[caption id="attachment_315869" align="aligncenter" width="606" caption="youtube.com"][/caption]
JUMAT lalu, banyak orang terperangah kaget ketika dari Lenteng Agung Kantor Pusat DPP PDIP, surat mandat penunjukan Joko Widodo sebagai calon presiden dengan ditulis tangan oleh Megawati Soekarno Puteri diumumkan ke publik. Dari rumah Pitung di Marunda, dengan mencium bendera merah putih Joko Widodo menyambut mandat itu dengan berkata: “Siap menjalankannya”.
Segera kemudian berita itu cepat menyebar, disambut dengan berbagai macam reaksi. Dari pasar uang di Bursa Efek Indonesia mata uang negara ini bergerak menaik beberapa poin, memukul dolar dan membawa rupiah sedikit naik menguat. Grasa grusu kemudian naik pula menguat, konstelasi politik nasional berubah cepat. Jokowi dan PDIP usai pengumuman mandat pencapresan Jokowi itu telah disasar sebagai objek tohokan oleh berbagai rival politiknya.
Langkah politis taktis Megawati Soekarno Puteri itu memang menyentak baik kawan maupun lawan politiknya. Dengan itu, ia tegas melihatkan diri tidak saja hanya sebagai anak biologis Soekarno tetapi juga anaknya secara ideologis. Ia berbesar hati dan berjiwa besar. Pesan dari yang dilakukannya itu adalah juga deklarasi bagi dirinya sendiri untuk tidak lagi larut dalam euphoria kontestasi kekuasaan yang telah selama hampir dua dasawarsa digelutinya
Megawati Soekarno Puteri mengikut patuh pada paham ideologis Soekarno yang melihat rakyat seluruhnya dan kepentingan bangsa sebagai hal paling fundamental, utama, dan penting di atas segalanya. Ia menempatkan kekuasaan tidak sebagai hal yang pragmatis hanya direngkuh untuk dimonopoli dalam diri sendiri dan keluarga saja, melainkan nasib kebaikan bangsa itu, kesejahteraannya untuk dinikmati seluruhnya rakyat Indonesia, dan baginya, Jokowi telah saatnya dan paling tepat mengemban amanahnya itu.
Dan lihatlah Jokowi, begitu ia sangat polos sederhananya. Banyak yang menyebutnya sebagai serakah jabatan. Padahal jabatan-jabatannya itu tidak datang atas maunya sendiri. Ia hanyalah seorang yang loyal setia pada pemimpinnya. Dan pula penting dicatat, selama dalam menjabat itu ia tak memakai jabatannya itu untuk mengambil yang bukan hak nya, bahkan malah yang seharusnya menjadi haknya diberikannya pula ke rakyatnya. Dalam posisinya yang elitis itu ia terus dan tetap tampil sederhana dengan merakyat.
Lihatlah Jokowi, begitu ia seorang yang bekerja dengan kesungguhan yang total.Ia datangi warganya bahkan sampai di pelosok terkumuh, bergumul ia dengan mereka di sana. Dari kerja blusukannya itu ia merasai sengsaranya rakyatnya, dalam keserasaan itu ia merumus solusi. Dan di jaman ini sangat jarang mendapati pemimpin dan politisi yang mau ikut turut merasai susah derita rakyatnya seperti itu. Banyak politisi bangsa ini jauh dari bisa disebut sederhana, bahkan yang berbaju agama sekalipun. Banyak dari mereka hidup hedonis dan amat mudah mengumbar kemewahan duniawi.
***
BAHKAN hingga kini, banyak orang dari kaum tradisonal Jawa meyakini kebenaran cerita moyang leluhur mereka dulu-dulu mengenai akan datangnya seorang pemimpin yang mengemongi dan mengayomi. Menurut cerita itu Raden Jayabaya dari kerajaan Kadiri pernah menulis dalam kitab yang dinamainya Musasar mengenai sosok pemimpin yang bisa membawa negeri di kemakmuran. Sebagian isi dari tulisannya itu saya kutipkan:
“Pada suatu masa nanti, bekas kerajaan Majapahit akan lebih adil dan makmur apabila dipimpin oleh anak yang lahir di dekat gunung Lawu, rumahnya pinggir sungai, masa kecilnya susah tukang cari kayu, badannya kurus seperti Kresna, wataknya keras kepala seperti Baladewa, kalau memakai baju tidak pantas, ada tahi lalat di pipi kanannya, dan mempunyai pasukan yang tidak kelihatan”
Ketika pada kawan yang seorang Jawa saya menanyai kebenaran adanya cerita ini, ia mengangguk sebagai katanya benar ada, bahkanpula meyakini kebenaran bakal datangnya. Dan keyakinan kultural seperti ini terus hidup dalam ingatan kolektif mereka hingga kini. Apa yang ditulis Jayabaya itu sangat dekat dengan ciri seorang Jokowi, maka ketika kabar pencapresan Jokowi saya sampaikan ke sahabat yang Jawa itu, ia hanya menimpali: “Jokowi Nyapres? Aku Rapopo” malah senang.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H