Lihat ke Halaman Asli

Alih-alih Pesantren Didanai, DPR Merecoki Ibadah Agama Lain

Diperbarui: 1 November 2018   21:34

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Baleg DPR RI secara aklamasi menyetujui RUU tentang Pesantren dan Pendidikan Keagamaan menjadi RUU Usul Inisiatif DPR RI (Sumber: Situs resmi DPR RI. Foto:Runi/Rni)

Komisi VIII DPR perlu memaparkan pertimbangan kepada masyarakat di balik pemilihan judul RUU Pesantren dan Pendidikan Keagamaan karena judul menentukan batasan atau ruang lingkup pembahasan yang selanjutnya bersifat mengatur jika diundangkan. Badan Legislasi DPR RI (Baleg) pun mengesahkan RUU tersebut menjadi inisiatif DPR RI dalam rapat Baleg pada September lalu. Padahal, awalnya terjadi perdebatan di kalangan politisi Senayan terkait judul itu.

"Untuk RUU-nya masih debatable. Masih terjadi perbedaan pendapat di antara fraksi-fraksi apakah menggunakan judul RUU Madrasah dan Pesantren atau RUU Pendidikan Keagamaan dan Pesantren," ujar Wakil Ketua Komisi VIII DPR RI, Noor Achmad saat dihubungi Republika.co.id, Senin (26/2).

Seperti dilansir oleh Viva.co.id (Selasa, 23/10) Ketua MPR Zulkifli Hasan Zulkifli yang merupakan ketua umum Partai Amanat Nasional menyampaikan komitmennya untuk memperjuangkan anggaran pesantren saat mengunjungi Ponpes Walisongo di Sukajadi, Lampung Tengah. Zulkifli menyebutkan Fraksi PAN di DPR terus memperjuangkan agar RUU Madrasah dan Pesantren segera disahkan menjadi undang-undang.

Tak jauh berbeda, Sekretaris Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) DPR Cucun Ahmad Syamsurijal mengaku masih memperjuangkan RUU Pendidikan Madrasah dan Pondok Pesantren.

 "RUU ini dirancang agar negara berpihak kepada kiai dan pokok pesantren, terutama dari dukungan finansial, kemudian masalah standar kurikulum. Di Kemenag (Kementerian Agama) harus betul-betul ada sinergi, jadi jangan berjalan sendiri-sendiri," ucapnya -- Media Indonesia (25/2)

Memang upaya mengegolkan RUU sehingga statusnya meningkat menjadi RUU inisiatif DPR patut diapresiasi. Terlebih, lolosnya RUU itu dari Baleg seolah-olah merupakan kado menjelang Hari Santri Nasional (HSN) 22 Oktober. Akan tetapi, hal yang semula menyoroti pendidikan keislaman baik di madrasah maupun pesantren justru melebar ke pendidikan non-formal agama lain. Hanya satu kemungkinan penyebabnya, yaitu menghindari nuansa eksklusivisme seperti kesan menganak-emaskan atau niat mulia untuk memedulikan pendidikan keagamaan yang berkeadilan.

Membangun argumentasi dari sisi keadilan malah menyesatkan atau disebut red herring, yakni kesesatan berpikir akibat tidak ada korelasi antara keadilan dan pembatasan wilayah privasi seseorang untuk beribadat yang dijamin kemerdekaannya dalam konstitusi. Jika RUU Pesantren dan Pendidikan Keagamaan dilandasi niat mulia terhadap pendidikan yang berkeadilan, semestinya melibatkan seluruh stakeholder pendidikan yang dimaksud. Misal, sudahkah pembahasan RUU melibatkan KWI (Konferensi Waligereja Indonesia) dan PGI (Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia) sejak awal? Kenyataannya tidak.

Sebab, anggota dewan di Komisi VIII tidak mengetahui perbedaan sekolah minggu, katekisasi, dan pesantren. Katekisasi mencakup tahapan pembelajaran tentang keimanan yang bersifat personal dan prinsipiil dalam proses peribadatan. Dasar pembelajaran ini ditandai dengan pengakuan untuk memeluk keimanan sampai pada proses pendewasaan diri melalui iman yang dirinya sendiri yakini. Dengan melewati tahapan yang difasilitasi oleh gereja, seseorang diharapkan dapat merasakan pemenuhan diri menjadi pribadi yang beriman kristiani. Berbeda halnya, pesantren menekankan pada sosok guru atau Kiai sebagai tokoh sentral. Yang satu ialah bagian dari ibadah dan lainnya ialah bentukan lain dari model pengajaran.

Selain itu, apakah cuma agama Islam yang hendak diakui oleh negara untuk menyiarkan ajarannya atau berdakwah? RUU inisiatif ini tidak mengakomodasi eksistensi kepentingan agama non-Islam yang juga sama-sama memiliki aspek sosiologis. Pesantren diakui sebagai lembaga pendidikan dan penyiaran agama, sedangkan agama lain tidak. Setelah maraknya protes dan penolakan terhadap pendirian gereja, kehadiran RUU Pesantren dan Pendidikan Keagamaan melengkapi nasib umat Kristen agar sulit tumbuh dalam persekutuan jemaah. Stigma kristenisasi muncul pula untuk mengharamkan bentuk peribadatan dalam komunitas keluarga Kristen, sehingga doa bersama di rumah pun dibubarkan paksa.

Namun, entah apa yang kelak terjadi. Berbagai suku bangsa di nusantara yang akhirnya dinamakan Indonesia ini semakin dikoyak-koyak oleh keangkuhan kaum pengaku pewaris surga. Seruan kebhinekaan mesti dimaknai secara radikal dan bersumber pada pandangan hidup universal yang melampaui SARA. Dengan demikian, tiada lagi dikotomi mayoritas dan minoritas.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline