Lihat ke Halaman Asli

Dian Herdiana

Dosen di Kota Bandung

Kedudukan Desa dalam Sistem Pemerintahan Indonesia

Diperbarui: 5 Juli 2020   20:52

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pemerintahan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Desa dalam konteks Indonesia memiliki bagian penting dan strategis, desa tidak hanya dilihat dari aspek kuantitas yang didiami oleh banyak penduduk, tetapi juga desa dianggap mampu untuk turut menentukan tatanan sosial, ekonomi dan politik secara nasional (Khoerunnisa, 2018; Luthfia, 2013). 

Eksistensi desa sudah diakui sebelum Indonesia merdeka yaitu pada saat penjajahan Belanda, salah satu buktinya dapat dilihat dari adanya aturan yang dikeluarkan oleh pemerintah Hindia-Belanda tahun 1854 tentang "Regeeringsreglement" yang mana dalam pasal 71 (pasal 128.I.S.) desa disebut dengan istilah "Inlandsche Gemeenten" yang memiliki hak untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri yang dijamin langsung oleh Gubernur Jenderal (Alamsyah, 2011; Nur, 2014).

Pasca Indonesia merdeka, eksistensi desa termuat dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Pasal 18 (sebelum perubahan) yang menyatakan bahwa dalam teritori Negara Kesatuan Republik Indonesia terdapat "zelfbesturende landschappen" dan "volksgemeens-chappen" yang mana negara menghormati dan mengakui kedudukan daerah-daerah istimewa yang ada tersebut dengan segala hak-hak asal usulnya(Timotius, 2018). 

Dalam perkembangannya, terdapat inkonsistensi negara mengakui kedudukan desa beserta hak otonominya, hal ini bisa terlihat dari pengaturan desa yang dimulai dari Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1945 yang mengatur kedudukan Desa dan kekuasaan Komite Nasional Daerah. 

Dalam Undang-Undang ini dijelaskan bahwa letak otonomi terbawah bukanlah berada di struktur pemerintahan kecamatan, tetapi berada di struktur pemerintahan desa sebagai kesatuan masyarakat yang memiliki hak mengatur rumah tangganya sendiri. 

Sejalan dengan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1945, pengaturan desa kemudian diatur dalam Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1965 tentang Desa Praja yang menempatkan desa sebagai kesatuan masyarakat hukum (Turmudi, 2017).

Distorsi kedudukan desa mulai terjadi masa Orde Baru ketika Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan di Daerah diberlakukan yang menempatkan desa bagian dari pemerintah daerah dengan dilandaskan kepada asas sentralisasi dan birokratisasi. Keadaan tersebut berlanjut ketika diberlakukan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1979 tentang Pemerintah Desa yang menyeragamkan struktur pemerintahan desa secara nasional dan menjadikan pemerintah desa sebagai perpanjangan tangan negara yang diharuskan taat kepada kebijakan pemerintah pusat(Syamsu, 2008).

Pasca Orde Baru meskipun sudah diberlakukannya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah yang kemudian diganti dengan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dengan dasar adanya pemberian asas desentralisasi, kedua perundang-undangan tersebut mendapatkan kritik yang mana desa masih ditempatkan sebagai sub-ordinat dari pemerintah daerah dan secara substansi kedua undang-undang tersebut tidak mencerminkan adanya pemberian otonomi bagi desa(Basuki, 2017; Hanif, 2012; Nadir, 2013; Saleh, 2008; Silahuddin, 2015).

Inkonsistensi negara memposisikan desa yang berujung kepada posisi desa sebagai sub-ordinat dari pemerintah daerah tidak hanya berimplikasi kepada hilangnya hak-hak asli yang dimiliki desa, tetapi juga berimplikasi kepada terbatasnya hak desa dalam mengurus rumah tangganya sendiri. Dalam konteks pembangunan, desa tidak lagi memiliki kewenangan untuk menyusun arah dan rencana pembangunan desa yang didasarkan kepada prakarsa dan potensi sendiri, pembangunan desa diposisikan sebagai bagian dari pembangunan daerah, sehingga segala bentuk kebijakan yang menyangkut pembangunan desa menjadi bagian dari kebijakan pemerintah daerah dan merupakan bentuk dari pelimpahan kewenangan pemerintah daerah(Cahyono, 2005; Mardeli, 2015; Nuraini, 2010; Nurcholis, 2014).

Kondisi tersebut di atas tidak lepas dari politik hukum penguasa pada saat itu, terutama pada saat Orde Baru yang mana desa salah satunya diposisikan sebagai stabilisator keamanan dan pendorong pembangunan nasional dengan cara mendistorsi posisi dan kewenangan desa serta menyeragamkan pola pembangunan desa yang mengatasnamakan pemerataan pembangunan perdesaan. Dengan begitu, berbagai tuntutan kepada pemerintah yang muncul diakibatkan adanya kewenangan hak asli desa dalam mengurus rumah tangganya sendiri menjadi minim, dikarenakan desa tidak lagi memiliki kewenangannya untuk mengatur pola pembangunan sendiri, ditambah segala bentuk keberhasilan pembangunan desa akan menjadi bukti akan keberhasilan pemerintah dalam melakukan pembangunan.

Implikasi dari kondisi tersebut diatas, desa menjadi sangat bergantung baik kepada pemerintah pusat maupun kepada pemerintah daerah. Dalam perkembangannya, posisi inferior desa dibawah struktur vertikal pemerintah daerah selama lebih dari 30 (tiga puluh) tahun berakibat kepada melemahnya kemampuan desa untuk menggali prakarsa dan potensi dalam membangun desa, sehingga memunculkan jaringan ketergantungan struktur sosial desa yang tidak bisa dilepaskan dari pemerintah vertikal di atasnya. Hal ini menjadi dampak dari arah kebijakan politik hukum negara atas desa pada saat itu yang mana terjadinya negaranisasi terhadap desa secara sistemik melalui instrumen perundang-undangan (Basuki, 2017; Kusuma, 2014; Nurcholis, 2014; Satriawan, 2013).

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline