Lihat ke Halaman Asli

Cibiran Orang Tentang Perempuan yang Menikah ke Taiwan Kuhadapi dengan Senyuman

Diperbarui: 26 Juni 2015   11:11

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia



Sebagai orang yang menikah ke Taiwan, banyak cela yang kuterima. Julukan dan juga cibiran yang bermacam-macam.

Pengatin pesanan. Salah satu sebutan yang menurut orang-orang lebih sopan. Namun tetap seperti silet yang mengiris kulitku.

Tapi tak mengapa?

ketika aku memilih untuk menikah denga lelaki asing, aku yakin Tuhan juga yang menuntunku. Adalah sebuah garis kehidupan yang lewat keadaan dan waktu yang mengantarku sampai di sini.

Bisakah kuelak?

Ternyata memang tidak.


Yang menikah ke Taiwan, bukan saja mereka yang tak bisa baca tulis. Bukan saja mereka yang butuh dana karena sesuatu hal. Saat suamiku ke Indonesia, saya malah di Brunai Darusalam. Bekerja sebagai pemotong kain di sebuah butik. Gajiku saat itu yang diberitahu agen hanya kurang lebih Rp. 1.500.000 karena majikan melihat kerja ku…dia puas karena aku bisa memotong kain  lebih banyak dari perjanjian.

Suatu malam majikanku pun membuat sebuah surat perjanjian baru lagi…mengajiku dengan gaji kurang lebih Rp. 6.000.000 ( ini agenku tidak tahu). Untuk hidupku, kurasa cukup dan lebih baik dari TKI yang saat itu bekerja di Brunai. Apalagi saya tidak perlu mengeluarkan uang transport, karena ada mobil majikan yang mengantar jemput kami. Pekerja di butik itu ada yang dari Filipina dua orang, Malaysia dua orang, dan aku berasal dari Indonesia.

Ini yang menandakan, jika jodoh tak kemana. Saat suamiku ke Indonesia, suamiku sendiri juga tak pernah tahu, dia akan dijodohkan. Orang tuanya yang masih percaya sama loya yang mereka sebut dewa, atas pemberitahuan loya mengatakan istrinya anaknya bukan orang Taiwan. Saat itu suamiku juga punya pacar. Namun karena setiap tahun setiap musim panas mereka memang biasa ke luar negeri tak membuat suamiku curiga kalau perjalanan kali ini untuk sebuah perjodohan.

Sampailah mereka di Indonesia. Setiap hari mak comblang menelponku untuk pulang ke Indonesia. Aku bilang sudah terlanjur di Brunai Darusalam. Kata mak comblang andai aku ngak suka tak apa. Semua biaya pulang pergi mereka tanggung. saya pun tak berani memberi jawaban. Majikanku orangnya sangat baik. Dia bilang, “Pulanglah dulu. Meski aku berat melepaskanmu. Baru kali ini dapat orang yang cocok. Namun jika aku memutus sebuah benang merah, aku pun tak akan tenang.” ujarnya.

Akhirnya aku pulang. Aku ketemu dengan calon suamiku. Kami jalan-jalan. Sikapnya yang penyayang dan pengertian, membuat benih-benih sayang juga tumbuh. Akhirnya saya telpon ke Brunai, saya akan menikah. Saya tidak akan balik ke Brunai lagi.

Kami bertunangan di Pontianak dan sebulan kemudian saya sendiri ke Taiwan. Kami sudah menikah 7 tahun. Kehidupanku jauh lebih bahagia dari orang-orang yang mencibirku.

Bagaimana saya menanggapi persepsi buruk orang terhadap perempuan yang menikah ke luar negeri yang mereka bilang diekspor atau dijual?

Saya tak perlu menanggapinya. Saya toh tak hidup dari mereka. Saat saya susah mereka juga tidak pernah tahu. Kebahagianku aku sendiri yang mesti memperjuangkannya. Maka aku pilih jadi dewa atas diriku sendiri, atas pilihan-pilihanku atas segala resiko yang kupilih.Dan bersyukur orang tuaku merestui apapun yang kulakukan selama baik untukku.

Saya punya prinsip, masuk keluarga kambing maka saya ikut makan rumput dan ikut mengembek…masuk ke keluarga ayam, saya ikut berkokok. Seperti pepatah lama, “Di mana bumi dipijak di situ langit dijunjung.”

Kutulis supaya bisa berbagi dengan sahabat-sahabat TKI. Apapun cibiran orang terhadap kalian…tunjukkan lewat kata, karya dan laku, tak perlu menangis untuk apapun perkataan dan penilaian orang. Bekerja dan berkarya dengan sehat dan halal itu jauh lebih penting.

Saat ini, selain bekerja di toko makanan milik keluarga, waktu luang kugunakan untuk membaca (untuk bisa terus mengikuti perkembangan dunia dan tidak tertinggal informasi yang saat ini sangat mudah dengan mengunakan fasilitas internet karena terbatasnya aku bisa ke luar rumah), menulis dan menyemangati sahabat-sahabatku di manapun berada untuk gemar membaca dan menulis.

Dalam dua tahun saya sudah ikut serta 4 Antologi puisi yang sudah terbit, beberapa Antologi yang masih dalam proses dan satu Buku Puisi Tunggal yang saat ini telah dinikmati sahabat-sahabatku baik di Indonesia, Taiwan, Malaysia, Singapura, Brunai Darusalam, Belanda, dan New York.

Tulisan-tulisan di muat di koran Pontianak (Harian Borneo Tribune dan Tribune Pontianak)
, Malang, Jurnal Perempuan, Majalah Story. Dan bisa juga dinikmati di oase.kompas.com atau Jurnal Bali via online.

Sama-sama manusia. Punya garis nasib sendiri. Punya cara sendiri menjalani hidup. Semoga kita seperti gunung yang tinggi tak angkuh dan juga lautan yang rendah tak merasa rendah diri.

Semoga kita bisa menjadi cahaya, dimana pun kita berada, apapun dan siapapun kita. Itu jauh lebih bermakna bagi kehidupan ini.

tulisan ini juga dimuat di majalah Jelita, majalah Berbahasa Indonesia yang terbit dan beredar di Taiwan. Semoga bisa memotivasi sahabat-sahabat yang menikah di Taiwan atau sahabat TKI di mana pun kita berada.

Baojhong, 2010

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline