Fenomena dominasi mayoritas satu suku di pesantren dapat menyebabkan ketimpangan dalam kebebasan antara pengurus dan santri, terutama bagi mereka yang berasal dari suku atau kelompok etnis minoritas. Biasanya, dalam pesantren yang dipimpin oleh pengurus yang mayoritas berasal dari satu suku, norma dan kebijakan yang diterapkan lebih banyak mencerminkan kepentingan dan budaya kelompok tersebut.
Hal ini mengarah pada ketidaksetaraan sosial di dalam pesantren, menciptakan ketidakadilan dalam akses, kesempatan, dan pengakuan terhadap keberagaman. Melalui perspektif sosiologi, terutama dengan menggunakan teori hegemoni dan teori perubahan sosial, kita dapat mengkritisi fenomena ini dan melihat bagaimana mayoritas tidak selalu mencerminkan kebenaran atau keadilan.
Dalam konteks pesantren, dominasi suku mayoritas yang berada di posisi pengurus dapat menciptakan apa yang dikenal dengan istilah hegemoni budaya. Hegemoni ini merujuk pada pengaruh ideologi yang kuat dari kelompok dominan dalam masyarakat, yang membentuk kesadaran kolektif dan norma sosial.
Antonio Gramsci, seorang pemikir Marxis, menjelaskan bahwa kekuasaan tidak hanya didapat melalui kekuatan fisik atau politik, tetapi juga melalui penguasaan atas ideologi yang diterima oleh mayoritas. Dalam hal ini, kelompok yang mendominasi pesantren, yang berasal dari satu suku tertentu, dapat memperkenalkan dan mempertahankan budaya serta norma mereka sebagai standar yang berlaku di pesantren.
Sebagai contoh, jika mayoritas pengurus pesantren berasal dari suku Jawa, mereka mungkin akan menerapkan pola pengajaran, interaksi sosial, dan bahkan kegiatan keagamaan yang lebih mendekati tradisi Jawa. Santri yang berasal dari suku lain, seperti suku Bugis atau Madura, bisa merasa terpinggirkan jika mereka tidak dapat mengekspresikan identitas budaya mereka dengan bebas.
Dengan demikian, pesantren yang seharusnya menjadi tempat untuk menghargai keberagaman, justru malah memperkuat dominasi satu suku. Hal ini sejalan dengan pendapat Soerjono Soekanto (2009) dalam bukunya Sosiologi: Suatu Pengantar, yang mengungkapkan bahwa dominasi suatu kelompok dapat menekan keberagaman dan menciptakan ketimpangan sosial.
Kekuasaan yang dimiliki oleh mayoritas pengurus dapat disalahgunakan untuk memperkuat kepentingan kelompok mereka sendiri. Dalam perspektif Teori Kritis, yang dipelopori oleh Max Horkheimer dan Theodor Adorno, kapitalisme dan kekuasaan sering kali menyatu untuk menciptakan ketidaksetaraan. Dalam kasus pesantren, pengurus yang mayoritas berasal dari satu suku mungkin akan lebih mengutamakan santri yang memiliki latar belakang suku yang sama, misalnya dalam pembagian tugas, kesempatan belajar, atau penghargaan.
Santri dari suku minoritas akan kesulitan mendapatkan perhatian yang setara, yang pada akhirnya menciptakan ketidakadilan sosial. Hal ini memperlihatkan bagaimana kekuasaan digunakan bukan untuk kepentingan bersama, tetapi untuk memperkuat posisi dominan kelompok tertentu (Horkheimer & Adorno, 2003 dalam Dialektika Pencerahan).
Ketidak setaraan dalam akses pendidikan di pesantren adalah salah satu dampak dari dominasi mayoritas ini. Teori Perubahan Sosial yang dikemukakan oleh Kingsley Davis dan Wilbert Moore dalam teori stratifikasi sosialnya mengemukakan bahwa ketidaksetaraan dalam kesempatan bisa menyebabkan ketegangan sosial.
Dalam pesantren, pengurus yang berasal dari suku mayoritas memiliki kecenderungan untuk mengutamakan santri dari suku yang sama, memberikan mereka lebih banyak kesempatan untuk berkembang, sementara santri dari suku lain lebih sulit mendapat perhatian. Keadaan ini menciptakan kesenjangan yang memperburuk hubungan sosial antar santri.