Jika anda termasuk bagian dari manusia pemuja Tuhan sebagai Sang Pencipta, silakan beriman kepada-Nya dan cukuplah karena iman tanpa perlu repot-repot merasionalisasi keimanan anda. Setiap cara yang berupaya merasionalisasi iman/keimanan anda hanyalah bentuk kesesatan berpikir. Pertanyaannya kemudian, bagaimana jika anda menemukan hal-hal yang tidak rasional dalam keyakinan sendiri? Bersujud dan berdoalah kepada-Nya. Apabila anda tetap tidak puas dan tidak menemukan jawabannya, tengoklah ke sekeliling anda dan buka mata lebar-lebar. Lalu, rasakan batin anda pada waktu menghadapi apapun di sekeliling anda. Apapun yang anda rasakan, tak perlu berpikir. Terimalah perasaan nyata yang muncul bukan dari benak pikiran anda. Mulai saat itu anda dapat belajar membedakan realitas dan ilusi, kenyataan dan gagasan. Selanjutnya, latihlah cara berpikir yang sehat berdasarkan pengalaman sendiri tentang benda - tumbuhan - binatang-kejadian/peristiwa - dan pikiran. Yang terakhir, berlatihlah berpikir mengenai rasa. Tak perlu anda mempelajari ilmu filsafat atau lainnya karena anda masih dalam tahap menentukan dasar pijak untuk berpikir yang sehat. Catatan-catatan keilmuan malah menambah pikiran anda yang tidak tertata semakin kalang kabut. Apalagi, catatan kebatinan membuat anda kembali ke zaman batu. Perilaku aneh-aneh itu sudah kadaluwarsa. Kalau masih ragu, siapakah paranormal hebat yang anda kenal? Mintalah ia menyantet rasa senang kepada diri anda. Jika anda dapat merasa senang tanpa mengetahui apa yang anda senangi, ikutilah dia dan bergurulah kepadanya.
Zaman para raja di Jawa, banyak yang memiliki kesaktian mandraguna. Namun, mereka yang telah mencapai kesempurnaan diri memilih untuk menanggalkan kesaktian-kesaktian itu dan kembali pada sejatining gesang - hidup yang sejati dengan mencintai kebijaksanaan (berfilsafat). Mereka menyadari bahwa kesaktian-kesaktian itu tidak mampu menenteramkan hati manusia, tidak dapat menularkan kasih kebahagiaan kepada manusia, dan tidak sanggup membangun peradaban manusia. Sebaliknya, itu semua dapat menyesatkan pikiran manusia. Berpikir adalah perangkat hidup manusia yang satu-satunya mengalami perkembangan dari zaman ke zaman. Jika pikiran tidak diolah dengan cara berpikir yang sehat, manusia itu tak ubahnya katak dalam tempurung.
Ranah agama adalah tafsir, katanya para nabi atau rasul, katanya pemuka agama atau pertapa suci, katanya kitab atau buku pusaka. Padahal, dari semua katanya-katanya itu anda telah menafsirkannya sendiri. Anda menafsirkan apa yang terlihat, dan anda menafsirkan pula apa yang terdengar. Bukan kata-kata yang memaknai manusia, tetapi manusialah yang memaknai kata-kata itu. Ketika saya berkata,”Kowe anak munyuk”, anda dapat mengerti dan mungkin tersinggung. Tidak akan sama akibatnya jika saya mengatakannya kepada orang Eskimo yang tidak tahu Bahasa Jawa. (Bhs. Jawa, anak monyet = kowe). Satu ayat bisa ratusan kali ditafsirkan dan itu dapat menemui kebenaran, ya, kebenaran tafsiran. Kebenaran dari hasil penafsiran tidak sama dengan kebenaran dari hasil pengalaman pribadi. Banyak ayat berbunyi bahwa manusia akan memperoleh pahala jika menjalankan perintah-Nya dan berdosa jika melanggar larangan-Nya. Apakah anda pernah merasakan dan tahu pahala itu apa dan bagaimana? Apakah anda tahu mengapa itu berpahala? Apakah anda pernah merasakan dan tahu dosa/haram itu apa dan bagaimana? Apakah anda tahu mengapa itu dosa/haram?
Saya belum pernah bertemu dengan Heraclitus dan tidak sependapat dengannya, tapi saya mengalami, merasakan, dan tahu bahwa di alam semesta terdapat perubahan. Saya belum pernah bertemu Siddartha Gautama dan tidak sependapat dengannya, tapi saya mengalami, merasakan, dan tahu bahwa alam semesta tidak memiliki awal dan akhir. Saya belum pernah bertemu Yesus dan tidak sependapat dengannya, tapi saya mengalami, merasakan, dan tahu bahwa KASIH itu nyata. Saya belum pernah bertemu dengan Einstein, dan tidak sependapat dengannya, tapi saya mengalami, merasakan, dan tahu bahwa energi tidak dapat diciptakan dan dimusnahkan. Begitupun seterusnya bagaimana saya berproses dalam penjajakan diri dan kenyataan hidup di alam semesta. Apabila manusia hanya mengandalkan TAFSIR, katanya dia begini, katanya dia begitu, sampai kapanpun anda tidak akan mengenal kebenaran sejati.
Bila anda bertanya, apakah saya seorang atheis? Tidak! Pemahaman dan kesadaran saya pribadi tentang Tuhan berbeda dengan kebanyakan theisme dan atheisme. Umumnya, orang meyakini Tuhan adalah Sang Pencipta alam semesta sebagai eksistensi supranatural di luar manusia. Bagiku, Tuhan adalah budi agung. Dari keagungannya, terlahir pengetahuan atau kebijaksanaan tentang hakikat alam semesta, dan membuahkan rasa bahagia dalam diri manusia. Kebenaran dan Kasih merupakan wujud keagungannya yang membawa kedamaian, keadilan, dan kepercayaan diri. Maka, saya kadang bertanya, ”Tuhan apakah yang mereka sembah?” Sebab mereka tidak membawa kedamaian dan keadilan. Tuhan pun tidak butuh disembah. Yang minta disembah itu orang, bukan Tuhan. Jika Tuhan adalah Sang Kebenaran, sifat kebenaran tak akan luntur sekalipun orang itu percaya atau tidak percaya. Itulah kesempurnaan sejati. Sebaliknya, orang ini tidak menyembah Tuhan, ia tidak menyembah kebenaran. Yang disembah adalah keinginannya sendiri. Tuhan dalam benak orang yang menyembah adalah Sang Pengabul. Orang tidak sadar bahwa ia telah menuhankan dirinya sendiri, menuhankan keinginannya agar terkabul.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H