Sejatinya pelaksanaan "Sahur On The Road " (SOTR) merupakan niatan baik dan mulia, karena sejatinya selalu di landasi dengan niat berbagi dengan iklas kepada orang yang membutuhkannya seperti mereka-mereka yang beraktivitas dari malam hingga pagi hari seperti tuksng becak, supir taksi atau supir angkutan kota,. Tukang ojek dan lain sebagainya pada saat jelang pelaksanaan sahur di bulan ramadan.
Namun niatan dan upaya berbuat baik dengan berbagi kepada sesamanya dalam kegiatan SOTR, terkadang banyak hal negatif daripada positifnya, sehingga terkadang Pemerintah Daerah dan Pihak Kepolisian pun ikut campur tangan dan mengevaluasi keberadaan SOTR. Kalau saja kegiatan SOTR di lakukan tidak melibatkan massa untuk berkumpul dalam satu titik dan hanya beberapa orang saja yang terlibat dalam pembagian nasi bungkus secara keliling dari tempat satu ke tempat lainnya, mungkin resistensinya tidaklah terlalu besar dampak negativnya, namun seringkali pihak penyelenggara melibatkan massa banyak sehingga rawan terhadap hal-hal yang tidak di inginkan.
Maksud hati baik membagi-bagikan makanan kepada yang lewat untuk di santap sahur, namun tanpa mereka sadari, dari kegiatan itu berbagai persoalan kerap kali muncul, dari mulai sampah berserakan dari sisa bungkus makanan, kadang jalanan di buat macet, sering pula terjadi vandalisme dan baru-baru ini di Jakarta terjadi penyiramanan menggunakan air keras yang dilakukan peserta SOTR terhadap warga yang merasa tidak suka dengan SOTR yang sedang berlangsung.
SOTR akhirnya menuai pro dan kontra di mata masyarakat, karena yang terjadi selama ini,apalagi di kaitkan dengan tahun politik, maka kegiatan SOTR hanya sebagai ajang pencitraan diri di mata publik.ditandai dengan banyaknya peserta yang terlibat untuk membagikan makanan dan selalu minta atau membawa awak media untuk meliput kegiatannya.
Maka tak heran pelaksana SOTR tak lebih dari lifestile dan riya kepada masyatakat banyak dengan berbagai maksud dan tujuanya. Sebernarnya banyak cara jika ingin menikmati indahnya berbagi saat ramadan, namun karena dalam hatinya tidak ada iklas dan tulus untuk berbagi, maka kerap terjadi hal-hal di luar akal sehat sehingga melenceng dari tujuannya, maka bukan SOTR nya yang salah namun pihak penyelenggaranya yang kerapkali berprilaku buruk sehingga warga masyarakat memandangnya sebelah mata dan kerap pula di usir warga.
Andai saja pelaksaan SOTR di rencanakan dengan sebaik-sebaiknya dan bila perlu menyampaikan pemberitahuan kepada pihak Kepolisian tentang titik lokasi, jenid kegiatanya termasuk nama dan jumlah barang yang di bagikan pada SOTR, mungkin pihak Kepolisian pun akan bersiap diri turut mengamankan kegiatan tersebut. Namun yang terjadi seringkali tak berijin padahal bergiatan di malam hari dan melibatkan orang banyak tentunya akan rawan konflik dalam penyelenggaraannya.
Kegiatan SOTR kini makin menuai pro dan kontra di masyarakat, terlebih dengan kejadian kemarin, lebih baik anak-anak muda yang terlibat SOTR itu makan sahur di rumah saja dengan keluarga, dan kalau pun ada SOTR tidak melulu nasi bungkus yang cepat sekali basi, melainkan bisa di ganti dengan barang lain seperti pakaian atau pun makanan yang tak mudah basi.
Padahal kalau saja ingin berbagi dengan iklas dan bukan ajang pencitraan belaka, maka bisa saja SOTR di lakukan dengan mendatangi pondok pesantren, panti asuhan maupun panti. Jompo, dengan menggelar sahur bersama akan lebih efektif dan tidaklah di kecam warga karena mengganggu kantibmas sekitar.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H