Almarhum WS. Rendra menulis puisi tidak dalam rangka berpolitik, jika puisinya dinilai sangat politis tapi itu tidak meghilangkan estetika bahasa dan struktur yang dibangunanya. Begitupun dengan Wiji Thukul.
Akhir-akhir ini puisi bersliweran. Kesucian puisi dimanfaatkan politisi untuk menghujat lawan politiknya. Ini merupakan strategi baru dalam dinamika politik atau bisa juga sebagai pergeseran nilai menggunakan sebuah karya sastra untuk salingmenjatuhkan lawan?
Di sisi lain tak bisa dipungkiri bahwa para penguasa ini masih punya hati,yang menulis puisi adalah orang orang yang memiliki hati nurani lagi pula puisi milik siapa saja, tidak hanya milik penyair. Tukang becak, pedagang sayur, petani bahkan politisi berhak memiliki puisi. Meski tidak sepopuler beras, puisi adalah mahluk yang banyak diakui masyarakat pada umumnya.
Nah jika politisi menulis puisi entah dengan tujuan apa, itu sah sah saja, tapi fahamilah bahwa yang ada dalam benak politisi ialah kekuasan, jabatan dan kedudukan. Menulis puisi bukanlah sesuatu yang sakral, karena sakralitas bagi politisi ialah bagaimana ia bisamelemparkan musuhnya ke jurang kehinaan.
Lihat saja trend baru yang disodorkan Fadli Zon, menyerang lawan politiknya dengan puisi. Disini jelas ia menulis puisi bukanmenulis sejumlah pengalaman bathin, tidak menggambarkan realitas hidup, tapi berdasarkan birahi kekuasaan. Sekali lagi puisi semacam ini sah dilakukan oleh siapapun, namun apakah ini tidak lantas membuat puisi jadi ternoda?
Katakan dengan santai, puisi tidak pernah ternoda oleh politisi, tapi yang ternoda justru si politisi.
Terlalu gagah kalau saya mengatakan bahwa menulis puisi itu harus penuh estetika, idiom dan metefora metafora, dan terlalu cepat pula saya menilai kalau puisi yang ditulis para politisi itu baik.
Puisi adalah salah satu jalur lalu lintas sastra yangramai dan berseliweran, setelah dicengkeram ahli survey Denny JA kini puisi dikepung politisi. Puisi kini adalah jalur lalu lintas untuk memuluskan jalan kehidupan sesunguhnya, setidaknya ada ruang multidimensi yang menyuguhkan realitas kekuasan.
Puisi dan Kekuasan
Menengok kembali masa lalu, bahwa ternyata para raja dan atau pemimpin negara manapun tak jauh dari kehidupan sastra (puisi khususnya), sebut saja penguasa China Mao Ze Dong. Seorang t
temperamen tapi romantis, ia sangat revolusioner dan liris. Ada puisi Mao berjudul “Patio Musim Semi Salju",puisi ini sangat terkenal, diterbitkan di sebuah surat kabar di Chongqing. Dalam puisinya, dengan penguasaan bahasa yang intelek dan cerdas Mao menggambarkan keindahan pegunungan megah dan sungai-sungai.
Puisi juga ditulis raja-raja atau Sultan di Pulau Jawa, dalam bentuk syair sesuai wilayahnya masing masing. Ada yang berbetuk pantun, macapat dll. Waktu itu, raja raja menang memliki intelektual tinggi dan sayang pada rakyatnya (kecuali raja dzalim).
Peradaban manusia terusbergulir, dan puisi terus berjalan bersama perkembangan peradaban manusia, puisi terus mempengaruhi hidup manusia, juga mempengaruhi dunia politik di dunia termasuk di negeri Indonenesia