Lihat ke Halaman Asli

Jual Es di Kutub Utara

Diperbarui: 25 Juni 2015   04:42

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Apa yang diajarkan di sekolah?. Berhitung dan Menghapal. Apakah bekal itu cukup untuk menghadapi kerasnya persaingan hidup?.

Aku memilih untuk tidak melanjutkan kuliah. Papa marah. Dan Mama menasehatiku agar aku menuruti saja kemauan Papa. Kalau kamu gak kuliah terus kamu mau apa?. Kerja?. Kerja apa?. Apa ada pekerjaan yang baik untuk seorang lulusan sekolah menengah?. Ya, tentu saja tidak ada. Terus?. Papa bingung dan Mama diam saja menunggu reaksiku.

Menjadi seorang Enterpreneur, Pa. Jelasku pada Papa. Apa itu?. Tanya Papa sinis. Setelah aku jelaskan bahwa istilah itu hanyalah persamaan dari wiraswasta, Papa melotot padaku. Dagang?, kamu mau dagang?. Mama ngeri melihat Papa mulai melotot. Dengan bibir gemetar, Mama lontarkan juga suara hatinya yang dari tadi tercekat di tenggorokannya. Memangnya salah kalau anak kita mau dagang, Pa?. Tanya Mama membelaku.

Bisa apa dia?. Teriak Papa pada kami. Bukankah Papa juga adalah seorang pedagang?. Tanya Mama mulai berani membelaku. Iya, Pa. Kataku pelan. Beda!, dari kecil aku memang dilahirkan sebagai seorang pedagang, menjual Koran, tukang semir sepatu, jualan gorengan, hingga sekarang Papa punya pabrik. Mental pedagang Papa sudah terbentuk dari kecil. Kalau dia, apa?. Papa menunjuk ke arah hidungku. Anak manja!. Sudah besar saja, bangun pagi masih dibangunkan oleh alarm atau Mamamu.

Salah Papa terlalu memanjakanmu. Kata Papa penuh penyesalan. Kerasnya jiwa Papa terbentuk karena Papa dulunya memang anak orang yang tak mampu. Begitu pahitnya masa kecil Papa, sehingga untuk membeli sarapan saja Papa harus menjual sepuluh koran atau menyemir tiga pasang sepatu dulu. Makanya Papa tidak ingin anak-anak Papa mengalami nasib seperti Papa. Semua anak-anak, Papa sekolahkan tinggi kalau perlu ke luar negeri agar kelak setelah lulus akan mendapatkan pekerjaan yang pantas. Begitupun harapan semua orang tua ingin agar anaknya hidup bahagia.

Papa hanya akan buang-buang uang saja memaksaku kuliah. Kataku berusaha tegar. Aku tetap mau usaha sendiri, Pa. Sudahlah Pa, gak baikkan memaksakan kehendak kita pada anak. Kata Mama membelaku lagi. Baik!, kalau kamu mau usaha, kamu magang aja dulu diperusahaan Papa setahun. Kamu boleh pilih mau magang di divisi apa?, marketing, HRD, atau finance?. Bagaimana?. Tanya Papa mulai lembut.

Tapi, Pa. Aku mau usaha sendiri. Jiwaku bukan disitu, Pa. Kataku berusaha menjelaskan pada Papa. Apalagi Tirta?, nama mu air tidak sepantasnya kamu keras kepala seperti batu. Apa aku telah salah kasih nama, Ma?. Harusnya dulu aku kasih nama anak ini, Karang atau Batu, Ma. Kata Papa menyindirku. Mama diam mulai takut lagi.

Ok. Ok. Ok, terus kamu mau usaha apa?. Tanya Papa melecehkanku.

Aku mengeluarkan draft atau mungkin lebih tepat disebut coretan-coretan gagasanku. Aku jelaskan mulai dari pra produksi, kemudian produksi atau yang aku sebut packing dan paska produksi yang meliputi marketing dan promo serta distribusi.

Setelah hampir sejam aku jelaskan, wajah Papa dingin tak bergeming. Aku yakin itu karena Papa tidak tertarik dengan presentasiku. Maklumlah hanya presentasi yang dibuat oleh seorang lulusan sekolah menengah. Lebih parah lagi, muka Mama berkerut tidak mengerti dengan penjelasanku.

Jadi apa yang kamu mau jual?. Air?. Hanya air putih tanpa rasa?. Tanya Papa mendelik.

Aku jawab dengan mantap. Iya, Papa.

Kamu mau jual es di kutub utara?. Tanya Papa melotot. Aku tidak mengerti dengan pertanyaan Papa. Aku beranikan diri untuk bertanya. Maksud, Papa?. Aku tanya, Papa malah balik bertanya. Tirta, sebenarnya apa isi dalam kepalamu?. Pertanyaan yang menyakitkanku. Papa telah menganggapku tolol.

Indonesia itu adalah tanah air. Dari kata itu saja, harusnya kamu bisa menyimpulkan. Air bukan masalah disini. Lain halnya kalau kau jual air di gurun sahara sana. Orang tinggal gali sumur saja sudah bisa mendapatkan air. Begitu mudahnya orang mendapatkan air lalu kenapa kamu mau menjual air?. Dalam prinsip ilmu ekonomi manapun, pendapatmu itu salah. Jual apa yang dibutuhkan oleh pasar, itu baru bisnis, Tirta. Jadi kalau kau jual air disini sama juga dengan kau jual es di kutub utara. Siapa yang mau beli?.

Kamu bukan bisnisman, Tirta. Kamu orang gila!. Kata Papa kasar. Atau kamu hanyalah seorang penjudi. Dengan marah Papa meninggalkan aku dan Mama. Mama diam menatapi lantai. Antara aku dan Mama cuma ada sepi. Tidak mungkin Mama mau membelaku lagi. Aku pun pergi meninggalkan Mama tanpa sepatah katapun. Dalam hati aku terus membatin, akan aku buktikan, Pa!.

Hmm, lihatlah Pa!. Di meja direktur itu terpampang papan namaku. Dan di dindingnya ada beberapa penghargaan dan diploma. Satu yang aku banggakan, sebuah kertas penghargaan dari sebuah majalah Bisnis dan Ekonomi yang menyebutku ; Sang Pelopor.

Sayangnya Papa telah meninggal dunia sebelum aku benar-benar sukses. Akhirnya aku pun bisa membahagiakan Mama. Perusahaan Air Minum Mineral terbesar di Indonesia, mungkin di Asia Tenggara. Bukan hanya untuk kebutuhan dalam negeri, produk kami pun sudah merambah ke manca negara. Tentu saja, perusahaan itu berdiri tidak semudah membalikkan telapak tangan. Butuh proses yang panjang dan melelahkan. Butuh keahlian dan managemen yang rapi. Langkah awal memang selalu langkah yang paling sulit, yaitu melawan paradigma Papa, seperti paradigma masyarakat pada umumnya.

Apa yang kamu jual?. Air?. Hanya air putih tanpa rasa?. Bukan hanya Papa yang telah mencemoohkan aku. Mungkin juga berjuta-juta manusia lainnya. Semoga Papa damai di alam sana. Aku sudah buktikan, Pa. Kalau aku bukanlah orang gila atau seorang penjudi. Akulah Sang Pelopor, Pa!. Sang Pelopor yang berani mematahkan pendapat Papa.

“Pak!, Pak!, jadi kita menjual produk kita ke kutub utara?.” Tanya seorang staff Research and Development di perusahaanku. Tanya yang telah membuyarkan lamunanku.

“Apa?. Jadi!, Jadi dong!.” Jawabku tegas.

“Tapi, Pak.”

“Kenapa?, kamu ragu?, memangnya orang di kutub utara tidak butuh minum?.” Tanyaku melotot pada staffku.

“Turunkan tim riset kesana, sekarang juga!.” Perintahku tegas.

“Siap, Pak!.”

*****

Kutu Kata si Kutu Buku Rangkat, Jual Es Di Kutub Utara, 27052012




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline