Lihat ke Halaman Asli

Mengelola Keberagaman Dalam Demokrasi

Diperbarui: 24 Juni 2015   01:21

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Menurut banyak orang, proses demokrasi kita telah berada pada jalan yang benar, Secara prosedur, hampir semua lembaga demokrasi tersedia cukup baik. Orang bebas mendirikan ormas/partai, otonomi daerah berjalan lancar, kebebasan berpendapat berjalan masif. Namun ketersediaan prosedur demokrasi tidak serta merta menghasilkan pemerintahan demokratis seperti diharapkan. Persoalannya apa yang terjadi dengan demokrasi kita?

Saya setuju dengan Alfred Stepen (Stepen,2000), berbicara demokrasi bukanlah sekedar menyediakan prosedur standar demokrasi, melainkan sebagaimana seharusnya negara memberikan ruang yang sama bagi kelompok-kelompok yang berbeda mengartikulasikan kepentingan-kepentingan mereka? Pada saat yang sama negara juga harus mendorong keterlibatan kelompok-kelompok marginal yang berbeda itu terlibat dalam pengambilan keputusan untuk kehidupan bersama, sehingga dari proses yang demokratis itu memungkinkan lahirnya kebijakan yang adil dan inklusif bagi setiap warga negara.

Pada isu substansi inilah, demokrasi kita dihadapkan oleh berbagai cobaan antara lain: Pertama, negara cq pemerintah masih terlibat dalam kontestasi penyesatan terhadap kelompok non maintream. Ditolaknya judicial review UU 1965 tentang Penodaan Agama (jo UU No.5 tahun 1969), adalah contoh paling nyata. Berdasarkan laporan tahunan kehidupan beragama 2012 oleh Center for Religious and Cross-Cultural Studies (CRCS) UGM. Pemerintah Daerah diindikasikan terlibat bersama kelompok keagamaan dalam menangkal kelompok-kelompok warga dianggap sesat. Atau setidaknya negara terkesan melakukan “pembiaran” ketika kelompok-kelompok dominan melakukan kekerasan terhadap kelompok tertuduh sesat.

Kedua, masih sulitnya bagi kelompok agama “minoritas”, mendapatkan jaminan konstitusi mendirikan rumah ibadah. Kasus paling aktual adalah tertundanya penyelesaian sengekta pendirian rumah ibadah terhadap GKI Taman Yasmin Bogor, HKBP Filadelfia Bekasi dan pembakaran Gereja Tuhan Indonesia (GTI) di Aceh Singkil, padahal ketiganya telah memenuhi syarat admistratif pembangunan rumah ibadah sebagaimana diatur dalam SKB No.1/1969 dan PB No.6/2006.

Menurut laporan CRCS 2012, pada tiga kasus gereja tersebut, pemerintah yang seharusnya melindunginya korban, justru terlibat dalam kontestasi politik “menyenangkan konstituen”. Lebih jauh intoleransi terhadap kelompok minoritas agama ditandai masih maraknya pengerusakan rumah ibadah. Menurut penelitian Melissa Crouch (Crouch 2010) dari The University of Melbourne, pasca reformasi hingga periode pertama 2004 – 2009 kepemimpinan SBY, terdapat sedikitnya 580 rumah ibadah (gereja dan masjid) yang dirusak.

Ketiga, pada tingkat masyarakat sipil sendiri, masih menggunakan cara-cara kekerasan untuk merespon atau menyatakan ketidaksetujuan terhadap aspirasi berbeda. Misalnya kasus yang menimpa seorang Dosen di Aceh dan seorang warga di Aceh yang keberatan terhadap kebijakan “syari’ahisasi” dan penggunaan pengeras suara. Dengan kata lain demokrasi kita juga masih dihadapkan dengan persoalan intoleransi antar sesama warga.

Mengelola perbedaan

Kemajemukan bagi bangsa Indonesia adalah fakta. Mengelak dari realitas kemajemukan, sama dengan menolak keberadaan Indonesia itu sendiri. Mengingat kemajemukan menjadi fitur dasar dari demokrasi, bagaimana seharusnya mengelola kemajemukan tersebut?

Dalam konteks negara yang majemuk, prinsip-prinsip yang harus dikembangkan adalah pertama, memusatkan perhatian bagaimana masyarakat yang terdiri dari berbagai kelompok identitas yang berbeda dapat hidup bersama dalam ikatan negara-bangsa?. Kedua negara harus mengembangkan prinsip kewarganegaraan yang setara, dan menganggap semua orang atau kelompok masyarakatnya memiliki hak dan kewajiban yang sama.

Dua prinsip di atas, oleh Robert Hafner (Hafner, 2003) disebut "Civic pluralism"  Yakni masyarakat bangsa yang setiap anggotanya membuang segala upaya untuk menekan atau mengurangi keragaman dan menjawab tantangan-tantangannya dengan cara yang lebih damai dan partisipatoris. Pluralisme kewargaan akan tercapai manakala perbedaan terus tumbuh menjadi penerimaan yang setiap keputusannya dihasilkan secara kolektif oleh semua warga yang berbeda. Tanpa partisipasi dari setiap warga yang berbeda-beda, kemajemukan tidak lebih sebagai “kerumunan”.

Berkaitan dengan gagasan di atas, peran negara sesungguhnya hanyalah fasilitator yang netral terhadap proses negosiasi rasional dari kelompok-kelompok berbeda. Sekali lagi saya setuju dengan Abdullahi Ahmed an-Na’im (Na’im, 2007). Netralitas bukan mendikotomi apalagi meminggirkan agama dari kehidupan publik atau membatasi peran agama pada domain privat. Hal itu akan cenderung sulit bahkan dibanyak negara sekular sekalipun. Netraltas negara dipahami sebagai tradisi koeksistensi, toleransi dan pluralisme.

Akhirnya, Kata kunci demokrasi adalah kemampuan menghargai yang lain (the other) secara adil, bukan hanya mengandalkan suara terbanyak sebagai pemenang melalui mekanisme voting. Sebab hal itu berpotensi melahirkan tirani mayoritas dengan mengatasnamakan suara terbanyak, karena kebenaran dan kebaikan tidak selalu identik dengan suara terbanyak atau nyaringnya suara.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline