Lihat ke Halaman Asli

LA2KP

Lembaga Analisis dan Advokasi Kebijakan Publik UIN Sunan Gunung Djati Bandung

Pemberlakuan QRIS Berbayar 0.3%, Apakah Berdampak Baik atau Buruk bagi Pelaku Usaha Mikro?

Diperbarui: 20 Juli 2023   20:25

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Birokrasi. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/GARRY LOTULUNG

Penggunaan teknologi dalam sistem pembayaran telah berkembang pesat dalam beberapa tahun terakhir. Salah satu inovasi yang signifikan adalah Quick Response Code Indonesian Standard (QRIS) yang diperkenalkan oleh Bank Indonesia (BI). QRIS adalah sebuah sistem pembayaran yang memungkinkan transaksi keuangan menggunakan kode QR, memudahkan pelaku usaha dan konsumen untuk melakukan pembayaran dengan cepat, aman, dan efisien. Pada awalnya, pemerintah menerapkan QRIS dengan tujuan untuk meningkatkan inklusi keuangan dan mendorong adopsi transaksi non-tunai di berbagai sektor usaha, termasuk di kalangan pelaku usaha mikro. 

QRIS memberikan berbagai keuntungan, seperti mengurangi penggunaan uang tunai, efisiensi transaksi, serta kemudahan dan keamanan bagi konsumen dalam melakukan pembayaran. Namun, pada suatu waktu, pemerintah memutuskan untuk memberlakukan kebijakan yang menimbulkan kontroversi, yaitu memberlakukan biaya sebesar 0,3% untuk setiap transaksi menggunakan QRIS bagi pelaku usaha mikro. Kebijakan ini bertujuan untuk mencari sumber pendapatan tambahan bagi negara dan juga untuk meningkatkan pendapatan sektor perbankan yang terlibat dalam pengolahan transaksi QRIS. 

Berikut adalah beberapa alasan yang mungkin menjadi latar belakang isu kebijakan pemerintah ini: 

1. Peningkatan Pendapatan Negara: Pemerintah mungkin menghadapi tekanan dalam mencari pendapatan tambahan untuk membiayai berbagai program dan proyek pembangunan. Dengan menerapkan biaya 0,3% pada setiap transaksi QRIS, pemerintah berharap dapat mengumpulkan pendapatan tambahan dari sektor usaha mikro yang jumlahnya cukup besar. 

2. Mengurangi Beban Subsidi: Pemerintah dapat menganggap bahwa pemberian subsidi untuk sektor keuangan dalam mendukung transaksi QRIS tidak lagi efisien atau berkelanjutan. Dengan menerapkan biaya, pemerintah berharap sektor perbankan dapat mendapatkan pendapatan sendiri dan mengurangi ketergantungan pada subsidi pemerintah. 

3. Mendorong Adopsi Sistem Pembayaran Alternatif: Dengan membebankan biaya pada transaksi QRIS, pemerintah dapat berharap bahwa sektor usaha mikro akan beralih menggunakan sistem pembayaran alternatif yang mungkin memiliki biaya lebih rendah. Namun, hal ini dapat menimbulkan kekhawatiran terkait aksesibilitas dan kesetaraan bagi pelaku usaha mikro. 

4. Pengembangan Infrastruktur Keuangan: Pemerintah mungkin ingin mengalokasikan pendapatan dari biaya QRIS ini untuk pengembangan infrastruktur keuangan yang lebih baik, seperti dukungan teknologi dan fasilitas pembayaran yang lebih luas, terutama di daerah yang kurang berkembang. 

Namun, kebijakan ini juga menimbulkan sejumlah kritik dan tantangan, seperti: 

1. Beban Finansial bagi Pelaku Usaha Mikro: Sebagai sektor yang rentan secara ekonomi, pengenaan biaya 0,3% pada setiap transaksi QRIS dapat memberatkan pelaku usaha mikro. Hal ini dapat mengurangi keuntungan mereka dan menghambat pertumbuhan usaha. 

2. Potensi Penurunan Adopsi Transaksi Non-Tunai: Kebijakan biaya ini dapat mengurangi insentif bagi pelaku usaha mikro untuk menggunakan QRIS, yang pada gilirannya dapat menghambat pertumbuhan adopsi transaksi non-tunai di kalangan sektor usaha tersebut. 

3. Aksesibilitas Layanan Keuangan: Jika sektor usaha mikro enggan atau tidak mampu menggunakan QRIS karena biaya, hal ini dapat membatasi akses mereka terhadap layanan keuangan modern dan memajukan inklusi keuangan di tingkat mikro. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline