Sudah lama sekali tak bertemu dengan keponakanku, Mas Andrian setelah 4 tahun lamanya. Dia sudah sangat berbeda ketika kami tinggal bersama di Solo. Tubuhnya semakin lama semakin berubah. Bahkan perutnya semakin maju ke depan saat bertemu di acara keluarga.
Ada satu hal tak pernah kulupakan yang melekat darinya. Warna kulitnya tak berubah. Masih seperti dulu hitam pekat seperti Cokelat Manis. Aku sering mengejeknya begitu. "Mas Andrian, Mas Andrian Si Cokelat Manis." Teriakku kepadanya saat bercanda ketika di Solo. Tapi manisnya tidak terlalu, sih.
Dia membalas dengan mencibir mulutnya dan kedua mata melotot. Namun tentu saja Si Cokelat Manis dengan kacamata menghias di wajahnya yang bundar, Tak dapat membuat nyaliku menciut. Semakin lama semakin membuatku mengerjainya.
Kami berdua sama-sama kuliah di Universitas Sebelas Maret. Dan tentu saja kami bermusuhan. Kami berdua tinggal bersama dalam satu rumah. Saya tinggal dengan keluarga almarhum Bapak. Keponakanku, Si Cokelat Manis salah satunya.
Agak kaget juga waktu bertemu lagi dengannya dalam acara keluarga. Dia mau menikah di bulan September. Sang calon istri bernama Kristina hadir di rumah Mbak Senja pada hari Sabtu minggu ini. Mbak Senja itu adalah Adik ipar almarhum ayahku. Dan ia mempunyai anak tunggal bernama Adit.
Tubuh Adit besar dan gemuk sekarang dia sedang mengerjakan skripsi. Adit juga sering bercanda, Lho. Kalau mereka berdua bertemu seperti pasangan lawak. Ada saja yang dilakukan oleh mereka berdua. "Kalau gak ada loe gak rame." Motonya di keluarga almarhum Bapak seperti itu. Kami berkumpul dan saling bercerita pengalaman masing-masing.
Namun selama acara berlangsung ada sikap yang khas dimiliki oleh mereka. Adit kalau makan piringnya berbeda. Piring makannya dua kali lebih lebar daripada piring makan biasa. Ternyata aku juga terkejut dengan kedatangan Tante Mira. Berangkat dari Solo jam enam pagi dan membawa Ayam Goreng Widuran. Biasanya di dalam kardus Ayam Goreng Widuran ada kremes-kremesnya. Tante Mira suka es kopi.
Dan lagi-lagi aku mengejek Cokelat Manis. "Wah, Warna kopinya sama dengan warna kulitmu, Mas Andrian. Si Cokelat Manis." Kristina, Pacarnya tertawa mendengar ejekannku. "Biarin! Daripada kamu gendut." Katanya. "Tahu tidak lebih baik gendut daripada hitam seperti kamu." Balasku mengejek. "Lagipula perutku masih lebih langsing daripada punya kamu." Sambil mengelus perutku.
"Kalau gendut tetap saja gendut, Huhh." Katanya kesal. Tante Mira langsung menyahut." Walah...Walah ketemu lagi, deh. Musuh bebuyutan Nih, Yee. Musuh lama dari Solo." Hmm.. Dasar Si Cokelat Manis seperti biasa dia mencibir dan kedua mata melotot. Hmm... Itu sih hal biasa.
Namun Adit, dengan tubuh paling besar juga miliki sikap curangnya. Tidak disangka-sangka memang. Karena Kremes untuk Ayam Goreng biasanya ada empat bungkus kecil. Dia menyembunyikan kremes dua bungkus disembunyikan di kantung celananya. Keponakan dan sepupu aku bahkan bingung mencari si kremes-kremes menghilang kemana. Eh, Ternyata disembunyikan sama Adit. Aduh... Aduh... Biyung. Si Adit badannya besar ternyata suka mengerjai orang.
"Hmm... Dasar Aditya. Ternyata kamu pelakunya." Teriak Tante Mira. "He he he, Iya dong." Katanya sambil mesam-mesem. Tidak hanya itu saja, Lho. Bahkan roti bolu keju yang kubawa dari rumah jadi rebutan mereka. Tidak disangka Tante Mira, Mbak Senja dan Adit suka roti yang kubawa. Berkat Si Cokelat Manis kami bisa berkumpul kembali di Jakarta.