Lihat ke Halaman Asli

Labib Syarief

Penulis Buku Pergilah ke dalam diri sendiri untuk mengenal Allah

Kebijakan Luar dan Dalam Negeri Indonesia dalam Menghadapi Ancaman Kedaulatan Terkait Konflik Laut China Selatan

Diperbarui: 9 Mei 2024   11:40

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sumber Foto: Radio Free Asia

A. Latar Belakang Masalah

Laut China Selatan (LCS) adalah laut yang sangat strategis secara geopolitik dan terletak di wilayah Asia Tenggara yang berbatasan dengan China. LCS selain memiliki posisi yang penting sebagai jalur perdagangan internasional, juga memiliki sumber daya alam yang melimpah yaitu minyak dan gas bumi. Menurut Konferensi Perserikatan Bangsa-Bangsa dalam Perdagangan dan Pembangunan (UNCTAD), bahwa sepertiga perdagangan dunia melalui LCS (China Power, 2024). Bahkan International Monetary Fund (IMF) merilis data sejak tahun 2008 hingga tahun 2016, total kapal perdagangan komersial internasional yang melintasi LCS rata-rata mencapai 5,3 triliun dolar Amerika Serikat (AS) per tahun (China Power, 2024). Selain itu, Badan Informasi Energi AS menginformasikan bahwa jumlah gas alam sebesar 190 triliun kaki kubik dan 11 miliar barel minyak bumi di LCS (AMTI, 2024). Karena begitu strategisnya dan melimpahnya sumber daya alam di LCS, maka berdampak terjadinya konflik di LCS.

Konflik ini terjadi karena tumpang tindih perbatasan antara klaim teritorial China dengan klaim teritorial negara-negara anggota Association of Southeast Asian Nations (ASEAN) yang berbatasan langsung di LCS. Negara-negara tersebut yaitu Vietnam, Filipina, Malaysia dan Brunei Darussalam (CNN Indonesia, 2024). China mengklaim perairan di LCS dengan Nine-Dash Line berdasarkan pada sejarah China yang pertama kali ditunjukkan pada tahun 1947, sehingga ini juga menjadi justifikasi China atas klaimnya terhadap Kepulauan Spartly dan Paracel di LCS (Johannes, 2023).

Sedangkan negara-negara ASEAN yang bersengketa dengan klaim China di LCS memiliki klaimnya masing-masing. Brunei Darussalam mengklaim bahwa Louisa Reef, Owen Shoal dam Riflemen Bank adalah bagian dari Zona Ekonomi Ekslusif (ZEE) miliknya sejak merdeka dari Inggris pada tahun 1984 (Lowy Insitute, 2020). Malaysia pun mengklaim bahwa sebagian LCS dan 12 bagian dari rangkaian kepulauan Spartly adalah teritorialnya. Begitupun dengan Vietnam yang mengklaim bahwa teritorialnya di LCS yaitu sejumlah terumbu karang di kepulauan Spartly dan Paracel (CNN Indonesia, 2024). Selanjutnya Filipina yang juga mengklaim bahwa timur laut dari kepulauan Spartly, termasuk Pulau Kalayaan dan Scarborough Shoal adalah bagian wilayahnya (NBR, 2024).

Konflik LCS semakin rumit dan menegangkan dengan adanya keterlibatan AS. Meskipun AS bukan merupakan pihak yang bersengketa klaim teritorial di LCS, tapi kehadiran AS di LCS bertujuan untuk menjaga keamanan dan kepentingan nasionalnya. AS memberikan sinyal kepada China bahwa AS menjadi penyeimbang kekuatan di LCS, menguatkan kepemimpinannya secara global serta menjaga stabilitas kawasan Asia Tenggara. Di antara tindakan yang dilakukan AS di LCS adalah kerja sama militer dengan Filipina dan Vietnam, dengan kata lain AS mendukung sikap Vietnam dan Filipina yang berseteru dengan China di LCS (Darmawan dan Ndadari, 2017). Meskipun belum ada kontak fisik langsung antara militer AS dengan China, keberadaan AS dinilai menghambat negosiasi damai antara China dengan negara-negara ASEAN yang terlibat konflik di LCS (Darmawan & Ndadari, 2017).

Indonesia tidak termasuk negara yang berkonflik langsung di LCS, tetapi Indonesia merasakan dampak konflik LCS. Klaim Nine-Dash Line oleh China telah membuat terjadinya persinggungan dengan teritorial Indonesia di perairan utara Natuna yang masih dalam ZEE Indonesia yang merujuk pada Konvensi Hukum Laut PBB (UNCLOS 1982). Berdasarkan konvensi ini, selama masih dalam ZEE dan landas kontinen Indonesia, maka Indonesia memiliki hak hukum atas wilayah Natuna utara yang berupa pengelolaan hayati dan non hayati serta eksplorasi dan eksplotasi ekonomi (Paramita, 2020). Dengan demikian, adanya klaim China melalui Nine-Dash Line di LCS yang bersengketa dengan Vietnam, Filipina, Brunei Darussalam dan Malaysia, serta terjadi persinggungan Nine-Dash Line China dengan ZEE Indonesia di perairan Natuna Utara, maka kedua hal tersebut merupakan ancaman besar terhadap kedaulatan Indonesia dalam konflik LCS.

Ancaman tersebut berupa ancaman kedaulatan atas keamanan politik dan ekonomi Indonesia yang antara lain sebagai berikut:

1. Keamanan Politik

1.1. Masuknya kapal-kapal China ke perairan utara Natuna

Terjadi sejumlah insiden terkait masuknya kapal-kapal China, baik kapal nelayan maupun kapal penjaga pantai (coastguard). Pada 16 Maret 2016, Kapal penangkap ikan dari China KM Kway Fey dan kapal penjaga pantainya masuk ke ZEE Indonesia. Sehingga Menteri Luar Negeri Retno melayangkan protes ke China bahwa kapal-kapal tersebut telah melanggar kedaulatan Indonesia (Antara News, 2016; FK Hukum UI, 2016).

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline