Lihat ke Halaman Asli

Zainul Kutubi

Menceritakan sesuatu lewat tulisan

Betawi dalam Prosa: Menggali Sastra Betawi Melalui Naskah Pecenongan

Diperbarui: 26 November 2020   00:06

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Setiap negara di dunia pasti memiliki suku bangsa. Dan tiap suku bangsa tentu mempunyai kesustraannya sendiri. Sastra sendiri terbagi menjadi dua yaitu, sastra lisan dan tulis. Namun, tidak semua negara mempunyai peninggalan tertulis dari masa lalu. Sebagai negara multi etnik yang di dalamnya terdapat berbagai macam suku bangsa, Indonesia termasuk salah satu negara yang kaya akan peninggalan naskah kuno atau manuskrip.

Bentuk naskah kono ialah naskah tulisan tangan (baik yang ditulis menggunakan pena atau pensil). Dalam artikel ini kita akan membahas mengenai prosa lama. Prosa adalah karangan yang bentuknya bebas tapi terikat, prosa dibagi menjadi dua yaitu; prosa lama dan prosa baru.

Prosa lama meliputi; cerita, dongeng, hikayat, silsilah. Sedangkan prosa baru meliputi; cerita pendek, novel, roman, dan lain-lain.

Betawi, merupakan salah satu suku bangsa Indonesia yang penduduknya bertempat tinggal di Jakarta dan sekitarnya. Sebagai suku bangsa, Betawi tentunya mempunyai bahasa yang biasa disebut dengan Bahasa Betawi, atau dialek Betawi.

Sastra Betawi menarik utuk dibahas, karena sastra mencerminkan budaya sebuah suku bangsa. Hal ini dapat mengungkapkan bagaimana transformasi Jakarta yang diduduki etnis Betawi, dari  sebuah kampung menjadi kota megapolitan di Indonesia.

Seperti suku bangsa lainnya yang ada di Nusantara, masyarakat Betawi telah bergelut dalam aktivitas kesusastraannya jauh sebelum Indonesia merdeka. Masyarakat Betawi tempo dulu misalnya, sudah lama mengenal hikayat, legenda, pantun, syair.

Orang Betawi dulu telah terbiasa mendengarkan dongeng atau hikayat yang disampaikan tukang cerita atau sahibul hikayat. Hikayat yang paling terkenal dan sering didengar ialah Hikayat Sultan Taburat, Hikayat Abdulqadir Jailani, dan lain-lain.

Kesusastraan bisa hidup karena ada masyarakat yang terlibat di dalamnya. Contohnya, ada pengarang yang menulis karya sastra, ada pembaca yang membaca hasil karya tersebut, ada tukang cerita atau sahibul hikayat yang menceritakan hikayat-hikayat tersebut. Siklus itu yang membuat suatu kesusastraan akan terus hidup.

Sastra Betawi sebagai bagian dari Sastra Melayu telah ada sejak lama. Namun, dewasa ini tidak banyak masyarakat umum atau masyarakat Betawi itu sendiri yang mengetahuinya.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline