Lihat ke Halaman Asli

Labib Syarief

Penulis Buku Pergilah ke dalam diri sendiri untuk mengenal Allah

Peluang China dalam Upaya Pencegahan Perang Nuklir antara Korea Utara dengan Amerika Serikat dan Sekutunya

Diperbarui: 6 Agustus 2024   22:11

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sumber Foto: Reuters

Pada 18 Juni 2024, Presiden Rusia, Vladimir Putin mengunjungi Pyongyang, Korea Utara (Korut) untuk bertemu pemimpin Korut, Kim Jong Un. Kunjungan ini menandai penguatan hubungan bilateral kedua negara, karena dilakukan pertama kalinya setelah 24 tahun, serta menghasilkan perjanjian kemitraan strategis komprehensif.

Perjanjian ini menyatakan komitmen untuk saling memberikan bantuan militer, sehingga Korut dan Rusia dapat saling mengirimkan bantuan militer secepatnya tanpa penundaan apabila negaranya diserang oleh negara lain (Purnama, 2024). Perjanjian tersebut dapat dinilai bentuk pakta pertahanan atau aliansi militer antara Rusia dan Korut.

Terkait perjanjian militer dua negara tersebut, China melalui juru bicara Menteri Luar Negeri China, Lin Jian, merespons bahwa kerja sama Rusia dan Korut adalah urusan antara dua negara berdaulat, China tidak ikut campur terkait hal itu (Bisnis, 2024).

China memang tidak memiliki masalah serius dengan Rusia. Tetapi Korut adalah sekutu tradisional China, Korut dan China telah memiliki perjanjian pertahanan sejak 1960-an dan China merupakan negara mitra dagang terbesar bagi Korut (Reuters, 2024). Maka pakta pertahanan antara Rusia dengan Korut merupakan ancaman tersirat bagi keamanan China dan ancaman stabilitas kawasan Asia Pasifik apabila terjadi perang terbuka, karena Korut memiliki 30 senjata nuklir (ICANW, 2024).

Sejak Kim Jon Un berkuasa pada tahun 2011 hingga 2023, Korut telah melakukan uji coba rudal sebanyak 220 kali dengan jangkauan rudal semakin menjauh, di antaranya rudal balistik antar benua (ICBM) (Arms Control Centers, 2023), adapun uji coba nuklir dilakukan pada tahun 2013, 2016 dan 2017 (CSIS, 2023).

Tindakan provokasi militer yang dilakukan oleh rezim Kim merupakan bentuk deterrence (upaya pertahanan) bagi Korut dari ancaman musuhnya yaitu Amerika Serikat (AS), serta sekutu terdekat AS di Asia Timur yaitu Jepang dan Korea Selatan. Apalagi AS memiliki 5.044 senjata nuklir dengan jumlah terbesar kedua di dunia setelah Rusia (ICANW, 2024).

AS juga sering melakukan latihan militer bersama dengan Korsel untuk mengancam keamanan Korut, latihan terbaru dilakukan pada Maret 2024 (Christiastuti, 2024), kemudian pada Juni 2024 latihan militer bersama antara militer AS, Korsel dan Jepang (AFP, 2024).

Berdasarkan fakta tersebut, sejatinya China khawatir akan pecahnya ancaman perang nuklir antara Korut yang dibantu Rusia dengan AS dan sekutunya di masa depan, ancaman ini sudah tentu membahayakan keamanan China. Mengingat hubungan bilateral China dengan Korut sangat dekat, maka China berpeluang menjadi aktor negara yang dapat melakukan upaya pencegahan perang antara Korut dengan AS serta sekutunya.

Kerangka Teoritis

Dalam menganalisis peluang China tersebut, digunakan konsep Rational Actor Models (RAM) dan kepentingan nasional. Menurut Alex Mintz, RAM adalah salah satu konsep kebijakan luar negeri dengan menekankan pilihan-pilihan rasional dalam mencapai kepentingan nasional yang bersifat obyektif (Mintz & Derouen, 2010).

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline