Lihat ke Halaman Asli

Sri JuwitaKusumawardhani

Dosen di Fakultas Pendidikan Psikologi Universitas Negeri Jakarta

Parenting in Multicultural Context: Mindful Cooking

Diperbarui: 8 November 2023   06:46

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sumber Gambar: Canva

Pengabdian Masyarakat Kolaboratif Internasional

Oleh: Sri Juwita Kusumawardhani, Yufiarti, Irma Rosalinda, Gusprianti Devi Artanti

Kegiatan pengabdian masyarakat kolaboratif secara internasional dilaksanakan pada hari Sabtu, 4 November 2023 pk. 16.00 -17.30 AEST (Waktu Australia) atau 12.00 – 13.30 WIB (Waktu Indonesia Bagian Barat) secara daring dan dihadiri sebanyak 30 partisipan. Kegiatan dibuka dengan pemberian sambutan oleh Dekan Fakultas Pendidikan Psikologi Universitas Negeri Jakarta yaitu Prof. Dr. Yufiarti, M.Si. Beliau menyampaikan bahwa perempuan sebagai seorang ibu memiliki banyak peran, mungkin ada yang sambil bekerja penuh waktu, paruh waktu, ataupun menjadi ibu rumah tangga yang tugas domestiknya harus dikerjakan secara mandiri (tanpa dibantu asisten rumah tangga). Oleh karena itu, penting untuk komunitas masyarakat berpartisipasi aktif untuk membantu meningkatkan kebahagiaan seorang ibu. 

Dalam konteks kehidupan sehari-hari, seorang ibu seringkali tidak lepas dari kegiatan memasak. Ternyata ada mindfulness cooking yang dapat membantu Ibu lebih bahagia dalam menjalani tugasnya sehari-hari. Harapannya, setelah mengikuti kegiatan hari ini, para ibu yang tinggal di Melbourne, Australia menjadi lebih sejahtera dan bahagia.

Materi pertama dibawakan oleh Ibu Lara Fridani S.Psi., M.Psych, Ph.D dengan tema Multikultural Parenting: Mindfulness Cooking. Berbagai budaya dan ras yang beragam berada di Australia. Hal ini akan membuat masyarakatnya harus berbagi gagasan, bahasa, tradisi, dan cara hidup serta perilaku dalam kehidupan sehari-hari dengan perbedaan yang ada. Sisi positif dalam pengasuhan, tentunya anak mendapatkan wawasan yang terbuka, serta keterampilan berkomunikasi dan mengembangkan sikap positif dalam bertoleransi dengan orang lain dari berbagai budaya. Di sisi lain, para orangtua perlu tetap mengingatkan dan menanamkan nilai-nilai agama dan budaya yang sesuai dengan keyakinan keluarga. Menurut Co-founder Center For Empowerment and Research in Australia ini, secara spesifik, budaya yang beragam dapat mengenalkan hal-hal baru, salah satunya dalam hal memasak.

Para orangtua dapat saling berbagi pengetahuan tentang kandungan makanan, rasa yang berbeda, resep dan metode memasak. Setiap budaya memiliki kekhasan dalam masakan dan makanannya, misalnya bumbu yang berbeda, sayur, buah, biji-bijian, dll. Kegiatan makan bersama dapat membangun komunikasi dan menjalin pertemanan walaupun memiliki beragam kebiasaan dan tradisi serta selera yang berbeda. Makanan merupakan salah satu ekspresi identitas kultural, dimana jenis makanan dan cara makan merupakan kekhasan tersendiri. Misalnya, di budaya tertentu, makan dengan mengeluarkan bunyi dianggap suatu apresiasi pada yang memasak tetapi di budaya lain akan dianggap sebagai perilaku tidak sopan. Orangtua dapat mengajak anaknya untuk belajar menghargai budaya yang berbeda. Anak pun diajarkan untuk tidak mengejek apalagi menghina ketika melihat perbedaan makanan dengan teman-temannya. Nilai penting lainnya yang perlu ditanamkan dalam menghadapi perbedaan tersebut adalah orangtua mengajarkan tentang makanan yang halal dan bernutrisi untuk anak-anaknya.

Sumber Gambar: Canva

Materi kedua dengan tema “Mindfulness Cooking” dipresentasikan oleh Ibu Irma Rosalinda Lubis, S.Psi., M.Si., Psikolog selaku Dosen di Fakultas Pendidikan Psikologi Universitas Negeri Jakarta. Mindfulness secara umum dianggap penting, karena kebanyakan dari kita melakukan suatu hal tanpa benar-benar berada dalam momen (here and now) karena sudah biasa dilakukan sehari-hari, sehingga jadinya kita kurang fokus untuk memaknai kegiatan tersebut. Padahal penting untuk kita mengerahkan seluruh perhatian indera selayaknya saat kita menghadapi situasi baru agar dapat memeroleh dampak yang positif dari suatu kegiatan. Pada dasarnya, kegiatan sehari-hari seperti memasak dapat bersifat menenangkan bahkan terapeutik untuk menurunkan emosi-emosi negatif, jika memang dilakukan dengan penuh kesadaran/mindful. Saat memasak, kita dapat melihat berbagai jenis bahan makanan, seperti sayuran dan buah dengan berbagai macam warna dan aroma yang dapat kita nikmati. Sayangnya, seringkali hal tersebut terlewat begitu saja sehingga dampak positifnya pun kurang teroptimalisasi oleh diri kita.

Lebih lanjut, Ibu Irma menjelaskan bahwa manfaat dari mindfulness dapat membuat hidup lebih damai, tenang, sejahtera, dan melatih fokus dalam melakukan suatu kegiatan. Berdasarkan penelitian Donald dkk (2016) dan Remmers dkk (2016) Mindfulness terbukti dapat mengurangi stres dan membuat suasana hati yang lebih baik. Selain itu, mindfulness pun dapat membuat seseorang lebih dapat mengelola rasa sakit yang dialami sehingga membuat seorang pasien menjadi lebih kuat, contohnya penderita kanker paru-paru (Van Den Hurk dkk, 2015), kanker payudara (Tamagawa dkk, 2015), serta menurunkan tekanan darah (Tomfohr dkk, 2015), serta membantu penyembuhan pasca trauma (Tamagawa dkk, 2015), membantu pasien depresi kronis mengurangi keinginan bunuh diri (Forkman dkk, 2016). Selain itu, mindfulness pun dianggap dapat meningkatkan kinerja memori otak sehingga lebih mudah dalam mengingat dan menerima hal baru yang berdampak pada peningkatan prestasi akademik. Serta, berguna untuk membangun hubungan positif dengan orang lain.

Sebagai Ibu, kita memasak ribuan makanan yang menggunakan ribuan jam dalam sepanjang hidup kita. Jika kita mampu untuk menghadirkan lebih banyak perhatian pada pengalaman memasak yang artinya melakukan mindful cooking – artinya kita sudah menukar ratusan jam stress dan frustrasi dengan kesenangan dan kreativitas. Ibu Irma menjelaskan tahapan mindfulness diawali dengan memperhatikan seksama setiap detil di sekeliling kita. Misalkan, kita memperhatikan warna cabai dan warna tomat yang berbeda. Warna merah yang indah tersebut dapat menimbulkan rasa bahagia dan rasa bersyukur. Kemudian, tahap kedua adalah memiliki suatu tujuan, contohnya saja memasak untuk keluarga artinya kita niatkan untuk memberikan nutrisi terbaik bagi pasangan dan anak-anak sehingga lebih terasa maknanya. Yang ketiga adalah fokus dan benar-benar merasakan setiap momen yang dilalui. Saat memasak, proses mencuci bahan masakan, kita dapat menikmati aliran air yang mengalir dan hal ini dapat memberikan efek terapeutik – bukan hanya membersihkan bahan masakan tetapi juga membersihkan diri ini dari emosi-emosi yang tidak menyenangkan. Ketika mencampur bahan-bahan kita dapat merasakan tekstur yang berbeda atau saat memarinasi bumbu benar-benar kita nikmati setiap prosesnya. Jika seseorang mengikuti setiap tahapannya, fokus dengan proses memasak, tidak terburu-buru atau tidak menyambil kegiatan lain maka kita akhirnya sampai di tahap keempat, yakni merasakan kepuasan, kebahagiaan, dan kebermaknaan hidup. Hal ini akan terasa saat makanannya sudah selesai dimasak dan disajikan kepada keluarga, apalagi setelah melihat wajah anggota keluarga yang menikmati masakan tersebut.

Kemudian, sesi berikutnya adalah sesi storytelling yang dibawakan oleh Kak Ojan. Dimulai dengan sharing pengalaman Kak Ojan menjadi volunteer di beberapa tempat bencana, dimana adanya dapur umum untuk bisa memasak bersama dan waktu makan bersama adalah salah satu bagian yang memulihkan emosi-emosi sedih mereka. Setelah itu, Kak Ojan menceritakan tentang tetangga Nasrudin yang sulit bersyukur dan merasa bahwa rumahnya kurang besar. Lalu, ia bertemu dengan Nasrudin dan meminta nasehat agar rumahnya menjadi lebih lega dan besar. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline