Lihat ke Halaman Asli

LA2KP

Lembaga Analisis dan Advokasi Kebijakan Publik UIN Sunan Gunung Djati Bandung

Indonesia Memiliki Tingkat Kesejahteraan yang Rendah Hingga Ribuan Anak Pindah Kewarganegaraan

Diperbarui: 9 September 2023   20:30

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Penulis : Fitriani, Mahasiswi Administrasi Publik FISIP UIN Sunan Gunung Djati Bandung

Untuk mendapatkan taraf hidup yang lebih sejahtera, masyarakat Indonesia di usia produktif rela pindah kewarganegaraan. Hal tersebut seolah memberi arti bahwa negara Indonesia tidak layak untuk ditinggali. Nampaknya dari  tahun ke tahun menurut data Depsos pemerintah tidak berhasil menekan secara signifikan angka-angka anak jalanan yang tidak pernah kurang dari sekitar 200.000 orang dan anak terlantar sebanyak 5,4 juta, padahal dari segi instrument regulasi yang ada di Indonesia sudah cukup memadai untuk melindungi bahkan menjamin kesejahteraan masyarakat Indonesia.
Negara Indonesia sebagai negara berkembang yang memiliki sejuta keistimewaan dengan  keanekaragaman hayati, budaya, bahasa, bahkan memiliki sejarah yang unik dan banyak diakui oleh negara lain. Namun justru masih dinilai tidak layak untuk ditinggali oleh penduduknya sendiri. Bahkan dengan sistem demokrasi yang kuat nampaknya masih menimbulkan banyak polemik yang terjadi karena taraf hidup yang tidak layak diterima oleh masyarakat Indonesia, terutama di kalangan anak muda yang memiliki banyak harapan untuk kemajuan di negaranya.  
Saat ini di Indonesia sedang diramaikan dengan isu hampir 4.000 anak muda yang pindah kewarganegaraan menjadi warga negara Singapura. Data tersebut disampaikan oleh Direktur Jenderal Imigrasi yang telah terjadi sejak tahun 2019 hingga 2023. Terdapat beberapa alasan mengapa anak muda di usia produktif pindah ke negara Singapura, salah satunya karena tingkat hidup yang lebih sejahtera karena ruang lingkup perekonomian yang lebih kuat dan stabilitas politik yang tinggi. Mungkin pindahnya kewarganegaraan untuk taraf hidup yang lebih baik sah-sah saja selama dilakukan secara legal sesuai dengan aturan yang berlaku.
Sebagai negara maju, Singapura dikenal menjadi salah satu pusat perdagangan terkemuka di dunia, meskipun wilayah yang dimilikinya sangat kecil tapi justru memiliki pendapatan perkapita yang tinggi dan pertumbuhan ekonomi yang stabil. Menurut Trading Economics, upah minimal Singapura mencapai S$7.021 atau sekitar 79 Juta perbulan atau 16 kali lipat dari UMP  Jakarta yang hanya Rp. 4,9 Juta per bulan. Selain itu, Indonesia juga memiliki tantangan insfrastruktur, ketimpangan regional dan birokrasi yang nampaknya masih menjadi pembatas dalam mencapai pertumbuhan ekonomi yang optimal, meskipun memiliki potensi sumber daya alam yang melimpah.

Seharusnya hal tersebut menjadi sebuah ancaman bagi pemerintah, karena angka pemindahan kewarganegaraan yang terus meningkat setiap tahunnya.  Sebanyak 4.000 anak muda bukanlah jumlah yang sedikit, Indonesia kehilangan sumber daya manusia berpotensi yang nantinya akan berdampak pada hilangnya peluang pembangunan diberbagai sektor, karena anak muda dianggap sebagai agen perubahan yang membawa potensi bahkan semangat baru dalam masyarakat dan memiliki pemikiran progresif yang dapat membantu mengatasi tantangan di zaman yang semakin maju. Hal tersebut dibuktikkan dengan banyaknya  gerakan sosial, aktivisme bahkan advokasi yang telah dilakukan oleh anak muda di Indonesia yang tak jarang hal tersebut menjadi tonggak perubahan.
Agar angka pemindahan kewarganegaraan tidak terus meningkat, Indonesia harus menjadi wilayah yang layak yang dapat memenuhi harapan warganya melalui berbagai program  yang melibatkan anak muda tanpa memandang etnis, agama, geografi bahkan status sipil. Dalam mewujudkan hal tersebut sangat bergantung pada sensitifitas Bupati/Walikota karena pada era otonomi daerah ini yang memiliki wilayah dan rakyat adalah Bupati/Walikota. Maka sensitifitas dan responsibilitasnya sangat menentukan implementasi penyelenggaraan program-program yang dicanangkan.

Sumber :
"Decentralization, Governance, and Public Services in Indonesia" oleh Paul Smoke dan Sodikin (Policy Research Working Paper, The World Bank, 2004).
"Poverty Reduction during 1999-2002: Indonesia's Experience with Pro-Poor Growth" oleh Anne Booth (Bulletin of Indonesian Economic Studies, 2004).
http://www.kemensos.go.id/
http://www.data.go.id/
http://www.bps.go.id/




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline