Lihat ke Halaman Asli

Sari Puspita Dewi

a lifelong learner

Di Mana Amah?

Diperbarui: 8 Juni 2020   10:48

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

DOKPRI

"Amah bade ka mana?" rengekku.

"Amah bade damel, milarian artos. Kanggo anjeun, supados sakola tinggi. Ulah kayak Abah Amah."

Itu kali terakhir kulihat ibuku bersama senja yang mengiringinya, pergi menjadi TKW dan berjanji berkumpul lagi tahun depan.
Aku hanya mengangguk menuruti nasehat ibuku yang mau bekerja cari uang agar aku bisa terus sekolah hingga bangku kuliahan, walaupun aku tidak paham; kenapa harus kerja di negeri orang seperti Ceu Imah dan Wak Enih yang rumahnya gedong itu? Ya, walau rumah gedong tapi kan kasihan si Ujang, si Neng jadi jarang bertemu ibunya. Gumamku.
Hari-hari berlalu tanpa kabar dari Amah; tak terasa dua tahun sudah. Kukuatkan saja hatiku bahwa Amah baik-baik saja selama ini. Sayangnya, Abah tidak sekuat aku dan memutuskan untuk membangun rumah tangga baru bersama Ibu Ida jauh dari kota kelahiranku; Indramayu. Aku enggan ikut Abah, akhirnya aku dibesarkan oleh Nin, beliau adalah ibu dari ibuku.

Suatu hari di bulan puasa, aku merasa rindu dengan Abah dan berharap ia berkunjung saat Lebaran.

"Nin. Apa Lebaran kali ini Abah akan pulang?" tanyaku sambil angkat jemuran baju.

"Teu ngartos. Sudahlah, Gun. Rumah Abah mu jauh dari sini, mungkin teu aya ongkos ka mari. Sabar wae atuh nyak." jawab Nin dengan bijak sambil memisahkan hasil petikan singkong; untuk dijual dan untuk dimasak.

Selama Abah punya keluarga baru, sepertinya kami terlupakan karena tidak pernah serupiah pun ia kirim kepada Nin untuk kehidupan kami sehari-hari. Jangankan uang, kasih sayang Abah pun rasanya tidak pernah menghampiri rumah gubuk reyot Nin yang kami tempati.

Walau demikian, kami tidak pernah kelaparan. Ada saja rejeki makan dan minum melalui tetangga-tetangga baik hati. Bahkan, untuk biaya sekolah pun selalu ada uluran tangan guru, dan pemerintah hingga aku bisa mencicip bangku kuliah di Jakarta. Iya, untuk makan sehari-hari saja aku sudah merepotkan Nin, jadi aku harus berusaha mencari jalan untuk membiayai sekolahku dengan meraih bantuan dana dari sumber mana pun. Tak sedikit guru dan kepala sekolah yang membantuku mulai dari uang jajan sehari-hari hingga pendaftaran Beasiswa Bidikmisi.

Selama lebih dari satu dekade aku merindukan ibu yang tak kunjung memberi kabar. Bahkan agen yang memberangkatkan saja sudah lenyap ditelan bumi. Di mana kau, Amah? Tak rindu kah kau pada anak semata wayangmu? Tangisku di atas sejadah.

Tak terasa, tiba waktuku merantau ke Jakarta untuk kuliah. Berbekal do'a restu Nin, aku langkahkan kakiku naik ke atas bus, pertama kalinya keluar dari Kabupaten Indramayu.

"Baik-baik ya Nin di rumah. InsyaAllah tiap libur kuliah, Gun akan pulang." ucapku bergetar.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline