Lihat ke Halaman Asli

Pemulung Tua

Diperbarui: 24 Juni 2015   06:06

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Angin malam yang dingin berhembus melawan arus putaran roda motorku. Dinginnya dapat kurasakan hingga menembus rusukku. Sambil mengendarai motorku kuseruput sedikit demi sedikit cairan obat herbal anti masuk angin yang menempel di bibirku. Aku pantang sakit mamen! Ujarku dalam hati menyemangati diri sendiri. Malam ini pukul setengah sebelas dan jalanan sudah mulai sepi. Tubuhku sejak pagi sudah mulai meriang disko entah lantaran kondisi yang kurang fit atau sugesti sakit yang terlampau kuat.

Malam itu aku baru pulang dari tempat kerja baruku. Awalnya bapak, mama, dan orang terdekatku sangat menentang keputusanku itu. Tugas kuliah dan laboratorium yang terlampau banyak membuat mereka meragukan kesehatan dan kemampuanku untuk menjalani semuanya. Kontrak telah diuraikan. Aku akan tetap bekerja asalkan aku mampu membalancekan semuanya. Kini kesehatanku kelihatannya menurun.Tapi, bila keluhan keluar dari mulutku maka tamatlah sudah. Sepintas pikiranku melayang. Teringat pertemuanku dengan seorang lelaki beberapa minggu lalu.

Motorku kembali melaju di jalanan yang sepi. Pandanganku yang lurus dan fokus teralihkan oleh sepasang kaki telanjang yang berjalan gopoh di pinggir jalan. Tubuhnya pendek, pakaiannya lusuh. Sosok lelaki itu tua dan kumal. Tangannya menggendong sebuah karung penuh plastik minuman bekas. Ya, beliau pemulung. Kepalaku kembali ke keadaan awal seiring berlalunya motorku melewatinya. Aku masih berpikir, kemana dia akan berlalu?

Dua hari kemudian aku kembali masuk bekerja. Hari kerjaku memang berselang dua hari. Dan malamini pada pukul yang sama seperti dua hari yang lalu aku kembali menemukan pemulung itu. Kali ini ia tidak berjalan. Ia duduk di pinggir jalan. Oh, jadi di situ tempatnya istirahat? Motorku tetap melaju. Pikiranku teralihkan dengan formula yang harus kubuat malam itu.

Dua hari selanjutnya, di waktu yang hampir sama dengan dua hari dan empat hari yang lalu, mataku kembali teralihkan.Pemulung itu tidak sedang duduk. Dia berbaring. Dia berbaring di lantai bersemen dingin milik pemilik rumah pinggir jalan. Motorku terhenti di depan tubuhnya yang meringkuk. Celananya pendek dan bajunya tipis. Tampaknya kain kualitas terburuk. Aku tahu itu karena beberapa waktu lalu aku sempat bekerja menjual kaos. Pasti dingin. “Pak! Pak!” panggilku kepada sang pemulung. Lelaki tua itu terbangun lebih tepatnya terkejut. Ups. Butuh beberapa detik untuk akhirnya lelaki itu dapat berdiri sempurna. Harusnya aku saja yang menghampirinya.

Lelaki itu tersenyum menghampiriku dan menawarkan tangannya. Tampak seperti orang yang ingin berjabat tangan. Kusambut tangannya. Dan lelaki itu kembali ke tempatnya tadi berbaring. Aku termangu. Apa maksudnya tadi? Apa hanya ingin salaman? Aku kembali teringat tujuan utama motorku berhenti. Aku membawa kantongan berisi Tahu Tek. Pemilik apotek tempatku bekerja membelikannya untukku. Namun, tak sempat kumakan. Kantong itu kemudian kuberikan pada lelaki tua tadi. Ia tersenyum sumringah. Sangat hangat. Hingga malam itu sama sekali tak kurasakan dinginnya malam.

Hari berlalu bulan. Kadang aku bertemu dengan pemulung itu. Namun, kadang pula tidak. Suatu hari sepulang kerja aku berpikir tidak akan mungkin si bapak pemulung duduk di tempat yang sama. Malam itu hujan. Cukup deras. Hingga jas hujan yang kugunakan tidak cukup menahan embun dingin menembus bajuku. Motorku melewati tempat si bapak pemulung. Benar, ia tidak di sana. Pasti saat ini ia sedang berteduh di suatu tempat. Tapi, di mana? Muncul kegundahan di dadaku. Kemana perginya si bapak pemulung bila hujan tiba. Apakah pemilik rumah lain mengijinkannya berteduh?

Motor kuhentikan di bawah lampu jalan tempat si bapak pemulung biasa berbaring. Kepalaku kutengokkan dan kudapati si bapak pemulung terdiam ringkuh di jalan sebelah. Tampaknya satu-satunya tempat berteduh malam itu yang cukup mewah adalah bengkel meubel. Kebetulan ada atap kecil untuk bernaung.

Kuperhatikan singkat si bapak tua itu ketika kuhampiri. Ia belum tidur, hanya terduduk. Tangannya ia kaitkan memeluk tubuhnya yang kecil. Celananya masih yang kemarin dan basah sedikit. Plastik yang biasa dipakainya membungkus gelas dan botol plastik digunakannya sebagai jas hujan malam itu. Si bapak kenapa tidak pulang ke rumah...? Miris aku melihatnya. Tak apa mungkin bila mataku basah. Toh, wajahku juga sudah basah.

Malam itu cukup lama aku menemani bapak itu makan. Sayang malam itu hanya sedikit lauknya. Pasti si bapak kelaparan. Dengan lahap si bapak turut bercuap tentang hidupnya. Aku hanya terdiam dan sesekali tertawa. Sesungguhnya hanya sedikit yang dapat kudengar dan pahami dari cuapan si bapak. Mungkin karena bahasa Makassar yang masih kental, mungkin karena derasnya hujan, mungkin karena suaranya yang sudah tidak jelas, atau mungkin karena mulutnya yang penuh nasi. Sedikit demi sedikit malam yang dingin itu terasa hangat bagiku. Entahlah untuk si bapak setelahnya. Pasti semakin larut akan semakin dingin.

Dua hari kembali berlalu. Malam ini cerah di musim hujan. Syukurlah. Tak sabar untuk pulang. Malam ini kubawakan lauk yang cukup wah. Si bapak pemulung pasti senang.

Sayang, malam itu ia tidak di tempat.

Dua hari, empat hari, dan hari-hari genap berlalu. Ia tidak lagi di tempat di waktu yang sama. Apa gerangan terjadi? Banyak hal yang belum kuketahui tentangnya. Tapi Hal yang akan terus kuingat jelas. Namanya Pak Limbung. Si Pemulung Tua

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline