Lihat ke Halaman Asli

Keakraban Jiwa Menentukan Keharmonisan Ortu & Anak

Diperbarui: 25 Juni 2015   20:01

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

1328457061824230947

Banyak pendapat mengatakan, jika belum memiliki dan merawat seorang anak, kita belum sepenuhnya tahu bagaimana rasanya menjadi orang tua. Kalimat bijaksana mengatakan “Orang tua pernah mengalami menjadi kanak-kanak, tetapi anak belum pernah mengalami menjadi orang tua”. Makna yang terkandung dalam kalimat ini adalah, bahwa sesungguhnya, seorang anak kalah pengalaman hidup dengan orang tuanya. Sebab anak belum pernah menjadi orang tua, sedangkan orang tua pernah menjadi kanak-kanak.

Siklus hidup manusia dari pertemuan dua sel orang tua kita, kemudian terlahir sebagai bayi, bertumbuh menjadi dewasa yang akhirnya menjadi tua yang pada akhirnya sampai pada kematian. Seperjalanan siklus ini, kita berinteraksi dengan banyak orang dan melihat banyakgaya hidup, yang pada akhirnya memengaruhi pertumbuhan karakter jiwa seseorang.

Jika kita menyadari setiap manusia akan mengalami hal yang berulang, seperti saat ini dia menjadi anak, suatu ketika dia menjadi orang tua. Sehingga ketika kita diam di posisi tertentu, kita mencoba memahami seandainya kita diam di posisi sebaliknya. Berdasarkan hal ini, dalam Seminar-seminar yang saya gelar ada keharusan untuk menuliskan kesan dan pesan dengan berandai-andai,hal ini sangat bagus dilatih dan diterapkan dalam interaksi kehidupan, Mari kita berlatih dengan jiwa kita sendiri, dengan menjawab hal dibawah ini:

1)Seandainya saat ini, saya di posisi seorang anak, apa yang diharapkan dari orang tua saya.

2)Seandainya saat ini, saya di posisi orang tua, apa yang diharapkan dari anak saya

3)Seandainya saat ini, saya di posisi seorang suami, apa yang diharapkan dari istri saya

4)Seandainya saat ini, saya di posisi seorang istri, apa yang diharapkan dari suami saya.

Dengan berlatih memposisikan diri kita ditempat orang lain, kita akan lebih memahami kondisi dan keinginan orang yang berinteraksi dengan kita. Keadaan menjadi sulit karena jiwa kita menerapkan standar ganda, ada banyak toleransi yang diminta untuk kita, sementara untuk orang lain, segala hal menjadi wajib dilaksanakan!

[caption id="attachment_159258" align="aligncenter" width="300" caption="ilustrasi by google"] [/caption]

Mari kita membahas tentang hubungan jiwa orang tua dan anak, seandainya kita saat ini sebagai anak, bagaimana perlakuan kita pada orang tua? Saya pernah menjenguk seorang lansia di sebuah Panti Werda, dengan suara parau dia selalu bergumam, “aku seorang ibu, mampu merawat delapan orang anakku, tetapi sekarang delapan orang anakku tidak mampu merawat seorang ibunya” Tidak berasa air mata saya mengalir mendengar gumaman ibu tua ini, terbayang saya pun, suatu hari akan menjadi seorang lansia, apakah saya harus bergantung nasib pada anak-anak, ketika tubuh ini renta tidak berdaya lagi?

Pola asuh dan rasa kedekatan serta keterikatan anak dengan orang tua di Indonesia, tentu berbeda dengan anak-anak dan orang tua di negara lain. Contohnya di Belanda, pemerintahnya memberikan uang asuh berupa dana yang dikirimkan pada orang tua untuk merawat anak mereka sendiri, dan dana tersebut memenuhi kebutuhan seorang bayi sampai usia remaja. Jika ada orang tua yang lalai merawat anaknya, pemerintah ambil tindakan hukum, sebab mereka punya hak. Dengan demikian anakpun setelah dewasa, merasa perawatan orang tuanya memang sebuah kewajiban sebab mereka dibayar pemerintah. Sedangkan di negara kita nasib anak-anak sangat tergantung dari kasih sayang dan pemeliharaan orang tuanya. Negara kita belum punya program untuk mengganti seluruh kebutuhan dan membayar tenaga orang tua untuk merawat anaknya sendiri. Sehingga orang tualah yang berjuang membiayai dan merawat anak-anak dengan kerelaan hatinya, tanpa pamrih.

Dengan sistem perawatan anak yang merupakan perjuangan dari orang tua, sewajarnya anak menghormati jerih payah orang tuanya, dan mampu membalasnya ketika orang tuanya masuk dalam usia lanjut, kasih sayang anak sangat dibutuhkan, ketika tubuhnya rapuh dimakan usia.

Banyak kisah memilukan dari hubungan antara anak dan orang tua ini. Kita tentu banyak membaca berita, bagaimana sesosok bayi dibuang oleh orang tua yang melahirkannya, ada yang berakhir sebagai penghuni Panti Asuhan, ada yang bernasib sebagai jenazah. Disinilah anak sewajibnya bersyukur jika hidup dalam perawatan dan limpahan kasih sayang dari orang tua. Banyak kisah sedih ketika orang tua yang sudah jompo, sering kita dengar bagaimana anak menelantarkan orang tuanya, beberapa pengemis dan gembel terlunta-lunta berusia lanjut merupakan potret dari kisah ini.

Indonesia punya kisah legenda tentang hubungan orang tua dan anak ini, yaitu cerita Malin Kundang yang terkenal, dimana anak dari orang tua miskin memungkiri ibu kandungnya sendiri, hanya karena dia sudah sukses, sudah menjadi orang kaya. Seorang ibu yang hatinya terluka mengutuknya menjadi sebuah patung batu.! Itu kisah legenda, bagaimana dengan kisah-kisah nyata yang ada sekarang?

Lee Kuan Yew Perdana Menteri Singapurayang terkenal sangat menyayangi orang tuanya, beliau mengeluarkan surat perintah resmi pada jaman pemerintahannya, Dekrit tersebut yang isinya“Melarang orang tua mewariskan hartanya pada anak-anaknya, ketika mereka masih hidup”. Hal ini berawal dari sebuah kisah nyata, dimana seorang anak dan menantu secara tega mengusir ayahnya seorang pengusaha kaya yang sudah pensiun, orang tua itu diusir dari rumah miliknya yang telah diwariskan haknya pada sang anak tunggalnya. Sejak saat itu negara Singapura seolah memperlihatkan pada dunia, betapa mereka menghargai para lansia, sehingga lapangan pekerjaanpun dibuka luas untuk mereka semampu tenaga dan keterampilan yang dimilikinya.

Dalam Alkitab, tercatat Epesus 2:1 mengatakan “Hormatilah ibu bapakmu, karena itulah yang benar didalam Tuhan”. Pepatah Tiongkok percaya bahwa “berbakti pada ayah, memberi limpahan harta, berbakti pada ibu memberi limpahan kebahagiaan”, jika ingin hidup berlimpah harta dan kebahagiaan, sayangilah kedua orang tuamu, sebab ayahlah pemberi benih kehidupan dan ibulah yang menumbuhkan dirimu dalam rahimnya.

Kisah Wita yang menghebohkan

Beberapa hari ini media cetak maupun elektronik, ramai memberitakan seorang remaja putri Ruspita Sari Siahaan, (13) alias Vita, bintang iklan cilik yang kabur dari rumah pada 9 Januari 2012, lalu, mengundang rasa penasaran Ketua Komisi Nasional (Komnas) Perlindungan Anak Arist Merdeka Sirait untuk mengetahui duduk masalah yang tengah dihadapinya. Arist kemudian mendatangi kediaman orangtua Ruspita di kawasan Jalan Mangga, Cipayung, Jakarta Timur. Di rumah itu, ia bertemu Lily, (50), ibunda Ruspita. Mereka lantas bercakap-cakap mengenai kehidupan keluarga tersebut, terutama tentang Ruspita. (dikutip dari Tribun Medan.com)

Media memberitakan, menurut penuturan Vita, dia sering disuruh bekerja keras oleh ibunya, sehingga tidak nyaman tinggal bersamanya, lebih nyaman tinggal dengan orang yang dia anggap ibu angkatnya. Tentang ‘relasi problem’ antara anak dan orang tua memang banyak terjadi, terutama jika anak mulai beranjak remaja.

Khusus untuk kasus Vita ini, kita tidak bisa sepenuhnya percaya atas apa yang dituturkannya pada media, karena anak ini sudah mulai mengenal dunia ‘uang’ dan popularitas. Dia bukan lagi anak lugu yang biasa. Mungkin sudah saatnya Komnas Pelindungan Anak memberikan rambu-rambu pada anak-anak yang bekerja sebagai artis dan aktor cilik, dimana pertumbuhan jiwa mereka yang masih labil akan menjadi masalah dikemudian hari. Sudah saatnya ada peraturan tentang keaktifan anak-anak yang berkecimpung dalam dunia hiburan ini.

Kualitas pertemuan menentukan

Pada jaman sekarang dimana teknologi komunikasi semakin canggih, sehingga hubungan semakin dimudahkan, Anehnya hal negatiflah yang terjadi dengan kemudahannya ini. Padahal jika kita membina hubungan harmonis secara kejiwaan, jarak bukan lagi penghalang untuk menjalin tali kasih sayang satu dengan lainnya. Keintiman jiwa bukan karena seringnya bertemu, tetapi kualitas pertemuan itulah yang menentukan.

Masa remaja, menjadi rawan jika hubungan jiwa antara anak dan orang tua tidak bagus. Pada masa inilah yang disebut orang sebagai “Pencarian Jati Diri” Remaja mulai ‘Show Off’,  ingin menunjukan kepada dunia kalau dirinya ‘Ada’. Hal ini bisa berakibat fatal,  apabila para orang tua kurang mendekatkan diri dengan anaknya. Inilah yang sering kita sebut sebagai ‘Anak  Kurang Perhatian’.  Mereka biasanya akan  mencari perhatian diluar rumah. Pada usia ini, mereka biasanya akan  mencari perhatian, mereka akan mulai mencoba “Dunia baru” yang bisa  mereka jajaki dan mereka anggap hebat.

1328456901327629492

ilustrasi foto by google

Sayangnya banyak orang tua merasa dirinya sebagai penguasa, bukan sebagai sahabat dari anak-anaknya, sikap berkuasa ditunjukkan dengan mendikte dan menetapkan apa yang dia inginkan, termasuk sekolah dan jurusan yang diambil anaknya, sering orang tua tidak perduli dengan permohonan anaknya untuk didengar pendapat dan keinginannya. Hal inilah yang menjauhkan jiwa anak dengan orang tuanyanya sendiri. Jika terdapat beberapa anak terlihat menurut, tetapi jiwanya merana sehingga menjadi frustasi, kemudian berlanjut dengan depresi, pergaulanlah tempat dia melebur kesedihan dan frustasinya. Tidak jarang mereka salah memilih teman bergaul, sehingga terjerumus pada narkoba dan seks bebas.

Banyak anak yang terlihat ‘manis’ di rumah, ketika di luar rumah menjadi binal seperti kuda lepas dari kandang. Lebih baik menjadi teman anak dan bersedia tabah mendengar dan melihat hal-hal yang kita tidak suka, tetapi kita tahu dan mampu memilah, mana yang diberi toleransi mana yang kita katakan, tidak!. Daripada kita hanya melihat hal yang baik dan menyenangkan, padahal kita dibohongi.

Orang tua adalah ‘Roll Mode’ dari anak-anaknya, maka ketika orang tua melarang anaknya merokok, hal tersebut tidak akan efektif jika larangan keluar dari mulut yang menyemburkan asap rokok, demikian juga dengan halnya membaca. Tidak mungkin anak kita menjadi hobi membaca, ketika kita orang tuanya sendiri tidak pernah membeli buku bermutu, apalagi membacanya.

Pola didik kita di Indonesia berbeda dengan negara barat, dimana anak didik menjadi dewasa secara kejiwaan termasuk berani mengambil keputusan dan bertanggung jawab atas apa yang dia kerjakan, sehingga tidak heran anak-anak disana berani berdebat dan berargumen dalam kontek sehat, sementara pola asuh kita hanya mendikte, mengatur, memerintah, menghukum dan bahkan menakuti-nakuti. Yang lebih fatal lagi, selalu memandang seorang anak, tetap sebagai kanak-kanak walaupun dia sudah berusia dewasa, sehingga ketika mereka berumah tanggapun, orang tua banyak yang masih ikut campur mengatur dan membantu banyak hal.

Sudah saatnya orang tua menjadi teman terpercaya anak-anaknya, bukan lagi sosok yang ditakuti. Suatu hal yang miris, jika anak mendapat masalah diluar rumah, mereka ketakutan untuk mengadu dan mencari solusi bersama orang tuanya.

13284571831322913314

artikel ini tayang edisi cetak koran Suara Pembaruan 5 Febuari 2012

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline