Bagi sebagian kalangan pemikir, ahli hukum, ahli politik, aktivis NGO bahkan pemikir futurolog, mempertanyakan kompatibilitas antara Islam dan Demokrasi, dianggap tidak lagi relevan, absur atau bahkan terlalu usang dan mengada-ada. Dua kelompok dalam Islam seperti para Islamic New Movement atai sering disebut Islamisme pada satu sisi dengan kelompok Islam moderat bahkan liberal memiliki pandangan berbeda bahkan diametral terkait dengan pertanyaan kompatibilitas antara demokrasi Islam tersebut. Pertanyaanya adalah apakah dalam islam benar-benar telah memiliki preseden pemerintahan yang demokratis dalam pengertian modern?
Kelompok Islamic New Movement (Islamisme), mereka tidak mau berpusing-pusing memikirkan apakah Islam kompatibel dengan demokrasi. Bagi mereka demokrasi adalah produk Barat yang tidak bisa diterapkan dalam Islam, bahkan mereka tidak segan-segan menyatakan demokrasi adalah taghut dan produk kafir yang harus ditinggalkan. Sistem negara bagi mereka hanyalah "Khilafah", Islamic Brotherhood, imamah atau dengan istilah yang menyerupainya. Mereka tanpa berfikir dan mengoreksi kembali, yang penting preseden negara Madinah dan yang dilanjutkan oleh Khulafau rasidin dan para salafussahelh adalah sistem negara yang telah final atau yang dalam istilah modern disebut nomokrasi atau bahkan teokrasi harus dirujuk kembali secara total. Sistem tersebut tidak perlu diproblematisasi apalagi dikritik dan digugat.
Pada pihal lainnya, kelompok Islam moderat atau bahkan Islam liberal, mereka akan membangun argumen dengan menafsirkan ayat-ayat al-Qur'an untuk menunjukan Islam kompatibel dengan demokrasi. Kelompok kedua ini tidak jarang dengan tegas mengatakan bahwa preseden kekhalifahan dalam Islam bukanlah bentuk yang ideal, bahkan sebagiannya mengatakan sistem khilafah telah gagal pada menit-menit awal, dengan dibuktikan tiga dari empat orang khilafah mati terbunuh dan dua diantaranya mati dengan mengenaskan di tangan umat Islam sendiri. Atas dasar itulah kelompok ini menyatakan sistem khilafah telah gagal, dan kembali menafsirkan ayat-ayat yang mengakomodir kelompok non muslim dan perempuan serta kelompok minoritas lainnya sebagai isu utama dalam demokrasi modern.
Saya jelas menolak pendangan kelompok Islamisme yang mengatakan pokoknya sistem khilafah atau negara syari'ah. Namun demikian saya juga ingin mengkritisi kelompok kedua yang cenderung mengabaikan kenyataan bahwa dalam teks-teks al-Qur'an sendiri cenderung ambigu dalam merespon keberagama komprehensif doktrin untuk meminjam termnya John Rawls. Bagi saya, di sinilah letak problemtis untuk mengukur kompatibilitas Islam dengan demokrasi. Dari bagian ini pula saya menegaskan bahwa Islam tidak kompatibel dengan demokrasi jika tidak ada pemahaman baru tentang konsep dasar Islam dalam melihat yang lain (the oters).
Kembali pada penyataan John Rawls (19..), bahwa fitur dasar dari demokrasi adalah kemajemukan komprehensif doktrin. Bahasa gamblang dari keragaman komprehensif itu antara lain keberagaman agama, keberagaman suku, bahasa, jenis kelamin dan keberagaman orientasi seksual. Dari berbagai bentuk keberagaman itu yang masih menyisakan masalah dalam Islam adalah respon Islam terhadap non Muslim, perempuan dan terhadap kelompok orang yang memiliki orientasi seksual yang berbeda.
Mari kita lihat satu persatu. pertama, penerimaan Islam terhadap non muslim boleh disebut sebagai penerimaan setengah hati dan dengan persyaratan yang dehumanis. Antara lain; Syari'ah tidak memberikan tempat tinggal yang permanen bagi non muslim di dalam negara Islam, kecuali izin tinggal untuk aman sementara. Mereka dijamin dalam status dzimmah atau yang lebih dikenal dengan sebutan kafir zimmi dengan ketentuan bayar upeti atau uang aman. Non Muslim dalam syari'ah tidak memiliki hal sipil dan politik, meskipun mereka lahir dan dibesarkan di negara Islam. Kepada non Muslim, selain hanya diproteksi keamanan harta dan jiwanya dengan syarat 'Jizyah', namun mereka tidak bisa mendapat hak politik untuk dipilih. Jargon utamanya adalah jangan memilih orang kafir sebagai teman apalagi pemimpin.
Lebih jauh, syari'ah juga problematis dalam menempatkan persamaan hukum terhadap non muslim, kecuali kewajiban teknis seperti wajib jilbab, wajib bayar upeti dan wajib taat pada undang-undang negara Islam, mereka tidak dilibatkan dalam proses penyusunan hukum dan peraturan bersama. Namun untuk isu substansi seperti pidana syari'ah, Negara Islam sangat mendiskriminasi non Muslim, misalnya dalam hal diat (denda) alam kasus pembunuhan dari keluarha korban, termasuk ketika anggota kelompok non muslim membunuh atau dibunuh orang Islam.
Kedua, keteraan antara laki-laki dan perempuan. Syari'ah historis, seperti halnya terhadap non Muslim, ia juga diskriminatif terhadap perempuan. Perempuan masih diposisikan sebagai makhluk kelas dua dalam negara Islam dengan kontrol yang amat sangat ketat.Mulai larangan dinikahi oleh non-Muslim hingga pembagian warisan, serta kesaksian dalam pengadilan. Dan yang selalu menjadi gugatan kalangan Muslimah modern sendiri adalah pembatasan perempuan untuk bekerja dan atau berkarir. Preseden perempuan ditempatkan dalam wilayah domestik (Dapur-Sumur-Kasur), terlihat kental dalam syari'ah, apalagi yang dikodifikasi dalam bentuk fiqih. Perempuan dilarang pakai baju ketat, dilarang bepergian tanpa mukhrim, dilarang berkomunikasi atau bekerja yang di dalam pekerjaan itu ada laki-laki bukan mukhrim. Bahkan kecenderungan makin menyempit dipraktekan oleh daerah-daerah yang begitu getol menyuarakan syari'ah seperti di Aceh, Sumatera Barat, Sebagian Jawa Barat dan lainnnya.
Ketiga, persoalan yang amat sangat tidak diberi tempat dalam syari'ah dan seluruh bangunan hukum Islam adalah persoalan orang baik laki-laki apalagi perempuan yang memiliki orientasi seksual berbeda. Diskusi seputar Lesbian, Gay, Bisex dan transsex atau yang sekarang dikenal dengan "LGBTQ", nyaris tidak muncul, sekalipun ada hanya di lingkungan kecil, sembunyi-sembunyi. Nalar dominan Muslim masih mengutuk keberadaan kelompok tersebut. Konsekuensinta mereka masih berada dalam posisi termarginalkan bahkan sering diperlakukan tidak manusiawi dalam pergaulan keseharian.
Bagaimana seharusnya?
Konsep demokrasi modern, minimal memiliki tiga konsep terkait dengan keberagaman warga negara, pertama, demokrasi mesyaratkan pengakuan (recognition) dan penghargaan terhadap yang lain yang berbeda. Recognisi dapat dipahami sejauhmana entitas-entitas yang plural dalam masyarakat menghormati dan mengakui perbedaan dan keberagaman tersebut. Rekognisi ini melampaui sekedar toleransi, melainkan sejauhmana keregaman itu dijamin dalam konstitusi secara adil. Kedua representasi. Demokrasi menawarkan representasi melalui partisipasi dan kompetisi yang sehat. Artinya setiap warga negara dengan segala latarbelakangnya diberi jaminan untuk bisa terlibat bersama-sama dalam hal pengambilan keputusan secara substansia. Ketiga, redistribusi. dalam kontek ini yang menjadi isu utama adalah bagaimana pola hubungan produksi dalam masyarakat memiliki pola hubungan yang tidak sekedar setara namun juga adil. Dalam kaitan ini Negara harus mewakili publik dalam melakukan redistribusi. Dalam kondisi tertentu negara justru harus melakukan afirmatif pada kelompok miskin dari latar belakang apapun untuk tujuan kesejahteraan bersama.