Dua kasus pembunuhan di Surabaya yang korbannya dimasukkan dalam koper dan dibuang. Ternyata, perlakuan membuang jenazah yang dibunuh dengan memasukkannya di dalam koper bisa mengidentifikasi satu hal tentang pelaku pembunuhan itu. Mahasiswa ubaya Angelina Nathalia dibunuh guru musiknya saat SMA, Rocmad Bagus Apryatna alia Roy. Gadis itu diikat di dalam mobil, dibekap, lalu dicekik dan dijerat dengan tali kotor celana pelaku hingga tewas pada 4 mei 2023. Roy kenal dan dekat dengan korban sejak masih menjadi guru musik SMA pada 2017. Meski banyak yang menduga di antara pelaku dan korban ada hubunganasmara, tapi Roy menyebut mereka hanya berteman dan keluarga membantah soal hubungan asmara itu.
Setelah membutuh mantan muridnya tersebut Roy berupa menghilangkan jejak. Dia ambil koper dari rumah mertuanya di Rungkut lalu memasukkan jasad Angeline ke dalamnya. Selanjutnya, dia bawa koper itu naik mobil Xpander milik korban dan membuangnya di sebuah jurang di pacet. Mayat dalam koper lainnya ditemukan di kawasan Kenjeran Park (Kenpark) Surabaya pada senin (12/6). Kaki manusia yang diduga korban mutilasi itu ditemukan terbungkus kresek warna hijau yang dibungkus dengan koper warna krem. Jasad itu ditemukan oleh seorang pencari ronsokan. Hingga saat ini Sat Reskrim Polres Tanjung Perak Surabaya masih melakukan penyelidikan. Ada dugaan keterkaitan antara potongan kaki yang ditemukan di Kenpark Surabaya dengan potongan tubuh tanpa kaki dan lengan yang ditemukan di Trosobo, Sidoarjo. Baik pembunuhan mahasisi Ubaya dengan temuan jasad kaki diduga korban mutilasi sama-sama menggunakan koper untuk membuang jenazah. Dalam psikologi forensik, ada indikasi khusus yang bisa dibaca dari dua kasus mayat dalam koper tersebut. "Kalau saya lihat untuk 2 kasus dalam koper ini motifnya berbeda. Meskipun sama-sama dimasukkan ke dalam koper," ujar Ketua Asosiasi Psikologi Forensik Indonesia (Apsifor) Perwakilan Jawa Timur Riza Wahyuni saat dihubungi detikJatim, Selasa (13/6/2023).
Tampa menyebut secara spesifik koper yang digunakan untuk membuang jenazah korban pembunuhan, Riza mengatakan, upaya pembuangan jenazah korban pembunuhan tersebut menunjukkan, bahwa pelakunya sebenarnya tahu” Jadi kalau dibuang itu menunjukkan pelaku dan korban saling mengenal. Menurut Riza, hampir bisa dipastikan jika pembunuhan itu melibatkan penghilangan korban, baik itu koper, tas, mutilasi, dan sebagainya, maka bisa disimpulkan pelaku mengenal korban. Tentu saja kita sangat prihatin dengan kasus-kasus tersebut karena masyarakat Indonesia yang terkenal baik hati, sopan santun, dan memiliki sikap kekeluargaan yang tinggi tega melakukan pembunuhan sadis. Melihat banyaknya kasus mutilasi, tentu harus hati-hati dalam menyikapinya dan memandangnya dari berbagai sudut pandang atau faktor.
Menurut kriminolog Profesor Ronny Rahman Nitibaskara, ketika menyelesaikan kasus pidana, kriminolog tidak mengidentifikasi satu faktor penyebab (single-factor kewaspadaan), namun menyikapinya dengan banyak faktor (multi-factor kewaspadaan). Ketika kita berbicara tentang perilaku agresif, kita tidak dapat menghindari teori Freud, yang menyatakan bahwa manusia pada dasarnya memiliki dua naluri dasar: naluri seksual dan naluri agresif. Naluri agresif adalah naluri yang mendorong manusia untuk menghancurkan orang lain (Nitibaskara, 1999). Untuk memenuhi rasa keadilan dalam perlakuan hukum, misalnya dalam kasus mutilasi, maka kepolisian negara harus mampu bertindak baik dalam penyidikan maupun penyidikan perkara tersebut. Tingkatan ini memerlukan kemampuan melihat, mengidentifikasi, menganalisis dan menangani kasus mutilasi, dengan memperhatikan kondisi psikologis atau mental pelaku. Akan lebih optimal lagi jika penyidik kepolisian bekerja sama dan berkoordinasi dengan psikiater dan psikolog mengenai motif atau penyebab kejahatan. Oleh karena itu, polisi harus mempertimbangkan bantuan atau kontribusi psikiater dan psikolog. Untuk membantu proses intelijen dan penyidikan, penyidik polisi negara bagian dan mdash; tambahan menerima bantuan dari psikiater dan psikolog dan mdash; dapat dengan mudah menangani kasus mutilasi ini dengan dan/atau dari sudut pandang psikologi forensik. Bukti terbaru adalah ditemukannya lima mayat baru-baru ini di Polda Metro Jaya dan Polda Jawa Timur oleh penyidik di rumah orang tuanya, sehingga sangat menarik jika dilihat dari kacamata psikologi forensik.
Menurut Reza Indragiri Amriel, pakar psikologi forensik, pembunuhan berantai atau pembunuhan sadis (distorsi) karena pelaku bertujuan untuk mendapatkan fantasi atau sensasi yang luar biasa dengan melihat korban sekarat atau detik-detik terakhir korban menghembuskan nafas (mati perlahan). Kasus Kesalahpahaman Psikologi Forensik terhadap Tersangka Ryan dan Rezaandmdash; itu tidak ada hubungannya dengan orientasi seksual. Menurut pakar psikologi forensik dari AS, Dr Heirr, penelitian tentang sifat psikopat yang ada sangat minim sekali, sangat sulit, dan mustahil, karena pengidap psikopat dapat memiliki sifat itu dengan tindakan hubungan yang manipulatif dan tidak mudah dideteksi. Hal tersebut disebabkan oleh karena sifat pengidap psikopat secara lahiriah atau fisik tidak tampak dari sikap yang hangat, cerdas, dan biasa tersebut. Indonesia sebagai negara yang mengalami krisis di semua bidang kehidupan, sangat kondusif memunculkan pemain-pemain tunggal pelaku psikopat, baik dengan kadar rendah maupun dengan kadar yang tinggi.
Dalam kaitan itu, pihak kepolisian dalam menangani kasus mutilasi yang dilakukan oleh Ryan disarankan oleh pakar psikologi forensik Reza Indargiri Amriel melakukan beberapa tindakan. Di antaranya, dari kacamata psikologi, pihak kepolisian hendaknya meminta bantuan psikiater atau psikolog untuk mediagnosis secara mendalam dan komprehensif kejiwaan dari pelaku. Adapun tugas psikologi forensik di dalam penyidikan, menurut psikolog Yusti Probowati, adalah mengetahui kondisi psikologis tersangka melalui proses asesmen mental tersangka. Yaitu, mendeteksi ada tidaknya keterbatasan intelektual terdakwa. Psikolog mendeteksi kondisi intelektualitas tersangka tindak pidana, dalam rangka memperlancar proses penyidikan kepolisian. Melakukan asesmen kondisi berisiko dan berbahaya dari tersangka, agar psikolog mendapatkan gambaran kemungkinan adanya kondisi berisiko dan berbahaya dari tersangka selama dalam proses penyidikan kepolisian. Melakukan asesmen kompetensi mental tersangka(competency/insanity), dengan tujuan untuk mendeteksi apakah tersangka memiliki kompetensi mental (sakit jiwa) atau tidak Mendeteksi kondisi sobriety (uji ini untuk mendukung kecurigaan polisi saat interogasi, apakah pelaku dipengaruhi oleh obat-obatan atau tidak; dan apa pun hasil pemeriksaannya tidak dihentikan. Selain itu, membantu mendapatkan keterangan tentang motivasi tersangka yang sebenarnya. Mendeteksi adanya malingering pada tersangka.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H