Lihat ke Halaman Asli

Senyuman Hangat Bapak

Diperbarui: 24 Juni 2015   19:11

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

1356205822733373549

[caption id="attachment_231031" align="aligncenter" width="330" caption="Ilustrasi/Admin (KOMPAS.com)"][/caption]

Sore pukul 05.00 aku masih termangu memandangi kendaraan beroda dua berwarna hitam yang terparkir lemah diguyur derasnya hujan. Hampir setengah jam aku hanya duduk di bawah atap parkiran khusus dosen dan menunggu kedatangan bapakku. Sesekali mataku memerhatikan beberapa pengendara lain yang mengambil motor mereka di parkiran itu. Sesekali pula aku menengok ponsel melihat beberapa status-status galau dari beberapa pengguna facebook. Aku kembali memandangi motor tua di depanku itu dan meraih gasnya mencoba menghidupkannya lagi. Namun, hasilnya tetap nihil. Kusadari pakaianku mulai basah dan aku kembali berlari ke parkiran beratap. Selalu begini! Motor jelek!. Aku menggerutu. Kulihat pakaianku dan kuingat ejekan teman-temanku. Emma, pakaianmu gak nyambung sama motormu, tuh. Aku memang selalu terlihat modis di depan teman-teman. Baju, rok, jilbab, sepatu dan tas semuanya kubuat senada satu sama lain. Namun, kendaraanku sama sekali tidak pas. Motor tua bekas bapakku 10 tahun lalu. Warnanya hitam polos dan terlihat reot. Motor produk gagal milik perusahaan tempat bapak bekerja itu diberikan 10 tahun lalu kepada bapak mungkin karena mereka kasihan, itu pikirku. Kuambil tasku dan aku berlari meninggalkan sepeda motor reot itu bergegas menuju halte sekitar parkiran.  Bagaimana pun ini sudah keterlaluan! Reot, suka mogok pula!.

Beberapa menit kemudian sebuah metromini tanpa penumpang menghampiriku dan aku pun menaikinya. Kuingat setengah jam lalu kutelpon bapak.

“Bapak ada di mana?” tanyaku dengan nada tak sabar.

“Bapak masih di kantor. Ada apa?”

“Motor ku mogok lagi, nih!”

“Oh, iya tunggu bapak ke sana sekarang, ya!” serunya.

“Cepetan, ya!”

Tuutt. Begitu percakapan singkat kami. Katanya ‘ke sana sekarang’, setengah jam belum datang. Rasakan urus motor itu sendirian. Siapa suruh!Ngasih motor yang bagusan dikit, dong! Hujan semakin deras dan metromini yang kutumpangi merapat kembali ke pinggiran jalan. Tampaknya ada penumpang.

“Hati-hati! Awas kepalamu!” seru seorang ibu memegang kepala anaknya yang berusia 5 tahun yang menaiki metromini. Setelah kedua penumpang itu duduk metromini kembali melaju di jalanan yang licin.

“Ma, lihat tadi aku dapat 80!” ujar si anak sambil memperlihatkan anyaman kertas warna-warninya padasang ibu. Aku menoleh dan melihat sang ibu. Kenapa ibu itu diam saja? Kulihat dia tersenyum dan merangkul pundak anaknya hangat tanpa berkata sepatah kata pun. Dahiku mengernyit. Cih, anaknya pasti sedih tidak dipuji!

Kuingat bapak juga pernah melakukan itu padaku. Tugas IPA kelas 4 sekolah dasar yakni membuat telepon sederhana dengan bantuan benang godam dan kaleng susu. Hari itu harusnya aku dipuji! Aku kan dapat 95. Malam itu dengan penuh kekecewaan aku menangis sesenggukan karena kaleng susu yang kuharapkan ada di meja ternyata sudah dibuang mama. Mama terlihat merasa bersalah dan menawarkan mengganti kaleng susu dengan kaleng ikan sarden. Aku menolak karena ingin mengerjakan sesuai instruksi di buku. Mama memutuskan untuk membeli susu kaleng baru. Namun, aku kembali menolak dengan dalih ibu guru meminta harus menggunakan yang bekas. Aku semakin marah karena bapak tidak terlihat untuk menolongku atau menghiburku malam itu. Tangisku semakin pecah dan menyalahkan kedua orang tuaku.

Paginya aku bangun dengan mata yang bengkak karena menangis hingga kelelahan.

“Aku tidak ingin ke sekolah!” kuteriakkan dari kamarku. Mama datang membujukku dan menyerahkan dua buah kaleng susu bersih padaku. Betapa senangnya aku hari itu. Itu bukan kaleng susu baru. Ada beberapa bagian yang mulai berkarat. Sigap aku bersiap menuju sekolah. Sepanjang perjalanan aku hanya diam dibonceng oleh bapak. Aku masih marah karena ia tidak membantu apa-apa. Sepulang sekolah ia menjemputku dan bertanya tentang hasil percobaanku.

“Aku dapat 95.” Jawabku datar karena aku masih marah padanya. Dia hanya tersenyum dan merangkul pundakku. Aku menghindar darinya dan naik ke motor. Sampai di rumah dengan bangga aku memamerkan nilaiku pada mama di depan bapak. Sungguh berbeda dengan sikapkutadi pada bapak. Aku sengaja melakukannya ingin menunjukkan kekesalanku padanya. Bapak hanya tersenyum padaku hangat.

Beberapa hari kemudian baru kuketahui bahwa bapak yang semalaman telah mencarikan dua kaleng susu bekas itu. Dia mencarinya di tempat sampah rumah kami kemudian ke tempat sampah komplek kami, namun nihil. Semalaman ia mengetuk rumah tetangga menanyakan hal yang sama. ‘Maaf, apakah Anda punya kaleng susu bekas? Bisa saya membelinya?’. Seorang tetangga menunjukkan kaleng susunya baru saja dia buang di tanggul depan rumah mereka. Seakan tak ada pilihan lain, bapak langsung turun ke tanggul kotor itu dan mengambil tiga buah kaleng susu bekas. Tetangga yang melihat kejadian itu hanya termangu melihat. Segera bapak mencuci hingga bersih dan menghilangkan semua cairan kotor dari got dengan desinfektan. Kaleng itulah yang paginya aku lihat. Kaleng bersih dan harum yang meskipun sedikit berkarat tetap dapat membuatku tersenyum sumringah. Aku yang mendengarkan hal itu hanya mengatakan padanya, ‘Bapak kayak orang bodoh!’

Kuingat senyuman bapak yang hangat persis seperti senyum sang ibu tadi pada anaknya. Aku menghela nafas dalam. Kenapa bapakku mau dibodohi anak kelas 5 SD?

Tak kusadari ternyata metromini yang kutumpangi sudah penuh dengan penumpang remaja. Metromini terdengar riuh dengan gelak tawa remaja putri itu mengalahkan derasnya rintik di luar sana. Senang sekali mereka. Aku tersenyum-senyum mendengar percakapan polos mereka.

Kuingat masa-masa sekolah menengah pertamaku juga dipenuhi gelak tawa seperti mereka. Pergi dan pulang bimbingan bahasa Inggris bersama. Membeli beberapa jajanan di pinggiran jalan kemudian menaiki metromini sambil membicarakan hal-hal yang polos selama masa puber.

Waktu itu tempat bimbinganku jauh juga. Malam pula. Kuingat aku dan teman-teman sesama kompleks memang memilih mengikuti tempat bimbingan bahasa yang cukup jauh dengan dalih kualitas yang lebih baik. Bimbingan malam pun dipilih karena jadwal sekolah yang sampai sore. Alhasil kami pun harus pulang pukul 8.30 setiap malam dimana metromini sudah sangat jarang. Orang tuaku sebenarnya melarang, namun aku tetap bersikukuh dan aku pun diizinkan.

Setiap pulang dari bimbingan bapak pasti sudah berada di belakang metromini kami dan mengawasi kami dari belakang. Berkali-kali aku melarangnya karena aku merasa tidak enak dengan teman lain. Kami merasa tidak bebas. Namun, hal itu tidak diindahkannya. Bahkan saat malam dengan hujan yang deras meskipun tidak terlihat secara langsung, aku tahu ia ada di belakang metromini kami. Cahaya lampu motor tuanya yang agak redup sangat kontras dengan cahaya motor lainnya. Sesekali aku melirik ke belakang metromini dan tersenyum masam. Pasti ia melihatnya. Seandainya aku bukan anak tunggal, aku pasti dibiarkan bebas. Itu pemikiranku hari itu, namun aku salah.

Setahun kemudian, seorang saudara sepupu perempuan memutuskan menetap di rumah kami. Orang tuaku sudah menganggapnya sebagai anak sendiri. Saudara sepupu perempuan itu lebih tua dariku dan dia sedang melanjutkan pendidikannya di salah satu universitas di kota kami. Karena jarak yang sangat jauh dari kediaman kami maka bapak tiap hari mengantarjemputnya di samping juga mengantarku ke sekolah. Kami sudah seperti kakak beradik perempuan. Dengan motor butut hitamnya dia memboncengku ke sekolah kemudian membonceng kakak perempuanku itu ke universitasnya padahal bapak sendiri harus masuk kantor pukul delapan pagi dan pukul lima segera ia menuju ke kampus kakakku lagi yang jauh. Rutinitas melelahkan bapak itu dijalaninya berbulan-bulan hingga akhirnya suatu hari terdengar kabar yang mengejutkan. Kakak perempuan yang selama ini disayangi bapak itu melakukan hal yang tidak semestinya dilakukan sepasang kekasih yang belum menikah. Keluarga kami seperti kejatuhan musibah besar. Dipojok ruangan untuk pertama kalinya kulihat bapak meneteskan air mata. Ia tampak menyembunyikan kesedihannya di depan kami. Tak kusadari aku pun meneteskan air mata di balik dinding melihatnya dari jauh. Malam itu kami terdiam sambil sesenggukan. Air mata bapak hari itu adalah air mata pertama yang kulihat dan membuatku benar-benar sesak.

Di metromini aku termangu melihat datar jendela mobil yang  berembun akibat dinginnya cuaca.

Apakah mungkin selama ini bila aku menyakitinya ia akan bersembunyi di suatu tempat dan menangis seperti itu? Kesedihannya selalu ia tutupi dengan tersenyum. Apakah seperti itu? Bahkan kepada anak orang lain saat ia disakiti ia dapat meneteskan air mata. Bagaimana dengan anaknya sendiri? Saat aku mengacuhkannya setelah ia turun ke got demi dua kaleng susu bekas. Saat kuberikan senyum masamku padanya setiap dia menguntitku dari belakang metromini di tengah hujan deras. Saat kutinggalkan dia dengan motor tuanya yang mogok di parkiran kampusku dan aku mengutuknya di sini, di metromini ini. Bagaimana perasaan bapak sekarang kalau melihatku tidak menunggunya di parkiran? Nanda, kamu keterlaluan!

Hatiku dan tubuhku gemetar. Kuhentikan metromini yang kutumpangi dan segera menaiki sebuah bentor, becak motor, yang segera membawaku kembali ke parkiran kampus. Tanpa memperhatikan tubuhku yang basah aku berlari menuju parkiran tadi. Langkahku terhenti melihat sosok sendu bapak di depan sana. Dia masih memakai jas hujan dan helm merahnya, namun sepatu dan celana kain seragam kantornya sudah basah. Motornya tampak dia parkir di samping motor tua yang kini diraihnya. Kakinya sibuk menstater motor hitam itu.

Betapa bodohnya bapakku di sana yang selalu dipermainkan anak tunggal kesayangannya. Batapa bodohnya aku baru menyadari betapa aku beruntung memiliki bapak seperti beliau. Tak terasa lagi air mataku karena dinginnya wajahku sore itu.

Bapak kaget melihatku yang tertegun. Ia berlari kearahku dan memasukkanku ke dalam jasnya kemudian meneduhkanku di bawah parkiran beratap.

“Kenapa basah, nak? Tunggu bapak nyalakan motormu.” Ucapnya dengan senyum simpel. Ia kembali berlari ke arah motor tua itu. Aku semakin sesenggukan menahan tangisku. Bapak maafkan aku... terima kasih sudah menjadi bapakku..

Terima kasih untuk Bapak yang telah menjadi ayah terbaikku,,,

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline