Lihat ke Halaman Asli

Laeli Nuraj

Basic Education Research Team

Perjalanan Mahal Menuju Baduy Dalam

Diperbarui: 16 Juli 2024   22:18

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

https://laelinuraj.blogspot.com/2017/01/perjalanan-mahal-menuju-baduy-dalam.html

Halo Sobat Kompas!

Salam kenal. Ini kali pertama saya menulis di Kompasiana. Semoga Sobat Kompas suka ya.

Dua belas kilometer. Memasuki hutan, naik-turun gunung, membayar setiap tanjakan dengan turunan curam. Terkadang licin, berair, tak cukup sekali membuat terpeleset, bahkan terjatuh. Menerka-nerka bebatuan tak beraturan di setiap sungai-sungai kecil yang akan mengantar hingga ke seberang. Sambutan jalan berlumpur, menjebak kaki-kaki sampai dalam. Yang lebih kejam adalah batu - batu bermuka tajam, yang sembrono merobek telapak kaki. Perih. Tiba-tiba tanah liat, kadang merah, sebentar lagi kuning kecoklatan. Apapun warnanya, tanah liat empuknya lumayan memanjakan dan memijat kaki.

Berjalan lebih dari empat jam sejak senja hingga berganti malam. Demi menuntaskan rasa pensaram akan keindahan Baduy Dalam. Sudah lama sekali saya ingin berkunjung ke tanah Baduy Dalam. Namun kesempatan tak urung jua datang. Hingga sempat ingin itu luntur dan terlupakan, namun tumbuh kembali karena cerita seorang teman tentang perjalanannya ke sana. Serba mendadak, saya dan teman-teman memantapkan tekad untuk bertemu di Stasiun Palmerah Sabtu pagi Desember 2016 yang lalu.

Kereta lokal dari Jakarta - Rangkas Bitung hanya ada beberapa kali, pukul 08.00, 08.27, 10.12. Berhubung kami cukup santai, anggap saja kami penikmat tidur pagi, jadi kami memilih kereta jam 10.12. Sesungguhnya ini karena tidak tahu jadwal dan enggan mencari tahu. Yang penting dapat kereta. Palmerah - Rangkas Bitung yang memakan lebih dari dua jam ini cukup dengan harga lima ribu rupiah saja. Tapi tak usah berharap dapat tempat duduk ya. Kereta pasti padat, apalagi menjelang hari Natal.

Panasnya gerbong kereta yang semakin panas dan tangisan balita semakin mengurungkan minat penumpang bertegur sapa, apalagi memberikan kursinya pada yang lebih berhak. Mending tidur atau pura-pura tidur. Dua setengah jam kemudian kami tiba di Rangkas Bitung. Ini pertama kalinya saya menginjakkan kaki di sini, di depan stasiun yang menjadi pasar. Terlihat banyak sopir angkot yang memburu penumpang lalu lalang melahap jalan. Panas! Rangkas Bitung panas.

Dari stasiun kami berjalan sebentar mencari masjid dan sesuap nasi. Eh yang kami dapat ialah semangkok mie ayam Uun. Tidak mengapa, selain murah, enak, porsinya juga banyak. Cukup lima belas ribu sudah termasuk es teh. Setelah perut kenyang, kami mencari angkot merah (biru juga bisa) menuju Terminal Aweh. 

https://laelinuraj.blogspot.com/2017/01/perjalanan-mahal-menuju-baduy-dalam.html

Tiba di terminal Aweh, kami ditawari angkot seharga empat ratus ribu menuju Ciboleger, dengan iming-iming tidak lama menunggu dan cepat sampai. Tapi kami tidak tergoda. Kami lebih memilih menggunakan elf yang harganya cuma dua puluh lima ribu per orang dengan bonus bisa menikmati perjalanan bersama warga lokal, berdesakan. Mendengar percakapan mereka dengan Bahasa Sundanya. Sekitar satu setengah jam perjalanan menuju pintu masuk Baduy Luar, jalannya berkelok, naik turun, tapi kami suka! 

Pemandangan dari jendela yang seret dibuka lumayan menyegarkan mata. Sawah yang menguning, bukit-bukit yang kaya tambang, juga aktivitas warga di sepanjang jalan. Tiba di Ciboleger, kami dipertemukan dengan orang baik. Dialah Ibu Hj. Entik yang menyuguhi teh hangat dan tikar untuk istirahat sejenak. Ini bermula dari ulah salah satu teman  yang baik pula. Ia menawarkan bantuan untuk membawakan barang turun dari elf. Ibu Hj. Entik yang tinggal seorang diri dan sangat merindukan hadirnya buah hati, memaksa kami untuk menginap di rumahnya. Tapi, karena kami akan bermalam di Baduy Dalam, kami menolaknya dengan sopan dan berjanji untuk mampir esok harinya.

Sebelum naik ke Baduy Luar, kami cek barang bawaan. Jas hujan! Bawalah dari rumah, di sini harganya menjadi lima kali lipat. Selain harga yang nggak kira-kira, kami juga kena isengnya warga setempat untuk membayar administrasi yang entah uang ini masuk ke kantong siapa. Mereka memang iseng, tapi baik. Kami yang menolak tawarannya untuk menggunakan jasa guide seharga empat ratus ribu, dikenalkan dengan warga Baduy Dalam yang sedang ke Baduy Luar. Herman namanya.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline