Lihat ke Halaman Asli

Andai Diponegoro Menjadi Ketua DPR

Diperbarui: 26 Juni 2015   17:39

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

[caption id="attachment_85048" align="alignleft" width="239" caption="Pangeran Diponegoro"][/caption] Kemana saya pergi, login kompasiana, gonta ganti komputer kadang lupa ID atau pasword, bikin akun baru, akhirnya akunnya banyak. Lagi seneng jadi Momon, posting agak serius, masuk HL. Si Momon masuk HL, artinya penilaian admin murni berdasarkan tulisan, bukan penulisnya. Eeee...ada monyet bisa masuk HL, senengnya si Momon. Sekarang lagi jadi raja jawa, pengen membayangkan menjadi raja, berhayal jadi raja, raja gemblung gituh, soalnya kalau menjadi raja betulan bakalan gemblung betulan kalau melihat demokrasi tukang obat seperti sekarang ini. Jadi raja biasanya playboy, seperti juga ayahnya Diponegoro, HB III. Sebagai anak dari selir, Pangeran Danurejo, itu namanya Diponegoro di Keraton, sempat mendampingi saudaranya yang diangkat menjadi raja walaupun baru berumur 3 tahun. Tidak mau mengambil alih kekuasaan walaupun itu dimungkinkan, sebuah komitment kuat memgang adat aturan yang berlaku dalam kekuasaan kerajaan mataram.  Sikap yang diambil oleh diponegoro patutlah diambil contoh, perjuangan yang tulus tidak membutuhkan pangkat dan harta. Berawal dari sengketa tanah yang dicaplok oleh pemerintahan kolonial untuk pembuatan jalan kereta api, itu hanyalah ledakan emosi yang mengwali perjuangannya melawan penjajah. Perjuangan yang berlangsung satu periode kepemimpinan presiden kita hingga saat ini masih dikenang oleh bangsa ini. Namun ledakan emosi anggota dewan itu mengawali perjuangan apa ?. Perjuangan melawan kebathilan, korupsi atau apa ?. [caption id="attachment_85049" align="alignright" width="285" caption="Demonstran meneriakkan nama Allah ...."][/caption] Diponegoro langsung mendapat dukungan karena dinilai melakukan perang di jalan Allah, sebuah perang suci melawan keangkara murkaan. Politisi kita juga mendapat dukungan demonstran yang melawan aparat,  terdengar juga teriakan allahuakbar, tetapi yang dilawan bukan bangsa penjajah, dia bangsa kita juga yang menjalankan tugas mengawal kemerdekaan bangsa. Lain masa lain niat, tetapi teriakannya sama menyebut nama allah padahal belum tentu yang disebut namanya oleh pansus benar bersalah, opinipun sudah terbentuk, nama Allah disebut dalam perjuangan mengikuti ucapan para politisi. Padahal politisi itu, entah sadar akan ucapannya seperti yang disampaikan Anis matta, inilah moment yang tepat bagi partai menunjukkan jati dirinya didepan publik, untuk gengsi tho....... Miris mendengar teriakan para demonstran yang meneriakan asma Allah, sedangkan politisi itu dengan santai mengaku ingin menaikkan gensi partai. Sudah terbentuk manusia militan yang terlibat dalam intrik politik, nanti akan muncul lagi manusia militan karena menganggap politisi junjungannya adalah orang bersih semua padahal para politisi itu juga mengaku beratnya perjuangannya hingga bisa duduk di Senayan. Merasa berat berjuan tentu ada yang memberatkan, zaman sekarang yang berat itu duit. Andaikata Pangeran Dipenegoro hidup dizaman sekarang, dia mungkin tidak mau menjadi Presiden, sifat kerakyatannya lebih cocok menjadi Ketua DPR RI, mungkin anggota dewan itu tidak akan terpancing emosinya melihat hati yang tulus sang Pangeran. Sayangnya, beliau hidup di zaman kolonial, walaupun begitu semangatnya dapat dijadikan contoh, berjuang tidak perlu pangkat dan harta.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline