Lihat ke Halaman Asli

Gadis Bercat Kuku Merah

Diperbarui: 18 Juni 2015   02:18

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Sejak tadi gadis itu terduduk di lantai dingin, tepat di samping tempat tidurnya yang nyaman. Mukanya ia benamkan dalam-dalam di atas kasur. Ia butuh bahu. Bahu siapa pun yang dapat menampung tangisnya.

Kedua tangannya melingkar di tubuhnya sendiri. Memeluk tubuhnya erat hingga buku-buku jarinya memutih. Ia takut. Ia takut jika pelukan itu ia lepaskan maka tubuhnya akan hancur berkeping-keping seperti hatinya.

Pelacur. Perempuan nakal. Murahan. Tak tahu diri...

Suara itu masih ada. Masih nyaring menghentak-hentak. Tak perduli betapapun ia berusaha menulikan telinga, suara itu merobek-robek pendengarannya. Menghujam langsung seperti tombak yang ditancapkan di tanah gembur.

Aku tidak seperti itu.... Aku tidak seperti itu...

Ingin rasanya ia juga berteriak dan membantah apa yang suara itu katakan berulang-ulang. Tapi lidahnya kelu. Penyangkalan itu tersekat di antara kerongkongan dan bibirnya. Ketika ia menelan ludah, penyangkalan itu ikut tertelan dan membatu di salah satu sudut hatinya.

Ya, ia tak bisa membantah. Percuma membantah.

Gadis itu menggosok matanya. Menyingkirkan rambut basah yang menempel di wajahnya karena air mata. Wajahnya pucat pasi. Tengkuknya terasa dingin sejak tadi. Sekilas ia pandangi jari-jarinya yang bercat kuku merah. Senyumnya merekah sedikit.

Hidupnya memang tak berwarna-warni seperti gadis seusianya yang ia kenal. Karena ia tak pernah diizinkan berwarna. Hidup baginya hanya hitam dan putih. Tapi ia tak pernah putus asa. Ia masih punya harapan. Tak apa saat ini ia tak bisa mewarnai hidupnya. Toh, ia masih bisa mewarnai kukunya. Untuk saat ini, itu cukup...

Sesaat ketenangan menjalar lambat. Namun tiba-tiba suara itu mendekat. Kali ini tanpa sekat daun pintu yang tadi sedikit meredamnya. Gadis itu mematung. Sejujurnya ia tak mengerti mengapa suara itu mencabik-cabik harga dirinya. Ia tak melakukan apa-apa. Ia tak melakukan hal tercela apalagi hal yang mengundang murka Tuhannya.

Ia hanya tak mengerti bahwa membawakan minum kepada seorang teman laki-laki yang menunggu di teras depan rumahnya adalah malapetaka. Ia tidak tahu bahwa mengobrol sambil mendengarkan laku-laki itu bermain gitar selama 2 jam adalah sebuah borok memuakan bagi suara itu.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline