Lihat ke Halaman Asli

Physically or What?

Diperbarui: 26 Juni 2015   20:17

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pemerintahan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

SUATU kali teman sekantor saya bertanya, “Siapa kira-kira yang kamu calonkan untuk presiden 2009?” Saya pun menjawab, belum ada dalam pikiran saya untuk memilih apalagi menjagokan suatu calon. Karena teman saya itu lumayan keras, teman saya satunya lagi ada yang mendengar dan menyahut, “Kalau aku sih masih SBY (Susilo Bambang Yudhoyono). Karena ganteng sih.”

Aku sedikit tertawa dalam hati. Tapi saya akui, memang ada benarnya juga teman saya yang terakhir itu. Apalagi dia itu seorang cewek. Melekat betul pada diri cewek, dia masih memilih dari faktor fisik. Selain SBY yang ‘aman-aman’ saja – lepas dari konteks dosa-dosa politik politik SBY – keberadaan SBY secara pribadi masih lekat sebagai calon yang diunggulkan. Calon incumbent (penjabat sebelumnya) – mesti tidak selalu – tapi masih dipercaya untuk memimpin kembali.

Faktor fisik. Begitulah, mau tak mau kita selalu memakainya dalam pergaulan sehari-hari. Bagaimana kita memutuskan berhubungan dengan si A, si B, atau si Z. Meski tak selalu, fisik begitu kuat pengaruhnya dalam memberi kontribusi bergaul. Orang cantik atau tampan bisa lebih cepat dapat teman atau mudah mendapat simpatik orang lain. Berbeda dengan orang yang bertampang buruk atau pas-pasan. Apalagi kemudian konsepsi warna kulit dipadukan juga. Orang yang berkulit putih tentu lebih terbuka peluang disukai daripada hitam atau cokelat yang terlihat luthuk (kumal).

Seorang public relation, tidak mungkin akan dipilih yang berkulit hitam, kecuali di negeri dataran Afrika. Kebanyakan dari perusahaan akan memilih wanita ‘cantik’ dengan kategori: putih atau minimal kuning langsat, tinggi, rambut panjang lurus atau pendek bergaya Bob, suara halus sedikit mendesah, berbadan sintal dan padat – tidak mungkin memakai wanita gendut, – bermata indah; bila perlu bulu matanya ditambah mascara biar terlihat lentik, berjalannya satu garis dengan lambaian mbalarak sempal (baca: gemulai) dan lain-lain.

Berkaca pada teori semacam itu, dalam konsepsi pikiran orang kebanyakan, persoalan penampilan dianggap segala-galanya. Saya pun jadi teringat pada sebuah cerita novel teenlit berjudul Belle Prater’s Boy karya Ruth White. Buku tersebut telah diterbitkan dalam Bahasa Indonesia oleh Penerbit Kaifa dengan judul Rahasia Embusan Angin.

Melalui tokoh Amos Leemaster, ayah Gypsy, Ruth menjewer kuping kita, bahwa seolah-olah kita ini terlalu sempurna. Amos yang tergila-gila akan kesempurnaan penampilan rela menembak dirinya sendiri. Dia selalu dihantui pikiran yang tidak-tidak mengenai wajahnya yang hangus terbakar. Padahal, istrinya diceritakan dalam novel tersebut adalah wanita tercantik di Coal Station. Apa yang hendak dicari oleh Amos?

“…Sayang sekali, Ayah mementingkan penampilan secara berlebihan”, Mama mendesah. “Karena itulah ia terpukul sekali oleh cacat bekas luka itu.” (lihat hal. 174)

Apa yang diputuskan Amos adalah suatu keputusan yang terlalu picik. Dirinya sudah terkotak dalam dunia kesempitan. Adanya ketakutan kalau-kalau dalam jiwanya. “Kadang-kadang Tuhan memberi yang kita anggap buruk, padahal itulah yang baik untuk kita. Kadang-kadang Tuhan memberi yang menurut anggapan kita baik, ternyata itulah yang buruk untuk kita,” begitulah meminjam suatu ajaran yang terkandung dalam Agama Islam.

Seharusnya Amos tak perlu membunuh dirinya sendiri. Meski ia telah kehilangan wajahnya yang tampan, ia pasti masih mempunyai kelebihan-kelebihan lain yang mungkin tak tampak oleh mata. Manusia tercipta bukan karena ganteng saja, bukan?

“…Penampilan cuma itu, Gypsy — cuma penampilan, bukan diri yang sesungguhnya. Waktu itu aku masih mengajar di sekolah, aku perhatikan bahwa gadis dan pemuda yang paling cantik dan tampan bisa sejahat ular berbisa. Anak-anak yang buruk rupa bisa berhati mulia. Tapi bukan berarti tidak mungkin mereka yang rupawan berhati baik. Bisa juga seperti ibumu. Juga, tidak mustahil mereka yang buruk rupa, berbuat jahat. Ini bisa juga. Tapi, cuma isi hatilah yang benar-benar penting.” (lihat hal. 122).

Ruth juga ingin menampilkan pada pembaca untuk menjadi diri sendiri, tak perlu menjadi orang lain.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline