tikus. Tikus itu pun bertelur banyak dan menetas menjadi Bibikus. Bibikus menyerupai tikus sebagai induknya namun bulat berbulu dan berekor panjang. Mereka beracun. Meski tidak mematikan namun bisa membuat orang tak sadarkan diri dan merasa lemas berhari-hari.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline