Lihat ke Halaman Asli

Life or De(a)d?

Diperbarui: 26 Juni 2015   14:16

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="attachment_217157" align="alignright" width="300" caption="Ilustrasi/Admin (Shutterstock)"][/caption] JAM menunjukkan pukul 13.15 WIB, terminal Pulo Gadung, Jakarta Timur, Minggu (30/5/2010). Cuaca menyengat hari itu. Seorang kondektur memanggil saya dan mendekat, sambil menanyakan tentang tujuan kepergian saya. Ketika saya bilang, “Saya mau liputan mas.” Ia kemudian pergi, sambil saya rangkul dan tepuk pundaknya. Tak berapa lama seorang tukang ojek, orang Batak mengikuti saya. Perawakan tinggi, memakai seragam oranye, masih sama menanyakan dengan kondektur tadi. Kami mengobrol agak lama, setelah saya utarakan maksud saya, dia hanya manggut-manggut. Dia malah bercerita tanpa saya tanya, beberapa hal tentang semrawutnya terminal. Namun dari semuanya yang dia bicarakan tak ada yang menarik, untuk dijadikan sebuah feature. LAKI-LAKI tua itu duduk di antara parkir mobil sewaan, di bawah plang besar daftar nama-nama bus, dekat pintu masuk terminal. Ia duduk sendiri. Saya minta ijin untuk duduk di sebelahnya; istirahat sebentar sambil mengambil air mineral. Ia mengajak bicara, namun kurang saya tanggapi. Saya tak tertarik. Saya lebih tertarik dengan tukang sol sepatu yang sedari tadi menunggu orang servis sepatu atau sandal padanya. Namun, sudah beberapa lama tak ada yang menarik dari tukang sol sepatu yang buncit perutnya itu. “Mau pergi ke mana mas,” ia membuka pertanyaan. “Ah enggak pak, saya mau di sini saja,” kata saya. “Ya enggak mungkin kalo disini saja,” selorohnya. Mulanya mau berbasa-basi, tapi niat itu saya urungkan. “Saya wartawan pak, mau menulis tentang terminal ini,” ujar saya kemudian. Tanpa saya tanya panjang lebar, ia kemudian mulai bercerita tentang kondisi dan sejarah mulanya terminal itu berdiri, “Saya orang paling lama di sini,” katanya. Saya tak percaya. Tetapi saya menjadi penasaran. “Maksudnya pak?” tanya saya. “Ya saya ini sejak terminal ini di bangun tahun 1976, saya sudah di sini,” ujarnya. “Saya dulu seorang sopir taksi, sebelum di sini saya dulu di lapangan banteng sana (Jakarta Pusat-red), dulu kan sana terminalnya,” ia mulai semangat bercerita. SURIP, 66 tahun, begitulah namanya dikenal di terminal itu. Nama aslinya Sumarno, asli Semarang Jawa Tengah. Boleh di bilang dia adalah premannya daerah situ. Orang-orang lama di terminal pasti tahu siapa dia. “Oh Surip yang enggak pakai sandal itu, tahu saya. Dia dah lama memang, sejak di lapangan banteng,” kata Maksum, seorang tukang ojek yang sudah puluhan tahun beroperasi di situ. Maksum sehari-hari di terminal, apalagi rumahnya hanya depan terminal. “Tapi bapak kenal?” “Iya sudah lama.” “Dia preman yang menguasai sini toh pak.” “Ya bukan, cuma sesepuhnya saja, semua orang tahu di sini.” “Dia suka mabuk-mabukan pak.” “Enggak sampai teler, ya ikut-ikutan temen saja,” ujar laki-laki asal Ampel, Boyolali Jawa Tengah itu. Selepas Sekolah Teknik Negeri atau setaraf Sekolah Menengah Pertama sekarang, Surip masuk Ibukota Jakarta, tahun 1963, ia pergi dari Semarang meninggalkan Ibu tirinya. “Saya minggat, mas,” katanya. Cuma berbekal pakaian dan celana pendek yang menempel di tubuhnya ia nekat ke Jakarta. Ia tidak betah hidup dengan ibu tirinya, yang ia anggap kejam. “Yang di film itu (maksudnya Film Ratapan Anak Tiri-red) wah lebih kejem saya mas,” ujarnya. Ia mengaku pernah disakiti ibunya dan masuk ke rumah sakit. Ibunya mengadukan ke ayahnya karena tak mau bekerja dengan baik. Waktu itu dia masih umur belasan. Dengan membayar uang kereta Rp 300, ia berangkat. “Pakai kereta grung itu loh, yang item, suaranya hush..hush.., yang ada asapnya,” jelasnya. Tiba di Jakarta, ia menggelandang di stasiun. Ia jalani hidup di Jakarta dengan apa adanya, selama tiga tahun, sampai 1966. Dari mengangkat barang-barang sampai mencopet. Kehidupan jalanan sudah menjadi hidupnya. “Ya pokoknya apa sajalah, buat makan,” jelasnya. Tahun itu, masa-masa setelah Gerakan 30 September, ia memutuskan untuk balik ke Semarang. Dari situlah, ia berkenalan dengan Rutminah, seorang anak tentara asal Purworejo, Jawa Tengah. “Purworejo?” tanya saya kaget. “Iya, dia anak tentara, dia di 412 (batalyon 412).” “Saya asli Purworejo, Pak.” Dia sedikit mengulum senyum. Kemudian, dia melanjutakan ceritanya yang kumpul kebo selama beberapa tahun dengan Rutminah. Karena beberapa hal, ia putuskan untuk berpisah. Ia kemudian menikah dengan Sunarsih, sampai sekarang. Ia mempunyai anak 10 orang, tapi telah meninggal 2 orang. SEORANG laki-laki besar, perut buncit, berjalan gontai dari arah halte busway. Dia membawa sebungkus plastik putih di tangan kanannya. “Dia tuh kawan saya,” Surip mengatakan kepada saya, sambil menunjuk laki-laki yang datang menuju kami. Laki-laki itu terus menatap kami. Tanpa basa-basi, ketika tiba di depan saya, dia berujar, “Wawancara apa nih, pers dari mana,” tanyanya dengan suara sedikit tinggi. Dia melihat kartu pers Waspada Online milik saya. Surip yang menjawab, “Ini kawan saya juga.” Ia membela saya. Saya kemudian mengutarakan maksud semuanya, dan ia pun melunak. “Ini namanya Yanto, dia kawan saya sejak dulu di sini,” jelas Surip kepada saya. Yanto adalah teman sekolah Sunarsih di Sekolah Rakyat. Ia menjadi menjadi teman selama menggelandang dan bertahan hidup di jalanan. “Ya lengbet, meleng sabet, (lengah sedikit, langsung diambil cepat-red),” cerita Yanto tentang kondisi saat menggelandang bersama. Istilah itu maksudnya ketika ada penumpang yang lengah bawa barang atau di dalam taksi, tak pikir panjang akan dicuri secepatnya. Keduanya menjadi sopir gelap beberap tahun sebelum akhirnya menjadi sopir resmi. Surip diterima menjadi sopir di Taksi Presiden. Ia menjalani sejak 1980-an hingga 1996-an. Kali itu, Yanto datang membawakan pakaian untuk ganti Surip. Ia sama sekali tak ada baju selain baju yang dekil bertuliskan marinir dan celana jeans biru belel. Ia mengaku pakaian itu diberi seseorang. “Kasihan dia mas, keluarganya tak mau perhatian, anak-anaknya juga,” kata Yanto. Kepala Surip sudah botak, uban sudah banyak, kakinya yang sempat terbakar waktu kecil, begitu menghitam, mirip orang terkena gula. Kuku-kuku di jari kaki dan tangannya hitam-hitam. Saya tak tega melihat dia. “Kalau bisa carikan saya kerja mas,” katanya pada saya. “Yang penting saya bisa untuk makan saja,” tambah dia. Saya lihat untuk berdiri kini sudah tidak kuat lagi. Ia sempat terhuyung untuk tegak. Kondisi itu berbeda dengan waktu mudanya, yang suka mabuk-mabukan. “Wah dia pemabuk berat,” kata Yanto. Surip hanya senyum saja. Dia mengungkapkan bagaimana bertahan hidup saat itu di terminal, harus memakai otot, alias bisa berkelahi. Kondisi Surip sudah renta. Ia juga berharap orang mau memberinya uang atau obat-obatan. Ia terkadang merasa agak sakit di punggung dan kepala. “Asam urat,” katanya. Tak heran ia bakal seperti itu, hidupnya hanya tidur dengan alas kardus bekas tempat jeruk, tiap harinya di terminal. Ia tak berani pulang ke rumahnya di Kampung Duri, Semanan RT 1/ RW 3 Kecamatan Semanan, Cengkareng. Rumah itu kontrakan tempat istrinya tinggal. “Kenapa tak pulang,” tanya saya. “Ya bisa berantem, kalau punya duit enggak,” katanya. Ia sudah lama tak pulang sekedar melakukan hubungan suami-istri. Hal seperti itu sudah lama tak ia rasakan, sejak tahun 2000. Yanto membenarkan hal itu. “Tapi terkadang kalau lihat cewek-cewek itu pengen juga. Tapi lebih enak sama istri, setrumnya lain,” dia tertawa, saya pun ikut tertawa. BAKUL es Cingcau datang melintas. Seorang laki-laki tiba-tiba datang, “Wah ini dari tadi diwawancarai, tapi enggak dikasih minum, itu loh ada es cingcau, atau kasih teh botol,” kata laki-laki itu sedikit sewot dengan saya yang tak berikan apa-apa. Sialan benar orang ini, batin saya. “Udah gak usah ikut campur kamu,” kata Surip kepada laki-laki itu. “Yaudah bang, tiga gelas sekalian sama bapak itu,” kata saya. Setelah beberapa menit laki-laki itu pergi, Surip bilang laki-laki itu hanya sopir bus. Dia kenal tapi tidak akrab, hanya Yanto sahabat paling akrabnya. Sambil minum es, Surip bercerita lagi tentang tatonya. Ada banyak tato yang ada di tubuhnya. Misalnya di lengan kanan bergambar ikan hiu, pisau komando tentara, dan tulisan life or ded. Sementara di lengan kiri ada gambar suku Indian: Apache, di dadanya juga ada lagi, tapi tidak diperlihatkan. “Ini salah tulisannya harusnya dead,” kata Surip menjelaskan tulisan tatonya Bagi Surip tato-tato itu penuh arti. “Dimana tempat tinggal ikan,” katanya pada saya. “Di air,” “Salah, ikan itu tidak punya tempat tinggal, sama seperti saya,” jelasnya, ia ketawa. Dan pisau komando, lanjut dia, membuat ikan hiu tertusuk dan akhirnya mempunyai tempat tinggal. “Kalau suku indian, tahunya Apache darimana.” “Suku indian kan suka mengembara,” Yanto giliran menjawab. Tapi dia suka itu karena dulu pernah nonton film. Umur sudah tak muda lagi, ia berharap agar ada yang memberinya bantuan. Pernah suatu kali ada seorang wanita mengatakan padanya, agar di panti jompo saja. Surip pun sewot, dia langsung berujar,”Meski sudah tua begini, saya masih bisa ‘ngadepin’ ( melakukan seks-red) ibu beberapa kali.” Ibu itu pun diam, mendengar jawaban itu. Hidupnya sudah puluhan tahun di jalanan, meski tak pernah sholat, ia mengakui Islam sebagai agamanya, meski Islam KTP. Ia masih suka berdoa, kalau ingat saja, menjelang tidur. “Saya masih percaya Tuhan-lah,” katanya. Tapi dia terus berjuang untuk terus menyambung hidup di jalanan, dia tak mungkin mengandalkan anak-anaknya. Anaknya-anaknya juga sama, tak pernah ada yang menjadi orang mampu. Sehari-hari, Surip di terminal kadang menjadi tukang parkir, dapat komisi dari membawakan barang, tapi sekarang tidak mencopet lagi. Sebelum saya pulang dia meminta mengirimkan pesan pendek ke handphone istrinya di rumah, “Bilang, Mamak sudah sembuh belum,” katanya. Istrinya, katanya sedang sakit. Ia masih mengaku cinta sama istrinya, tapi dia tidak bisa apa-apa karena tak ada uang. Cintanya, ia wujudkan dalam sebuah tato di punggung tangan kirinya bertuliskan, “S.Narsih”. Saya pun mengirim pesan dan terkirim. Dalam pesan itu, saya tulis nomor Yanto, bila ingin menghubungi kembali. Surip seperti sudah menggariskan hidupnya di jalanan, melalui tato-tatonya. Sepertinya dia sudah memahami bahwa dirinya akan terus hidup di jalanan, mati atau hidup, life or de(a)d, seperti tulisan di tatonya. Sebelum pulang saya memberinya uang Rp 14 ribu,”Ini untuk beli obat,” kata saya. “Terima kasih, saya mau beli sabun dulu di sana,” jawabnya. Ia mau mandi sepertinya ada janji dengan Yanto, entah ke mana.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline