Lihat ke Halaman Asli

Istriku yang Kusayangi, Bertahanlah

Diperbarui: 17 Juni 2015   11:37

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Di ruangan yang cukup nyaman terbaring tubuh istriku di kasur kamar kelas satu rumah sakit pemerintah ini. Kupandangi wajahnya. Ia tampak pulas tertidur. Tak kubayangkan rasa sakit yang diderita istriku saat ini. Ia telah divonis mengalami kanker ureter. Sesekali kupegangi tangannya. Kini ia tak selembut dulu lagi. Kini ia tak seceria dulu lagi. Istriku, apa kau baik-baik saja?

Kupandangi jam di dinding kamar lantai empat ini. Pukul tujuh. Masih terlalu dinikah? Sudahlah, toh suster jaga pasti ada.

Aku berjalan meninggalkan istriku dan seorang anak yang kupercaya menjaganya. Tangan kiriku memegangi tongkat coklat yang dibelikan anak keduaku. Tangan kananku memeluk erat sebuah map abu-abu yang cukup tebal. Map yang berisi berkas yang tidak aku pahami. Sambil tertatih aku menuju ruang perawat untuk menyerahkan beberapa berkas yang diperlukan untuk keberlangsungan pengobatan istriku. Karena beberapa kesalahan, aku hanya mengikuti petunjuk para perawat untuk mengambil kembali berkas lainnya yang tersimpan di ruangan istriku. Cukup melelahkan hari ini. Aku harus bolak-balik dua lantai.

Tubuhku yang sudah lelah kusandarkan di kursi teras depan kamar istriku. Kamar itu cukup bersih dan rapi. Beberapa dus dan koper umroh kami tersusun dengan baik oleh Ria, penjaga istriku. Dua puluh satu hari yang lalu, alhamdulillah anak pertama kami masih diberikan kesempatan untuk membawa kami menunaikan ibadah umroh. Sepulangnya istriku langsung kembali dirujuk ke rumah sakit yang sama setelah melakukan operasi.

Aku memandangi istriku yang masih tertidur di ranjang. Syukurlah kini ia bisa tertidur. Semalaman ia tak bisa tenang akibat menahan sakit. Kini ia sudah tenang. Sesekali dari jendela kamar yang sengaja kubuka lebar, angin semilir menghempas ringan rambut istriku yang telah memutih. Sungguh cantik dia. Rasa lelahku hilang sekejap. Meski kulitnya tak lagi sama seperti yang dulu. Meski tubuhnya tak lagi sama seperti yang dulu. Meski air mata sering membasahi pipinya. Tapi rasa itu tetap sama. Perasaan yang sama saat aku pertama kali melihatmu di bus, istriku....

Tahun 1961. Aku berusia 25 tahun. Setiap paginya, aku menaiki bus yang sama menuju kantor. Setiap paginya, aku duduk di tempat duduk paling belakang. Setiap paginya, aku memperbaiki dudukku saat bus berhenti mengambil penumpang berseragam sekolah. Istriku, aku ingin melihatmu. Aku mengambil posisi terbelakang hanya untuk melihatmu masuk dari pintu mana pun. Saat itu, dengan santunnya kau masuk mengenakan jilbab dan seragam panjang khas SMP Muhammadiah. Kau yang santun seketika meluluhkan hati seorang anak band yang telah kenyang melihat gadis-gadis tahun 60an pengumbar aurat.

Di tahun ketiga aku bekerja di bank saat itu, kau baru saja mengecap masa remaja. Ragu hatiku mendekatimu. Aku sadari usia kita terpaut jauh. Dua tahun berlalu dengan hanya memandangimu. Memandangi setiap ekspresimu yang berbeda saat kau berbicara dengan temanmu dari pojok bus yang sama. Dengan rasa yang sama selama dua tahun. Aku sadar, kau akan masuk ke jenjang lebih tinggi. Belum tentu kau akan kembali menaiki bus yang sama menuju sekolah barumu. Aku pun berkenalan denganmu. Perkenalan yang begitu singkat tidak menghalangi kami untuk meresmikan hubungan itu dalam suatu pernikahan.

Istriku yang kusayang.. Susah senang telah kita lalui bersama. Tiga tahun pertama pernikahan telah kita lalui tanpa seorang anak. Tidak sedikit yang telah mencibirmu dan aku, mandul, tidak subur. Namun, Allah akhirnya berkehendak lain, Ia menganugrahkan kita tiga orang anak terbaik. Tiga orang anak yang telah kau asuh dengan penuh kasih sayang. Tiga orang anak yang telah kau jaga kesehatannya, yang kau jaga pendidikannya, yang kau jaga amal akhiratnya. Terima kasih istriku...

Kini, aku memegangi tanganmu yang penuh bekas tusukan jarum infus. Sayang, aku tahu itu sakit. Bertahanlah. Aku, suamimu, ada disampingmu. Kau sering menemaniku seperti ini saat aku bolak balik UGD. Kini aku yang akan menemanimu. Kadang dokter dan perawat menyuruhku untuk istirahat di rumah. Tapi apa yang harus kulakukan tanpa kau disampingku. Aku pun tak yakin kau akan senang bila aku meninggalkanmu. “Dokter, kau tahu, aku punya anak-anak yang siap bergantian berjaga menemani ibunya, tapi aku tak bisa membiarkan hal itu. Aku ingin ada disamping istriku.”

Empat tahun lagi, 50 tahun pernikahan kita, istriku.. aku mohon bertahanlah. Aku selalu berdoa agar usiamu dipanjangkan. Agar usiaku dipanjangkan. Setidaknya, biarkanlah kami hidup bersama empat tahun lagi. Setidaknya, biarkanlah kami merayakan 50 tahun pernikahan ini. Pernikahan yang telah kami bangun dengan penuh cinta.. Istriku, bertahanlah... temani aku lebih lama lagi.. masih banyak hal yang ingin aku tunjukkan padamu. Masih banyak hal yang ingin kuceritakan padamu..

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline